09 November 2017

MENGHAMPIRI PANTAR, MENYAPA LEMBATA


Ini kedua kalinya saya menginjak tanah yang dijuluki surga di timur matahari.

Duduk di dekat jendela pesawat membuat saya bebas memandang lautan biru lembut yang membentang di bawah.  Baru pertama kali saya dapat melihat panorama Alor dari kaca jendela.  Pada perjumpaan pertama dahulu saya mendapat kursi di pinggir lorong pesawat.

Alor kali ini menjadi semacam persinggahan sebelum menuju pulau Pantar dan Lembata melalui laut. Pulau Pantar walaupun masih berada dalam kabupaten Alor namun butuh waktu cukup lama dicapai dengan menyeberangi laut 

Karena kapal penumpang sudah berangkat dari jam 8 pagi maka saya menginap semalam di Alor. Cukup untuk sekadar napak tilas dan menjenguk tempat yang belum dikunjungi; apalagi bersamaan dengan adanya pembukaan Expo Alor di lapangan Kalabahi

Menginjak bandara Mali kali ini rasanya amat sangat santai, berbeda dengan saat pertama kali dulu yang agak tegang karena masih belum kenal situasinya.  Saat transit di bandara Kupang saya sudah mengontak pemandu andalan, Om Marlon yang akan mengantar ke Pantar dan Lembata.


Tak lama saya sudah berada di dalam mobil jemputan yang hanya mengantar saya ke penginapan di hotel Kenari.  Sebuah hotel tua, begitu kesan saya.  Tapi menarik, hotel ini punya aula lumayan luas menyambung dari lobi.  Kamar-kamar berada di bagian samping.

Setelah makan siang di rumah makan Jember, segera mengejar waktu ke museum.  Iya, kunjungan dahulu tidak ke museum karena bertepatan dengan malam Natal dan museum sudah tutup sampai seminggu sesudah Natal.


Museum 1000 Moko ini walaupun sederhana namun menyenangkan untuk dikunjungi.  Tidak cuma menampilkan Moko, di gedung sebelahnya ditampilkan kain-kain khas Alor yang motifnya sudah amat jarang dibuat. Staf museumnya juga amat ramah, saya senang mendengar penjelasannya yang tenang dan jelas.

Keluar museum kami masih berputar-putar melewati lapangan Kalabahi yang sudah mulai ramai. Terlihat stand-stand telah berdiri dan akan ada pawai dari suku-suku yang ada di Alor, seru kan.
Akhirnya kami berhenti di satu sudut jalan Diponegoro, jalan utama.  Pawai akan melewati jalan ini dahulu sebelum berakhir di lapangan Kalabahi.

Lamat-lamat sudah terdengar riuh rendah suara marching band.  Para penonton pun menyambut dengan riang,  Mayoretnya, seorang gadis belia terlihat bersemangat berlenggak lenggok.  Di belakang barisan marching band berbaris bermacam suku dari wilayah Alor, Pantar dan di luar Alor seperti Timor.


Bagi para pecinta kain, kalian bisa memuaskan dahaga dengan melihat pawai ini.  Kain-kain cantik berseliweran, dililitkan ke tubuh para peserta.  Para gadis ada yang mengenakan hiasan kepala dengan manik-manik seperti dari Pantar barat.  Para mama menari, gelang berwarna keemasan yang melilit kaki mereka bergemerincing mengikuti gerakan.



Nyanyian dari bahasa suku masing-masing dikumandangkan.  Nikmat rasanya mendengar lafal-lafal timur yang asing di telinga saya dikumandangkan.  Sampai kapan bahasa-bahasa asli ini bertahan? Sampai kapan masyarakat Alor tetap setia dengan budayanya tanpa harus menjadi seragam seperti bagian barat Indonesia?

Setelah puas menyaksikan pawai, kami bergeser ke lapangan Kalabahi menyaksikan pameran barang-barang kerajinan lokal.  Di lapangan yang berdebu, para mama berlalu lalang sambil bersirih. Tidak lama juga kami di sana karena hari sudah sore.


INSIDEN KEHILANGAN KUNCI
Sial saat kembali ke penginapan ternyata kunci yang saya taruh di saku hilang entah kemana.  Sementara pegawai yang mengurus soal perkuncian sudah pulang.  Terpaksa saya bersama om Marlon menjemput si bapak.  Akhirnya saya pindah kamar setelah barang-barang dikeluarkan dari kamar yang dibongkar itu.

Insiden yang melelahkan membuat saya tidur nyenyak walau badan pegal.  Paginya bangun dan bersiap akan ke pulau Pantar, sekitar 3-4 jam berlayar dengan kapal penumpang dari dermaga di Kalabahi.

Sepanjang pelayaran, cuaca cerah dan laut pun bersahabat. Pulau-pulau di tengah laut telah terlewati sampai akhirnya tiba di pelabuhan Baranusa, Pantar.  Kesan pertama adalah pulau yang sepi.  Satu-satunya kendaraan roda empat yang ada ialah truk, itu pun hanya satu yang lewat, mengepulkan debu yang membuat Baranusa semakin terasa mendidih. 


Dari pelabuhan kami berjalan kaki menuju sebuah penginapan yang terlihat hanya satu-satunya.  Untung banyak kamar kosong.  Sedang tidak ada turis yang ke sini rupanya.  Pemilik penginapan itu sebenarnya sudah meninggal, anak-anaknya semua di luar kota sehingga rumah keluarga itu dikelola oleh kerabatnya.  Letak penginapan berseberangan dengan mesjid jami.  Memang penduduk di Baranusa mayoritas muslim, sedangkan yang nasrani bermukim lebih ke dalam, di atas perbukitan.  Ternyata saat itu Pantar sedang mati listrik. 

Usai menaruh ransel, kaki segera melangkah sedikit menjelajahi jalan-jalan kecil di Baranusa sekaligus mencari motor yang bisa disewa.  Tujuan besok paginya adalah menuju gunung Sirung.


MENDAKI GUNUNG SIRUNG, MENGHAMPIRI TIGA WARNA
Matahari bersinar amat garang.  Kepala saya yang terlindungi oleh topi dan wajah tertutup kain nyaris tidak mampu menahan panasnya.  Beruntung saya juga memakai pelindung lengan, sehingga kemungkinan kulit terbakar dapat dihindari.

Yang tidak dapat ditolak adalah rasa haus dan lemas.  Menuruni gunung Sirung ternyata tidak lebih mudah dari mendaki.  Kala mendaki badan masih segar, biskuit dan air putih rasanya cukup menambah tenaga walaupun tidak selincah Kakak Jai dan Marlon.

Kak Jai adalah warga desa Kaka Mauta yang berada di kaki gunung. Dari rumahnya lah kami berangkat.  Dari percakapan ternyata kak Jai ahli berburu rusa.  Perjalanan dimulai sekitar jam 06.00 pagi, menerobos kebun desa, naik ke hutan bambu sampai bertemu pohon-pohon kayu putih.  Alang-alang setinggi manusia juga berada di jalur pendakian.  Kak Jai hanya bercelana pendek dan bersendal jepit sambil membawa golok, berjalan santai, bukan main.



Tidak terlalu susah untuk mencapai puncak, hanya saja karena saya bukan pendaki tetap saja ngos-ngosan dan sering berhenti untuk sekadar menarik napas.  Nuri, anjing kak Jai yang menemani selama pendakian kerap mengelilingi kami.

Cukup lama juga kami berjalan mendaki, sampai akhirnya tiba di penghujung puncak.  Pemandangan ke bawah adalah kawah yang berwarna kebiruan.  Tidak boleh berisik di sini demikian kak Jai memperingatkan.  Tapi memang hanya kami bertiga yang ada di situ.   Sempat berfoto-foto sebentar sebelum kembali turun.

Semestinya turun itu lebih gampang dari naik.  Namun daya tahan saya sudah melemah, entah kenapa.  Berjalan turun sama menyiksanya dengan naik, karena badan terasa lemas.  Rasanya lama sekali mencapai hutan bambu yang menjadi perbatasan dengan kebun warga.  Saat melintasi kebun warga pun langkah terasa makin berat.  Akhirnya tiba juga di rumah kak Jai.

Semula berharap ada warung yang menyediakan es batu dengan minuman.  Tapi ternyata tidak ada yang menjual es batu.  Es batu adalah barang langka di sini.  Akhirnya saya mengikuti anjuran om Marlon, segera pulang ke penginapan agar segera dapat beristirahat.

Benar saja, sampai di Baranusa saya turun dari motor berjalan  sempoyongan masuk penginapan dan ibu penunggu penginapan tergopoh-gopoh segera membuatkan teh hangat manis.  Teh hangat itu membuat darah saya terasa mengalir kembali.


Kami beristirahat beberapa saat  sampai kekuatan pulih, kembali saya membonceng Marlon untuk menuju pantai Tiga Warna yang terletak di dusun Puntaru.  Dari Baranusa menyusuri jalan yang mulus kurang lebih 10 km sebelum terbanting-banting di atas jok motor.  Kondisi jalannya bisa membuat yang sedang hamil muda langsung keguguran sedangkan yang hamil tua langsung melahirkan di tempat.  Yang tidak hamil saja merasakan perut ngilu akibat kontraksi menguatkan otot perut agar tetap tegak di atas sepeda motor.

Tidak ada petunjuk jalan, jalur pun seadanya kadang melewati kebun-kebun terpencil.  Dibutuhkan guide yang mumpuni bagi wisatawan yang berniat ke pantai ini.  Tidak bisa menggunakan mobil krn jalurnya yang sempit dan terjal.  Tapi memang tidak ada mobil di sini kecuali truk.


Namun yang pemandangan yang dijumpai setelah tiba di tujuan sangat menakjubkan.  Sungai belerang yang berkelok dengan air terjun kecil bermuara sampai ke laut.  Pasir pantainya berwarna kecoklatan agak merah.  Jika dilihat lebih detail terdapat warna putih dan biru kelabu.  Air lautnya berwarna kekuningan akibat bercampur dengan belerang.  Jika berjalan di pantainya akan terlihat dua buah gunung.  Terlihat beberapa anak sedang bermain-main di tepian

Sekitar satu jam berada di pantai Tiga Warna sebelum bersiap kembali.  Dalam perjalanan pulang pun masih sempat tersasar di sebuah kampung yang kemudian baru saya tahu bernama kampung Delaki.  Kampung ini berada di tepi pantai, saat itu warga kampung sedang mengangkut karung-karung kebutuhan sehari-hari dari sebuah kapal.  Dua kali seminggu kapal datang membawa sembako dan kebutuhan lainnya, demikian menurut warga di sana.


Beberapa anak muda sempat meminta saya memotret mereka sambil ramai-ramai mengangkut perahu yang tentu saja dengan senang hati saya penuhi, tentunya dengan berisik saking serunya.  Dari obrolan tadi saya menangkap bahwa gunung Sirung dianggap keramat bagi warga kampung.  Orang yang sembarangan mendaki gunung tersebut akan membawa kesusahan bagi warga seperti panen yang gagal.

Beruntung saya bersama Marlon, ia dengan sigap mengarahkan motornya ke arah yang benar selepas dari kampung Delaki.
Hari sudah beranjak sore saat motor kami memasuki Baranusa. Seperti biasa listrik mati lagi.  Daerah ini lebih banyak mati listriknya dibanding nyala.  Siang hari sudah pasti listrik padam, malamnya baru nyala atau malah padam terus menerus selama beberapa hari.  Ibu penunggu penginapan mengeluh karena tidak dapat menyimpan ikan.  Sekalinya menyala pada malam hari ibu langsung menonton sinetron, bahagia sekali kelihatannya :)


Warung ibu penginapan ini adalah warung makan satu-satunya yang dapat kami temui di Baranusa.  Lauk makan yang disajikan kebanyakan ikan dan sayuran, tidak masalah.  Ikannya selalu segar karena diambil langsung dari laut.

Malam itu karena lelah ditambah mati lampu, akhirnya memilih tidur karena besoknya akan berlayar ke Weiriang.


WEIRIANG
Pagi-pagi sekali, jam 04.30 pagi kami sudah melangkah menuju dermaga setelah malamnya bernegosiasi dengan pemilik perahu motor.  Hari Senin bukanlah hari pasar di mana orang-orang dari Pantar datang dan berbelanja di pasar Weiriang sehingga kami harus menyewa perahu ke sana.

Wieiriang terletak di Lembata timur, butuh waktu sekitar 3 jam berlayar menyusuri selat Alor menuju ke sana.  Perahu yang kami tumpangi kecil saja, rada was-was sebenarnya.  Tapi pagi itu laut terlihat bersahabat.

Perahu motor perlahan bergerak meninggalkan dermaga Baranusa, langit masih gelap.  Kurang lebih sekitar 10-15 menit menyusuri perairan yang sepi, seberkas sinar terang dari benda mirip perahu motor terlihat mendekat dengan cepat dan tiba-tiba menghilang, "hantu laut" demikian Marlon memberitahu.  Pantas saja, tadi dilarang menyalakan cahaya.


Sempat merinding juga, tapi toh ini sudah pagi jadi pasti gangguan akan hilang.  Memang tidak terjadi apa-apa setelah itu.  Langit memerah dengan cepat.  Samar-samar terlihat gunung dan pulau sekitar juga terlihat.

Walaupun masih pagi, namun ombak di selat Alor ini tergolong cukup keras buat yang terbiasa dengan ombak teluk Jakarta, begitu juga dengan arusnya.  Namun bapak pemilik perahu tenang-tenang saja.


Setelah 2 jam berlayar tampak pulau yang sangat landai, orang menyebut itu pulau delapan.  Saking landainya sering ada kapal yang kandas karena tak terlihat.
Pemandangan bukit-bukit sekitar yang berwarna kekuningan indah sekali.

Pulau Lembata mulai tampak dari kejauhan.  Namun untuk tiba di sana ternyata masih cukup lama.  Perahu kami harus memutar karena, arus dan gelombang sedikit keras.  Namun akhirnya perahu merapat juga di Weiriang.  Ternyata butuh waktu hampir 4 jam untuk itu.


Bangunan mesjid tampak jelas.  Weiriang sepi hari ini karena memang bukan hari pasar.  Kami menuju lokasi tempat pasar yang menjadi tempat transaksi warga saban Kamis, dan memang hanya lapak-lapak kosong yang ditemui.  Panas terasa menyengat ditambah kondisi jalan yang berdebu membuat tenggorokan cepat kering.  Namun di Weiriang ini listrik tampaknya bukan kendala.  Sedikit naik ke atas ternyata ada minimarket kecil lengkap dengan lemari pendingin sehingga bisa membeli teh botolan, sesuatu yang tidak dapat diperoleh di Baranusa.

Pemilik perahu sudah mewanti-wanti agar kami tidak terlalu lama berada di Weiriang karena ombak akan semakin membesar mengingat perahu kami yang mungil tidak akan mampu berbuat banyak di tengah lautan.  Jadi kira-kira satu jam lebih kami berkeliling sedapatnya,  Pemukiman di sisi pulau yang kami jumpai ini memang cukup padat karena terletak di tepi pantai, tapi begitu masuk ke arah dalam makin jarang rumah penduduk.

Saat kami kembali ke perahu waktu menunjukkan pukul 11:00 siang.  Yang dikhawatirkan oleh tukang perahu ternyata benar.  Belum jauh meninggalkan Weiriang ombak mulai meninggi memaksa kami menepi ke sebuah tempat bernama Tamalhaur.  Kami mendarat di Tamalhaur, di sisi yang berupa kebun warga.  Hampir satu jam duduk-duduk di bawah pohon rindang menunggu ombak mereda, sampai tukang perahu memberikan aba-aba untuk segera berangkat.

Ternyata yang dianggap reda oleh si bapak masih sanggup untuk membanting perahu sampai oleng ke kiri dan kanan. Tak terhitung berapa kali perahu kami sempat melayang sebelum akhirnya terbanting, masih untung tidak terbalik.  Sudah pasti pakaian kami basah kuyub, untung kamera terlindung oleh dry bag, ya sampai saat itu saya masih mencemaskan kamera dibanding diri sendiri.


Beberapa jam perahu bergerak terhuyung-huyung sampai akhirnya masuk juga ke perairan yang tenang dengan landscape alam yang luar biasa dan berlabuh kembali di Baranusa.  Hari masih cukup siang sehingga masih punya waktu untuk beristirahat sambil makan siang.  Hari ini merupakan hari terakhir di pulau Pantar, jadi kami benar-benar menghabiskan waktu di luar sampai senja menjelang dan kembali menikmati kegelapan akibat listrik yang masih padam.

Paginya kami menumpang kapal yang menuju Alor untuk tinggal dua malam lagi sekaligus membersihkan baju-baju yang kotor dan berdebu.  Perjalanan pulang tidak setenang perginya, mendekati pulau Pura, ombak membesar, kapal sempat oleng beberapa kali namun akhirnya aman setelah berganti nakhoda.  Sampailah kami di Alor dengan selamat.

Dua malam di Alor diisi dengan naik motor mendaki bukit Hulnani, melihat teluk Benlelang dari atas serta mengelilingi teluk Kalabahi.  O ya ada sungai jernih yang berada di tanah milik suku Adang sehingga dinamakan sungai Adang, letaknya ada di atas Kalabahi, sedikit di bawah desa Otvai.  Sungai yang cantik berair jernih dengan air terjun bertingkat. 


Dan sayang sungguh sayang, saya harus segera pulang. Semoga bisa berjumpa lagi dengan Alor yang permai.


1 komentar:

Baktiar77 mengatakan...

Kemarin sempat ke Pantar cuma gak sempat ke tempat2 yang menarik karena sibuk ngurusi pembangunan wc di perkampungan hahahaha... pengen next time spesial Pantar