“Apa pendapat mbak tentang tata letak di Museum Nasional? Bagaimana
informasi yang disajikan?”
Demikian seorang gadis menyapa sambil membagikan pertanyaan kuesioner. Bukan baru kali ini saja kuesioner diadakan di museum, sudah berkali-kali; namun sepengetahuan saya belum ada perubahan yang berarti di museum. Saya memberikan jawaban standar, berharap ada pertanyaan yang lebih spesifik namun sia-sia saja. Pertanyaan hanya menyentuh hal-hal umum.
Demikian seorang gadis menyapa sambil membagikan pertanyaan kuesioner. Bukan baru kali ini saja kuesioner diadakan di museum, sudah berkali-kali; namun sepengetahuan saya belum ada perubahan yang berarti di museum. Saya memberikan jawaban standar, berharap ada pertanyaan yang lebih spesifik namun sia-sia saja. Pertanyaan hanya menyentuh hal-hal umum.
Kamis siang suasana di Museum Nasional sangat
lengang. Tentu saja selain masih hari sekolah dan hari kerja sekarang
adalah bulan ramadhan. Orang malas berkeliaran di siang yang terik
ini. Saya melihat daftar hadir yang ada
di receptionist, dari pagi ada sekitar 20 nama tertulis, hmmm…lumayan?
Penerangan di museum sedikit remang-remang, agak
aneh memang. Pengunjung masuk dari gedung baru karena gedung yang lama
sedang direnovasi. Di sisi kiri setelah pintu masuk terdapat ruang kaca
yang merupakan jalur lalu lintas pengunjung dari gedung lama ke gedung baru, di
situlah Pameran Lahirnya Pancasila diadakan dari tanggal 2 - 15 Juni 2017.
Berbeda dengan pembukaan acara yang gegap
gempita, hari ini suasana nyaris senyap membekap ruang pamer. Tapi
perkiraan akan keheningan itu tidak berlangsung lama karena selalu ada
pengunjung yang datang ke ruang pamer ini, perlahan namun mengalir pasti. Hari
Sabtu dan Minggu pengunjung pasti bertambah, biasanya seperti itu walaupun
penambahan itu tidaklah spektakuler.
Pameran Lahirnya Pancasila menampilkan foto-foto
dan dokumen-dokumen seputar sidang BPUPKI dan PPKI yang disimpan oleh Arsip
Nasional dan Perpustakaan Nasional yang merupakan koleksi AG Pringgodigdo. Ada juga gambar design burung Garuda dari
awal sampai menjadi yang sekarang.
Lontar Sutasoma pun dipamerkan dalam kotak
kaca. Jangan berpikir itu kitab Sutasoma
yang benar-benar ditulis oleh Mpu Tantular pada abad 14. Yang kita lihat sekarang adalah Salinan dari
abad 19.
Tata letak pameran standar saja, berupa
panel-panel yang dipasang berurutan dengan lampu sorot. Rasanya untuk pameran
dengan konten penting seperti ini bisa ditata dengan lebih menarik, tidak
semata hanya menjejerkan dokumen-dokumen yang tulisannya agak susah dibaca dan
dipahami oleh anak muda sekarang.
Dulu saat masih di sekolah dasar dan sekolah
menengah, guru sejarah rajin sekali mengulang-ulang BPUPKI ini yaitu Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia sedangkan PPKI adalah Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. BPUPKI dikenal dengan nama Dokuritzu
Zyunbi Tyoosakai yang diketuai oleh KRT Radjiman Wedyodiningrat, salah satu
anggota Budi Utomo.
Jadi sebelum pembentukan panitia terlebih dahulu
dibentuk badan penyelidik. Begitulah kira-kira logikanya.
Berdasarkan dari daftar hadir yang diketik, ada sekitar 62 orang yang menjadi
panitia. Yang termuda adalah BPH Bintoro, yang baru berusia 27 tahun saat
itu. Dalam daftar hadir yang dipampangkan dalam pameran jika dicermati
terdapat 4 orang Tionghoa dan 1 orang Belanda yang masuk jadi anggota BPUPKI
Dalam sidang BPUPKI ada tiga orang yang berpidato
yaitu Soepomo, Muhammad Yamin dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni, Soekarno
menguraikan 5 dasar negara yang semula disebut dengan Panca Dharma yang diubah
menjadi Pancasila yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, Mufakat,
Kesejahteraan sosial serta Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam notulen juga diungkapkan adanya kesukaran
mencari pertemuan paham antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan terutama
mengenai soal agama dan negara, namun perbedaan itu akhirnya dapat
diselesaikan. Jika sempat ada perdebatan di antara bapak bangsa mengenai
sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu sudah diselesaikan dengan keikhlasan semua
pihak. Adanya kompromi justru menegaskan bahwa Indonesia memang dibangun oleh
berbagai elemen.
Menarik melihat susunan kursi para peserta
BPUPKI. Soekarno duduk di samping Muhammad Yamin. Dua orang yang
sama-sama mencandu Indonesia. Saya malah membayangkan sebelum berpidato
kedua orang tersebut berdiskusi tentang isi pidato masing-masing sehingga Yamin
pun sering dianggap sebagai pengagas Pancasila berkat isi pidatonya.yang
mendapat giliran lebih awal dari Soekarno.
Pameran ini tentu penting untuk disimak buat kita
yang mungkin sudah sedikit lupa tentang Pancasila. Bukan cuma sila
Ketuhanan yang penting. Hatta sendiri pernah menulis: “Apa
artinya pengakuan terhadap dasar Ketuhanan Yang Maha Esa apabila tidak bersedia
dalam praktik menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan YME seperti kasih
dan sayang serta adil”.
Slogan-slogan bela Pancasila serta indoktrinasi
tentang dasar negara yang didrop dari atas seperti masa orba tidak akan ada
artinya jika kita tidak memahami intisari dari Pancasila itu sendiri.
Dalam Pancasila terkandung kewajiban negara untuk
menciptakan kondisi yang nyaman bagi warganya untuk beribadah sesuai agama yang
dianut, bermufakat dalam pengambilan keputusan serta menciptakan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat. Sebaliknya
ada kewajiban sebagai rakyat Indonesia untuk mematuhi apa yang menjadi dasar
negara dan sudah diputuskan oleh para pemimpin.
“Pancasila
itu sudah final, sudah selesai” demikian kata sejarawan JJ Rizal yang saya
tanyai setelahnya. “Sekarang yang seharusnya ditanyakan adalah
apakah keadilan sosial itu sudah tercapai?” lanjutnya lagi
Seperti yang tertulis pada prolog pameran:
Pancasila ialah pandangan hidup, dasar negara dan alat pemersatu bangsa.
Bahwa Indonesia yang berbeda suku bangsa dan
bahasa dapat disatukan seperti yang tertulis dalam kitab Sutasoma: Bhinneka
Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.
Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa
Indonesia itu dibangun dari berbagai elemen dan harus dirawat oleh beragam
elemen itu sendiri.
NOTE
Tulisan ini dimuat dalam latar sastra dengan sedikit penyesuaian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar