28 Januari 2009

Cersil, Masa lalu yang menyenangkan

Seorang remaja belia tekun mendengarkan sandiwara radio yang dipancarkan oleh radio Kayu Manis.


Anak itu menggerutu pelan saat sang Ibu memanggilnya untuk membelikan sesuatu di warung.


Saya tersenyum mengenang saat itu waktu menemukan site wordpress yang berisi cerita Api Di Bukit Menoreh (ADBM) lengkap dari buku pertama; dengan semangat mulai mengunduh file di dalamnya.


Tanpa terasa saya menjadi cantrik padepokan ADBM dan mulai mendapat kesulitan begitu sampai pada buku ke 94 dan selanjutnya. Ternyata harus menggunakan program DJVU untuk membukanya hingga terpaksa harus browsing mencari DJVU reader yang gratis.


Cukup menakjubkan, situs tersebut saat ini sudah dikunjungi lebih dari 900.000 kunjungan.


Betapa leganya saat menyaksikan banyaknya penggemar Cersil Jawa karangan SH Mintardja yang tergerak untuk mendokumentasikan karya-karyanya entah dalam bentuk pdf, lit atau djvu sehingga bisa diunduh oleh banyak orang.


Sama halnya saat saya menemukan e-book Naga Sasra Sabuk Inten yang baru saya kenal tahun lalu.


Tidak bisa dibantah sebagian masa remaja saya tumbuh bersama cersil jawa seperti ADBM, Bende Mataram dan Saur Sepuh serta Babad Tanah Leluhur. Tapi memang karya SH Mintardja lah yang membekas dalam.


Saat saya berangan angan tentang wajah Agung Sedayu atau terjerat oleh gambaran fisik Rangga Tohjaya atau yang dikenal dengan Mahesa Jenar yang digambarkan sebagai prajurit pengawal Raja, bertubuh perkasa, bermata dalam dengan wajah bening dan lembut.


Betapa enggannya bila gambaran gambaran indah tokoh tokoh itu divisualisasikan dalam film atau bahkan sandiwara radio sekalipun. Saya enggan melihat jika Agung Sedayu ataupun Rangga Tohjaya dari masa klasik Jawa ditampilkan oleh bintang film pria masa kini yang berpenampilan metroseksual.


Seperti Saur Sepuh, dimana dalam filmnya tokoh Brama Kumbara ditampilkan berkumis sedangkan Raden Bentar diperankan oleh actor yang seperti banci dan sudah pasti memporak porandakan gambaran yang sudah sempurna terpatri di benak penggemar sandiwara radionya.


Biarlah yang dua itu tetap tinggal dalam imajinasi sebagai tokoh sempurna. Beruntung saya mengenal Nagasasra dan Sabuk Inten hanya dalam bacaan.


Banyak buku fiksi sejarah yang saya baca, namun karangan SHM tetap mendapat tempat dihati saya dan sempat mengisi masa masa remaja saya walaupun dari generasi yang berbeda.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

satu lagi yang belum disebutkan. dan ini salah satu sandiwara yang paling disukai banyak orang... TUTUR TINULAR