20 Agustus 2017

Caringin - Labuan

Sarmunah, perempuan tua yang menjadi pemijat keliling di kawasan Caringin, Carita - Labuan dengan mantap mengurut betis dengan minyak urut. Jemarinya cekatan memilah urat yang tegang, membuat kening saya berkerut-merut.

Semula saya tidak ingin dipijat.  Sudah beberapa orang ibu menawarkan jasa dan saya hanya menggelengkan kepala.  Entah kenapa saat Sarmunah datang dan menawarkan pijatan, kepala saya mengangguk mengiyakan.  Tanpa membuang waktu ia segera membentangkan kain lusuh untuk saya duduki selama ia mengerjai kaki dan tangan.


Sambil memijat ia bercerita tentang pendapatan hariannya sebagai tukang pijat.  Hari ini ia baru mendapat empat orang.  Ia tinggal bersama anak bungsunya yang hanya lulusan SD sedangkan suaminya sudah meninggal.

Pekerjaan almarhum suaminya ternyata bukan nelayan melainkan pedagang.  Saya baru tahu kalau kebanyakan penduduk asli Caringin bukan berprofesi sebagai nelayan walaupun mereka tinggal bersisian dengan laut, setidaknya itulah yang dikatakan oleh Sarmunah.


Menurutnya yang punya kapal adalah orang-orang asal Jawa, orang Cirebon.  Merekalah yang menjadi nelayan.

Saya diam mendengarkan ia bercerita tentang beras raskin yang berwarna keruh, sehingga ia memilih untuk membeli saja beras seperti biasa,  Apakah ada kartu untuk pendidikan gratis? ia menggeleng.  Karena biaya sekolah yang mahal menurut ukurannya, ia tidak mampu membiayai anak bungsunya untuk melanjutkan pendidikan selepas sekolah dasar.

Sementara hari telah beranjak sore, para pengunjung pantai Pasir Putih yang pasirnya tidak terlalu putih itu mulai beranjak pulang.  Sesi pijat pun usai saya segera memberikan upah atas pijatannya

Kawasan Caringin Labuan merupakan terusan Carita.  Iya wilayah wisata pantai.  Tidak ada yang istimewa dengan pantai-pantai publik yang juga nyaris dipenuhi sampah.


Namun di sebelah kiri jalan apabila datang dari Jakarta akan ditemukan sebuah mesjid kuno yang dikenal dengan nama Mesjid Caringin yang telah dijadikan cagar budaya. Arsitekturnya sederhana namun langsung mengikat mata.  Dari papan cagar budaya yang terpasang miring disebutkan bangunan ini selesai dibangun tahun 1893.


Tidak ada yang dapat ditanyai, satu orang yang terlihat berada di dalam mesjid hanya menggeleng saat saya menanyakan soal mesjid.  Akhirnya saya berkeliling mesjid sambil memotret, sempat ragu sejenak mengingat saya tidak memakai kerudung.


Arsitektur dalam mesjid lebih menarik, ada ruang sendiri untuk wanita jadi tidak seperti sekarang yang dipisahkan oleh kain.  Begitu pula dengan pilar-pilarnya.


Sempat saya google tentang mesjid yang didirikan oleh KH Asnawi ini.  Berita yang didapatkan bahwa mesjid ini dibangun tahun 1884, setahun setelah letusan Krakatau.
Makam KH Asnawi berada di seberang mesjid dan biasanya menjadi tempat ziarah.

Jalan raya Caringin - Labuan tidak terlihat istimewa, sama seperti jalur jalan di tepi pantai lainnya.  Tata kota yang semrawut, macet di beberapa titik akibat adanya perbaikan jalan.  Caringin dulunya merupakan ibukota kabupaten Banten Kulon.

Akibat letusan Krakatau 1883, Caringin tersapu gelombang pasang sehingga pusat pemerintahan berpindah ke Menes yang letaknya di pedalaman.  Kini Caringin merupakan bagian dari kota Pandeglang.

Pantai-pantai di sepanjang daerah Caringin - Labuan tidak terlalu istimewa.  Banyak pantai publik yang kotor.  Pantai di tempat kami menginap lumayan jernih karena memang bukan pengunjung umum.  Terdapat karang-karang di beberapa spot.  Namun justru yang berkarang ini yang berair jernih.



Di dekat pantai Lagundi, salah satu pantai publik terdapat sungai yang menjadi moda transportasi untuk mengangkut peralatan wisata air seperti banana boat dan jetski.  Sayang banyak terdapat sampah.  Padahal jika dipelihara dengan baik sungai ini bisa menjadi tempat wisata.

Di seberang sungai terdapat perkampungan nelayan.  Sekelompok anak terlihat menyeberang dengan perahu sambil menenteng papan surfing.




Soal warung makan, yang terlihat sepanjang jalan adalah warung bakso, entah kenapa tidak ada warung yang menjual makanan khas Banten seperti nasi sumsum.
Kalau sedang iseng, tak tahu mau ngapain bolehlah ke Caringin ini kalau Tanjung Lesung terlalu jauh dan ke Krakatau terlalu menguras tenaga.


Tidak ada komentar: