16 Juni 2017

Saya dan Pancasila di Museum Nasional

“Apa pendapat mbak tentang tata letak di Museum Nasional? Bagaimana informasi yang disajikan?”

Demikian seorang gadis menyapa sambil membagikan pertanyaan kuesioner. Bukan baru kali ini saja kuesioner diadakan di museum, sudah berkali-kali; namun sepengetahuan saya belum ada perubahan yang berarti di museum.  Saya memberikan jawaban standar, berharap ada pertanyaan yang lebih spesifik namun sia-sia saja.  Pertanyaan hanya menyentuh hal-hal umum.


Kamis siang suasana di Museum Nasional sangat lengang.  Tentu saja selain masih hari sekolah dan hari kerja sekarang adalah bulan ramadhan.   Orang malas berkeliaran di siang yang terik ini.  Saya melihat daftar hadir yang ada di receptionist, dari pagi ada sekitar 20 nama tertulis, hmmm…lumayan?

Penerangan di museum sedikit remang-remang, agak aneh memang.  Pengunjung masuk dari gedung baru karena gedung yang lama sedang direnovasi.  Di sisi kiri setelah pintu masuk terdapat ruang kaca yang merupakan jalur lalu lintas pengunjung dari gedung lama ke gedung baru, di situlah Pameran Lahirnya Pancasila diadakan dari tanggal 2 - 15 Juni 2017.

Berbeda dengan pembukaan acara  yang gegap gempita, hari ini suasana nyaris senyap membekap ruang pamer.  Tapi perkiraan akan keheningan itu tidak berlangsung lama karena selalu ada pengunjung yang datang ke ruang pamer ini, perlahan namun mengalir pasti. Hari Sabtu dan Minggu pengunjung pasti bertambah, biasanya seperti itu walaupun penambahan itu tidaklah spektakuler.

Pameran Lahirnya Pancasila menampilkan foto-foto dan dokumen-dokumen seputar sidang BPUPKI dan PPKI yang disimpan oleh Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional yang merupakan koleksi AG Pringgodigdo.  Ada juga gambar design burung Garuda dari awal sampai menjadi yang sekarang.  


Lontar Sutasoma pun dipamerkan dalam kotak kaca.  Jangan berpikir itu kitab Sutasoma yang benar-benar ditulis oleh Mpu Tantular pada abad 14.  Yang kita lihat sekarang adalah Salinan dari abad 19.

Tata letak pameran standar saja, berupa panel-panel yang dipasang berurutan dengan lampu sorot. Rasanya untuk pameran dengan konten penting seperti ini bisa ditata dengan lebih menarik, tidak semata hanya menjejerkan dokumen-dokumen yang tulisannya agak susah dibaca dan dipahami oleh anak muda sekarang.



Dulu saat masih di sekolah dasar dan sekolah menengah, guru sejarah rajin sekali mengulang-ulang BPUPKI ini yaitu Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia sedangkan PPKI adalah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.  BPUPKI  dikenal dengan nama Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai yang diketuai oleh KRT Radjiman Wedyodiningrat, salah satu anggota Budi Utomo.

Jadi sebelum pembentukan panitia terlebih dahulu dibentuk badan penyelidik.  Begitulah kira-kira logikanya.  Berdasarkan dari daftar hadir yang diketik, ada sekitar 62 orang yang menjadi panitia.  Yang termuda adalah BPH Bintoro, yang baru berusia 27 tahun saat itu.  Dalam daftar hadir yang dipampangkan dalam pameran jika dicermati terdapat 4 orang Tionghoa dan 1 orang Belanda yang masuk jadi anggota BPUPKI

Dalam sidang BPUPKI ada tiga orang yang berpidato yaitu Soepomo, Muhammad Yamin dan Soekarno.  Pada tanggal 1 Juni, Soekarno menguraikan 5 dasar negara yang semula disebut dengan Panca Dharma yang diubah menjadi Pancasila yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan sosial serta Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam notulen juga diungkapkan adanya kesukaran mencari pertemuan paham antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan terutama mengenai soal agama dan negara, namun perbedaan itu akhirnya dapat diselesaikan.  Jika sempat ada perdebatan di antara bapak bangsa mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu sudah diselesaikan dengan keikhlasan semua pihak. Adanya kompromi justru menegaskan bahwa Indonesia memang dibangun oleh berbagai elemen.

Menarik melihat susunan kursi para peserta BPUPKI.  Soekarno duduk di samping Muhammad Yamin.  Dua orang yang sama-sama mencandu Indonesia.  Saya malah membayangkan sebelum berpidato kedua orang tersebut berdiskusi tentang isi pidato masing-masing sehingga Yamin pun sering dianggap sebagai pengagas Pancasila berkat isi pidatonya.yang mendapat giliran lebih awal dari Soekarno.

Pameran ini tentu penting untuk disimak buat kita yang mungkin sudah sedikit lupa tentang Pancasila.  Bukan cuma sila Ketuhanan yang penting.  Hatta sendiri pernah menulis:  “Apa artinya pengakuan terhadap dasar Ketuhanan Yang Maha Esa apabila tidak bersedia dalam praktik menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan YME seperti kasih dan sayang serta adil”.

Slogan-slogan bela Pancasila serta indoktrinasi tentang dasar negara yang didrop dari atas seperti masa orba tidak akan ada artinya jika kita tidak memahami intisari dari Pancasila itu sendiri.
Dalam Pancasila terkandung kewajiban negara untuk menciptakan kondisi yang nyaman bagi warganya untuk beribadah sesuai agama yang dianut, bermufakat dalam pengambilan keputusan serta menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.  Sebaliknya ada kewajiban sebagai rakyat Indonesia untuk mematuhi apa yang menjadi dasar negara dan sudah diputuskan oleh para pemimpin.


“Pancasila itu sudah final, sudah selesai” demikian kata sejarawan JJ Rizal yang saya tanyai setelahnya.  “Sekarang yang seharusnya ditanyakan adalah apakah keadilan sosial itu sudah tercapai?” lanjutnya lagi

Seperti yang tertulis pada prolog pameran: Pancasila ialah pandangan hidup, dasar negara dan alat pemersatu bangsa.

Bahwa Indonesia yang berbeda suku bangsa dan bahasa dapat disatukan seperti yang tertulis dalam kitab Sutasoma: Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. 

Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa Indonesia itu dibangun dari berbagai elemen dan harus dirawat oleh beragam elemen itu sendiri.


NOTE
Tulisan ini dimuat dalam latar sastra dengan sedikit penyesuaian

Tidak ada komentar: