01 Januari 2017

Sekeping Hati di Alor

"Mukamu terlalu lembut untuk seorang traveler, sering jalan sendirian lagi",  begitu yang diucapkan Marlon setengah menggerutu kepada saya.  Saya yang berjalan di belakangnya hanya cengar-cengir sambil kepanasan menahan terik matahari.  Om Marlon, begitu saya biasa memanggil laki-laki yang berusia 4-5 tahun lebih tua dari saya selama di pulau Alor.

Kampung Takpala
Deddy anak om Kris pemilik homestay Cantik yang merekomendasikan Marlon kepada saya.  "Dia itu the best guide in Alor" demikian katanya.  Jadi di hari kedua saya ditemani Marlon mengubek-ubek Alor dengan motornya menghampiri pantai-pantai sepi berair gradasi biru tosca yang jernih dengan pasir putih.


Suasana Alor menjelang Natal ini memang sepi turis.  Wisatawan mancanegara sudah pulang ke negara asal mereka untuk menyambut Natal.  Jadi sepertinya memang cuma saya, pejalan lokal yang menyambangi Alor saat itu.  Namun suasana sepi ini menyenangkan.  Saat tiba di bandara Mali saya takjub melihat kota Kalabahi yang cukup ramai.  Sebagai salah satu dari 92 pulau terdepan Indonesia, Alor, khususnya Kalabahi memang jauh dari kesan daerah perbatasan yang tak terawat.

Om Kris yang menjemput saya di bandara menceritakan Alor secara garis besar.  Jarak bandara dari homestay yang terletak di kota Kalabahi memang cukup ditempuh selama 20 menit, tidak ada macet di Alor.   Homestay Cantik ternyata ada di jalan Dahlia yang menyambung ke daerah perbukitan.

Setelah menaruh tas, saya bersama Deddy segera melaju ke kampung Takpala namun mampir dulu ke pasar Kadelang untuk membeli sirih pinang yang akan diberikan kepada penunggu kampung sebagai tanda persahabatan.

Kampung Takpala terletak di dataran tinggi di luar kota Kalabahi, tidak terlalu jauh.  Suku Abui yang menempati kampung tersebut.  Saat tiba dengan sedikit ngos-ngosan akibat jalan mendaki dari tempat parkir seorang laki-laki yang kemudian saya tahu bernama Martinus menyambut kami.  Dengan Deddy tentu saja ia sudah kenal.  Setelah menyerahkan sirih pinang, kami segera duduk di sebuah rumah yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu.

Moko dan Martinus

Rumah di kampung Takpala ini khas bentuk rumah NTT, berdinding kayu, beratap rumbia.  Bagian bawah digunakan untuk masak dan menerima tamu, sedangkan bagian atas untuk kegiatan yang lebih pribadi seperti tidur dan kumpul keluarga.  Ada 13 rumah yang ditinggali di kampung ini.  Menurut Martinus sekitar tahun 1942, suku Abui mulai turun gunung dan membangun pemukiman Takpala ini.  Keahlian mereka berkebun dan berladang terus berlanjut sampai kini.  Padi ladang dan jagung menjadi sumber karbohidrat mereka.

Hasil ladang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan seisi kampung.
Di lantai atas tempat kami mengobrol ternyata tempat menyimpan benda-benda pusaka seperti Moko atau nekara.  Martinus mempersilakan saya memanjat tangga ke atas.  Di tengah keremangan dengan sedikit bantuan cahaya matahari yang menyusup di sela-sela dinding kayu terlihat tiga buah moko.
Moko merupakan jejak kebudayaan Dongson yang sampai ke NTT dan oleh masyarakat Alor digunakan sebagai belis atau mahar untuk pernikahan.  Moko yang digunakan tentu saja moko-moko kuno tersebut, tidak boleh diproduksi ulang sehingga yang beredar tentu itu-itu saja.  Moko-moko kuno itu dilarang keras keluar dari Alor.

Mama dari suku Abui

Motif yang terukir pada moko tersebut kebanyakan berbentuk cicak, menurut Martinus ada motif ayam tapi jarang sekali.  Ia menunjukkan cara memukul permukaan moko sehingga menjadi semacam kendang untuk mengiringi tarian upacara.

Ada sekitar 52 bahasa suku di Alor, begitu kata Martinus.  Tidak jelas apakah bahasa-bahasa itu masih ada atau sudah ada yang punah.

Mama penjual kalung

Selesai bercakap dengan Martinus, saya melihat beberapa mama menggelar dagangan kalung, gelang dan kain tenun.  Saya membeli beberapa gelang dan ikat kepala dan segera berpamitan kepada Martinus dan para mama serta anak-anak di sana.  Perut saya lapar belum terisi makanan sejak pagi dan hari juga telah sore jadi saya ajak Deddy makan, ia menyarankan rumah makan Mama yang terletak di Teluk Mutiara dekat pasar.

Teluk Mutiara sebenarnya indah,  saat kami datang ada pelangi seakan menggantung tegak lurus, terlihat jelas dari tempat saya duduk di resto. Sayang sampah plastik terlihat terapung mengotori keindahan.  Rupanya orang-orang yang katanya pendatang itu, yang tinggal di tepian teluk terlihat kurang peduli, seperti yang dikeluhkan oleh pemilik rumah makan Mama.  Cukup lama kami bercakap-cakap dengan pemilik rumah makan yang pernah sempat tinggal di Jawa tersebut.  

Teluk Mutiara

Setelah itu kami kembali ke penginapan dan besok saya akan ditemani Marlon sesuai rekomendasi Deddy.

Paginya sambil menunggu, saya memutuskan berjalan kaki ke pelabuhan.  ada dua pelabuhan yang berdekatan, pelabuhan Kalabahi dan Dulionong.  Saya ke pelabuhan Dulionong lebih dahulu.  Di pelabuhan Dulionong kapal-kapal penumpang menuju ke pulau Pantar berlabuh di situ, juga terdapat pasar rakyat.  Di sekitar pelabuhan banyak rumah dan toko milik muslim serta mesjid.  Di Alor ini sama sekali tidak ada persaingan antar agama seperti yang terlihat di Jakarta sekarang ini.  Kemarin Deddy membanggakan kedewasaan masyarakat Alor dalam hidup berdampingan, di mana warga Alor yang Nasrani yang juga merupakan mayoritas tidak segan-segan ikut membantu pendirian mesjid untuk warga muslim.

Pelabuhan Dulionong

Puas melihat pelabuhan Dulionong, kaki segera melangkah ke arah sebaliknya menuju pelabuhan Kalabahi yang selain pelabuhan penyeberangan penumpang juga menjadi pelabuhan kargo dan niaga.  Saya melirik jam di handphone, sudah hampir jam 07.30, saya harus segera kembali ke penginapan untuk bertemu Marlon.

Pelabuhan Kalabahi

Ternyata Marlon sudah menunggu di penginapan.  Tanpa membuang waktu saya segera mengangkat ransel dan tas kamera, segera duduk membonceng di motor Marlon menuju pantai Sebanjar.

"Hei, saya perlu berenang ke tempatmu?"  Marlon berteriak cemas dari pinggiran pantai Sebanjar di mana saya snorkeling.  Tidak saya sangka saat waktu belum juga menunjukkan pukul 10:00 pagi,  permukaan pantai Sebanjar yang jernih dan tenang ternyata menyimpan arus yang kuat.  Tarikan arus langsung terasa saat saya menceburkan diri agak ke tengah, namun saya masih tenang dan mengikuti kemana arus membawa sambil menikmati pemandangan bawah laut, ikan warna-warni dengan koralnya.   Saya menghanyutkan diri sampai pada bekas dermaga yang tiang-tiangnya sudah diselimuti tiram kecil-kecil.  Ikan-ikan aneka warna banyak berkumpul di sana.

Beberapa lama saya hilir mudik di situ, baru saya sadar arus laut kian kuat, saya yang sedang berusaha memotong arus mendadak terpelanting ke samping untung sempat berpegang pada tiang dermaga.  Begitu naik ke permukaan sambil berpegangan, rupanya buku-buku jari tangan terluka, darah mengalir lambat dari robekan kulit. 

Setelah berenang sejam, arus makin kuat.  Marlon yang dari tadi mengamati pergerakan arus dari pinggir mulai cemas melihat kesulitan saya menepi.  Saya memberi tanda supaya tidak usah cemas dan perlahan mulai menyelam berpegangan pada konstruksi dermaga, merayap perlahan ke tepi.  Akhirnya berhasil.  Saya terengah-engah melepas fin dan baru terasa jari-jari tangan yang pedih.  Rupanya ada luka baru.    Marlon dengan cepat memeriksa tangan saya, kuatir tiram yang saya sentuh itu beracun. Ia menggeleng-geleng melihat goresan-goresan luka di jari-jari saya yang lain.

Alor Kecil

Dari Sebanjar kami langsung menuju pulau Kepa yang terletak di Alor kecil dan harus menyeberang sebentar dengan perahu.  Ada resort di tengah pulau yang dimiliki oleh warga negara Perancis dengan status hak guna pakai.  Selama libur natal ini resort ditutup karena pemiliknya pulang kampung ke Perancis.  Saat di Kepa ternyata hujan turun dengan deras, kami berlari-lari berteduh di salah satu bangunan.  Tidak lama kami berteduh hujan menjadi rintik-rintik akhirnya kami kembali berjalan menuju bagian belakang pulau untuk berenang melewati resort La P'tite Kepa yang terkunci rapat.
 
Menunggu hujan reda di Kepa

Orang-orang setempat yang tadi datang sebelum kami telah pulang.  Lagi-lagi hanya kami berdua di situ.  Marlon akhirnya melatih saya berenang di laut...hahaha.  Setengah mati saya memperbaiki gaya berenang saya.  Tadinya saya cuma mau bermalas-malasan main air, ternyata kini harus berenang bolak-balik gaya bebas.  Sampai sore les berenang gratis itu berlangsung.  Saat seharian di Kepa, baru saya tahu Marlon itu termasuk salah satu inisiator pariwisata di Alor, koneksinya yang luas, kemampuan bahasa Inggris dan Jerman yang bagus membuatnya menjadi acuan turis asing yang datang ke Alor.  Lucu melihat gaya bicaranya yang kadang meledak-ledak khas orang NTT. Pengetahuannya yang luas dan detil mengenai seluk beluk Alor membuat keingintahuan saya terpuaskan.

Pulau Kepa di bagian belakang

"Alor tak pantas miskin!" demikian ia menyengat dengan kalimatnya saat saya tanyakan tentang perekonomian warga Alor pada umumnya.   Tanah di Alor relatif subur dan air tawar bukanlah sesuatu yang langka.  Perairannya yang unik kombinasi iklim laut hangat dan dingin dari Australia membuat laut Alor kaya akan ikan, taman lautnya termasuk yang terindah di dunia.

Selesai dari Kepa kami sempat singgah di rumah salah satu penduduk Alor kecil dan menonton TV One yang sedang menayangkan keindahan pulau Alor.  Setelah itu kami kembali ke homestay.  Tapi sebelum itu Marlon kembali membawa saya menyusuri kampung demi kampung, berhenti sebentar di tempat kerajinan tenun ikat milik mama Syariat Libana yang terkenal dengan pewarna alami dari tumbuhan dan hewan.  Saya membeli beberapa kain, Marlon bahkan sempat memainkan gitar gambus di sana.  

Pewarna kain alami




Sudah? belum ternyata, lagi-lagi saya dibawa ke sebuah kampung, setelah melewati kebun pisang kali ini ia menunjukkan pohon beringin tertua dan terbesar di Alor.  Mengesankan melihat pohon raksasa itu.  Setelah itu barulah kami benar-benar mengarah ke penginapan.

Besok adalah hari Natal tapi Marlon tetap ingin datang pukul 8 pagi menjemput saya, jadi kami sepakat dengan waktunya.

Di hari Natal ini kami menuju sumber air panas Tuti yang cukup jauh jaraknya dari Kalabahi sekitar 50 km menuju Timur.  Air panas ini terletak di perbukitan, jalan utama cukup mulus namun begitu berbelok menuju akses masuk segera dimulai guncangan-guncangan akibat medan yang curam dan berbatu.

Gundukan batu warna orange yang menyemburkan air panas terlihat saat kami tiba di lokasi.  Kata Marlon gundukan batu itu akibat pengunjung menambahkan batu yang akhirnya meleleh karena panas.

Air panas Tuti
Ada dua atau tiga tumpukan batu yang mengalirkan air panas di lembah yang merupakan sungai kecil.  Lumut hijau terlihat di bebatuan.  Sementara pohon di sekeliling sungai terlihat berwarna keputihan akibat panas dari air sungai.  Marlon melarang saya menyentuh air langsung dari tumpukan batu karena panas, jadi cukup menikmati percikannya saja. Begitu pun saat menyentuh salah satu bagian yang mengalir ke sungai.


Puas melihat air panas tersebut kami segera bergerak menuju ke Timur, ternyata itu menuju pesisir Maritaing arah Timor Leste.  Tentu saja kami tidak akan sampai di desa Maritaing yang paling ujung karena butuh waktu lebih dari 5 jam ke sana melainkan cukup sampai perbatasan jalan setapak sebelum kampung yang dibatasi oleh perbukitan menuju selat Ombay.  Lalu kami berbalik kembali ke barat menuju pantai Batu Putih yang melewati bukit di atas bandara Mali.

Sepanjang jalan saya disuguhi pemandangan laut biru jernih. Di pantai Batu Putih sendiri terdapat tebing batu besar yang menjorok sehingga seakan menjadi batas garis pantai. Perbukitan yang mengelilingi pantai membuat beberapa bagian menjadi teduh.  Perkampungan muslim berada tepat di pinggir pantai.  Banyak kerabat Marlon yang muslim tinggal di sini.

Pantai Batu Putih

Kembali Marlon menjadi pelatih renang.  Ombak di pantai Batu Putih ini lebih keras dibanding pulau Kepa, ada batu-batu di dasarnya.  Saat akan membalikkan badan untuk melanjutkan renang, kaki saya menghantam batu, sakitnya bukan kepalang.  Marlon segera menghentikan latihan dan membawa saya ke tepian.




Akhirnya kami ngobrol-ngobrol sambil memakan bekal jagung rebus yang kami bawa.  Marlon bergurau jika jumlah jagung yang tersisa kembali utuh seperti sebelum kami makan, maka saat itulah kami harus waspada.   Setelah puas berleha-leha akhirnya kami bersiap kembali ke Kalabahi.   Dalam perjalanan pulang mampir dulu ke hutan mangrove di sekitar pantai Mali dan mengambil beberapa foto di sana.

Hutan mangrove

Hari benar-benar telah temaram saat kami keluar dari hutan mangrove.  Motor segera dipacu menuju Kalabahi dan karena perut saya kelaparan, akhirnya kami mampir makan sate dulu.  Iya, pemilik warungnya berasal dari Solo ternyata.

Besok adalah hari terakhir saya di Alor, dan Marlon janji untuk membawa saya ke pulau Sika.  Menurutnya jika laut sedang surut akan terlihat jalan pasir yang menghubungkan pantai Mali ke pulau Sika.  Jalur itu bisa dilalui dengan jalan kaki tidak perlu naik perahu.  Pulau Sika dijaga dan dimiliki oleh bapak One.

Keesokan harinya seperti biasa Saya dijemput pukul 8 pagi dan langsung menuju Sika.  Pulau Sika tidak jauh dari bandara Mali.  Marlon membelokkan motornya ke jalan setapak yang berbatasan dengan pagar bandara.  Di jalur itu terdapat pohon tumbang sehingga saya terpaksa turun dan membiarkan Marlon mendorong motornya melewati bawah pohon yang tumbang itu.
Jalur menuju pantai Mali di seberang bandara

Setelah menempuh jalur yang berkelok-kelok sebentar, akhirnya tiba juga di pantai Mali, sepi, jernih dan cantik seperti biasa.  Motor diparkir begitu saja di pinggir pantai, kami pun segera melenggang menyusuri pasir pantai yang putih menyilaukan.

Ternyata jalur pasir dari Mali ke Sika tertutup pasang sehingga harus naik perahu.  Ada nelayan yang bersedia mengantar kami dengan imbalan sepantasnya.  Dari nelayan itu pula kami tahu bahwa Bapak One sedang ada di Mali untuk ke gereja.

Pulau Sika

Sika, pulau kecil di tengah laut dengan pasir putih lembut.  Yang terkenal dari pulau ini adalah sepasang dugong atau ikan duyung yang jinak dengan bapak One sebagai pawangnya.   Bagian belakang pulau ini terdapat 3 atau 4 pondok mungil menghadap laut biru cerah.  Di sisi lainnya terdapat tanaman bakau. Kami berjalan memasuki bagian dalam pulau menerobos hutan-hutan yang tidak terlalu rapat dan mampir sebentar ke makam Sultan Sika.

"Kerja saja One, tidak ada duit untuk tanam mangrove, tapi jangan patah semangat untuk mencintai alam".  Dengan semangat bapak One bercerita awal-awal ia mengurus pulau warisan ini.  Saat  kami balik ke pantai Sika bagian depan, ternyata bapak One sudah kembali dari Mali jadi kami bisa mengobrol.  

Bapak One dan cucu

Sudah 14 tahun ia menetap dan mengurus pulau Sika yang terdapat makam orang suci dan dipercaya oleh masyarakat sebagai Sultan Sika, seorang bangsawan Cirebon penyebar Islam yang akhirnya mempunyai hubungan dengan keluarga bapak One sehingga dimakamkan di tanah keluarga.

Niat tulus merawat alam walaupun dengan kondisi keuangan pas-pasan ternyata membawa keberkahan yang melimpah.  Bapak One yang kala itu sedang bekerja menanam mangrove tiba-tiba dihampiri oleh 2 ekor ikan duyung entah datang dari mana.  Sejak itu kedua ekor ikan tersebut menjadi sahabat bapak One dan kerap dipertunjukan kepada para turis yang mampir di Sika.

Belum ada perhatian dari pemda setempat terhadap pulau elok ini, padahal jaraknya dekat sekali dari bandara Mali.  Saat kami mengobrol pun terlihat pesawat turun dari ketinggian untuk persiapan landing.

Sudah ada 3 atau 4 pondok penginapan yang cantik jika ada wisatawan yang berniat menginap, sumur air tawar sudah ada, listrik tersedia walaupun ala kadarnya.  Hanya kamar mandi yang belum ada.  Di Sika ini cukup menggali 3.5 meter air tawar sudah muncul.

Bapak One yang merupakan didikan WWF sering menyambut para peneliti dan para staf WWF atau dari Organisasi lain di Sika berkenaan dengan studi lingkungan hidup sesuatu yang membuatnya fasih bila berbicara soal pelestarian lingkungan.

Sudah banyak yang ingin berinvestasi di pulau Sika, namun bapak One belum berniat menerima.  Satu keinginannya, boleh pihak luar berinvestasi tapi harus melibatkan putra-putri Mali.  Ia tidak ingin orang-orang Alor dan anak cucunya dipersulit oleh investor saat mengunjungi Sika pada suatu hari nanti.

Hampir sejam kami mengobrol, tukang perahu yang kami pesan untuk menjemput sudah datang sehingga kami pun berpamitan dan segera naik perahu kembali ke Mali.

Motor pun segera melaju,  kali ini menuju air terjun Ilawe, yang letaknya masih di Kalabahi.  Tapi Marlon sudah wanti-wanti agar siap-siap stamina.  Saya tergelak saat ia menceritakan bagaimana ia harus menggendong turis asal Polandia menuju air terjun Mataru karena sang turis sudah kelelahan.  Turis yang badannya dua kali lebih besar dari badan kamu begitu kata Marlon.  

Jalan menuju Ilawe

Tidak ada petunjuk jalan menuju Ilawe,  Marlon memarkir motor di halaman sebuah rumah di pinggir rute jalan yang menurun.  Ia menyapa beberapa orang yang sedang duduk lalu langsung menuruni lembah di pinggir jalan, ternyata itu rutenya.

Begitu turun kami langsung dikepung oleh rapatnya vegetasi hutan dan terlihat anak sungai yang harus disusuri untuk sampai ke air terjun.   Perjuangan langsung dimulai,  dari turun ke sungai sampai merayap di jalur yang hanya selebar telapak kaki sementara di bawahnya batu-batu sungai.  Saya jatuh berkali-kali karena licin, atau tersangkut akar pohon.  Tapi keelokan pemandangan sepanjang jalur sungai membuat saya rela menjalani rute ini.  


Marlon tertawa-tawa melihat saya terengah-engah kehabisan napas saat memanjat batu-batu.."Cantik-cantik malah keluyuran di sini, harusnya tinggal di rumah saja."  Kembali saya tertawa mendengar ejekannya.   Muka saya penuh dengan sarang laba-laba yang banyak bergantungan di pepohonan yang terpaksa saya terobos.

Sungai tempat air terjun berada

Air sungai yang bening dan dingin membuat saya berkali-kali meraupnya untuk disiramkan ke muka, enak sekali, setelah berhari-hari disiram air laut yang asin.  Rute ini rasanya tidak habis-habis walaupun kami sudah berkali-kali memanjat.  Akhirnya panjatan terakhir kami sampai di Ilawe.

Batu-batu besar menjadi dinding, sayang debit airnya tidak besar.  Marlon menunjuk semacam batu yang menggantung, katanya itu membuat debit air yang jatuh berkurang banyak karena tersumbat.  Hal itu terjadi karena gempa.

pohon tua yang tumbang menjadi jembatan
Air terjun mini di Ilawe

Ada kolam kecil dengan air terjun mini di sisi kiri.  Saya segera duduk dan berendam di sana, sejuk sekali.   Jika kita turun ke dasarnya, tinggi air sampai di atas dada.  Beberapa lama saya duduk di atas batu sambil merendam kaki.  Tidak terlalu lama kami berada di sana mengingat hari beranjak sore.  Bila sudah kehilangan sinar matahari akan sangat sulit sekali keluar dari sana.

Perjalanan kembali jauh lebih cepat dari pada perginya.  Kami kembali ke tepi jalan saat hari masih terang.  Dan saat menuruni jalan ternyata langsung menuju penginapan saya.  Jadi dari pantai Mali tadi itu kami langsung menyusuri perbukitan yang melingkari kota.

Air terjun Iwale menjadi kunjungan terakhir saya di Alor.  di penginapan saya berpamitan pada Marlon setelah menyelesaikan urusan-urusan administrasi karena besok pagi harus kembali ke Jakarta.  

Empat hari di Alor rasanya belum puas,  karena masih banyak pulau-pulau sekitar yang belum djelajahi, namun apa boleh buat masih banyak yang harus dikerjakan di Jakarta.  Jadi saya masih meninggalkan kepingan hati di Alor menunggu saat yang tepat untuk diselesaikan


1 komentar:

ATMO mengatakan...

wah dokumentasi perjalanan yg luar biasa mbak. foto2nya bagus bgt.