29 Januari 2009

Perempuan Dalam Suatu Masa


Baru selesai melihat film berjudul WATER, sebuah film India yang menjadi nominasi Academy Award untuk kategori Best Foreign Movie. Film ini mengisahkan perempuan dalam pandangan tradisi Hindu India menjelang tahun 1940 an.

Di India pada masa itu (mungkin juga sekarang) banyak orang tua menikahkan anak perempuan mereka yang dibawah umur dengan pria dewasa, bahkan dengan seorang kakek. Dalam tradisi Hindu India, apabila suami meninggal maka sang istri wajib mengasingkan diri seumur hidupnya disebuah rumah penampungan para janda.untuk membersihkan kekotoran dalam diri mereka yang mungkin menjadi penyebab kematian sang suami.

Tidak jarang gadis gadis di bawah umur yang menjanda setelah menjalani pernikahan yang tidak mereka mengerti, kehilangan kehidupan mereka dengan adanya isolasi semacam itu.

Agama atau lebih tepat dikatakan para pemeluknya mempunyai pandangan kontradiktif terhadap perempuan, entah karena unsur pemahaman dalam kitab suci atau memang tradisi dari suatu kebudayaan yang akhirnya mencari pembenaran dari ayat ayat yang sekiranya mendukung keadaan tersebut.

Aneh memang ketika kita mengenal penghormatan pada Dewi Sri, Dewi Parwati dan Saraswati dalam agama Hindu; Maria atau Siti Maryam atau the Holy Virgin dan Maria Magdalena dalam Katolik; Khadijah, Siti Aisyah dalam Islam.

Tak kurang sebutan bagi bumi yang kita tempati disebut sebagai mother nature, tanah air sebagai mother land atau populer di Indonesia sebagai Ibu Pertiwi. Semuanya mengacu pada suatu gender yaitu perempuan.

Hal itu bertolak belakang dengan perlakuan umat pada masa itu yang cenderung menganggap perempuan mahluk penuh dosa sehingga harus disucikan dan tidak berhak atas penentuan nasib dirinya. Itu saya saksikan berturut-turut dalam film film seperti Water, Women's Prison, At Five in the Afternoon (Iranian) dan Persepolis (Iranian/France).

Atau kisah Ratna Pembayun yang harus menjalankan tugas ayahnya Panembahan Senopati untuk mengalahkan Ki Ageng Wanabaya dari Mangir dengan menjadi istri Wanabaya. Pembayun yang sedang mengandung anak pertama harus menyerahkan suaminya untuk dibunuh oleh Senopati. Akhirnya janda Pembayun yang merana itu diserahkan kepada anak buah Senopati untuk dinikahi. Begitu mudahnya perempuan diserah terimakan layaknya barang.

Juga kisah Ratna Subanci, putri Cina selir Prabu Brawijaya V yang akhirnya dihibahkan kepada Aryo Damar, Bupati Palembang saat sedang mengandung anaknya.

Agaknya nasib perempuan memang mencerminkan nasib Ibu Pertiwi sendiri; tubuhnya telah dibajak, dicangkuli, dikotori dan dijadikan tempat pembuangan hajat oleh laki laki, di lain pihak tubuh itu memberikan kesuburan dan penghidupan bagi kelangsungan umat manusia.

Tentu saja sekarang hal hal tersebut di atas sudah tidak berlaku, pemahaman kitab suci yang lebih kontekstual juga mendorong ke arah perbaikan. Walaupun ada yang tetap berpegang pada budaya jahiliyah seperti Taliban di Afganistan.

Ada puisi yang intinya mengatakan bahwa segala larangan dan kekangan yang berlaku pada perempuan dikarenakan perempuan adalah serupa intan permata sehingga harus dijaga ketat siang malam.

Bagi saya persoalannya, apakah perempuan memang ingin menjadi intan permata yang hanya bisa diam membeku layaknya benda mati ataukah menjadi manusia yang bebas berkehendak untuk menentukan akan diapakankah perhiasan tersebut.

Tidak ada komentar: