16 Maret 2017

Saat Dokter Tentara Menjadi Gubernur


"Biar berapa miliar pun mereka  bayar saya, saya tidak mau jadi gubernur di sini" demikian Azwar Anas yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat berkomentar tanpa basa basi saat diajak meninjau Nusa Tenggara Timur.
Nusa Tenggara Timur (NTT), dulunya merupakan bagian dari Sunda Kecil yang baru diberi mandat untuk menjadi provinsi sendiri pada tahun 1958 merupakan daerah yang amat miskin.  NTT mepunyai puluhan suku dan bahasa yang kadang begitu berbeda sehingga komunikasi antar suku menjadi terkendala.
Ada anekdot getir yang memplesetkan NTT menjadi Nusa (S)engsara Timur, Nanti Tuhan Tolong, Nasib Tak Tentu, menggambarkan betapa provinsi ini seakan ditakdirkan menjadi tanah penderitaan bagi warganya karena topografi yang ekstrim, terbatasnya akses ekonomi dan pendidikan, musim kering yang panjang dan kendala kultural


Dalam laporan khususnya yang diberi nama "Ekspedisi Jejak Peradaban NTT" di tahun 2011, Kompas menyoroti potret Nusa  Tenggara Timur sebagai daerah miskin dan tertinggal.  Kemiskinan, keterbelakangan, infrastruktur yang minim serta mutu pendidikan yang merosot tajam bahkan kalah dari Papua.
Jika tahun 2011 keadaan NTT masih memprihatinkan bagaimana 30 tahun sebelumnya.  Orang macam apakah yang mau menerima mandat menjadi Gubernur di provinsi semiskin itu?
Saat berkesempatan ke salah satu wilayah NTT, yaitu Sumba dan Alor beberapa waktu yang lalu.  Saya mendapati kondisi yang satu sisi ada kemajuan yaitu jalan penghubung utama yang mulus namun di sisi lain banyak warga yang masih harus bersusah payah mendapatkan air, walau banyak juga dibangun tempat penampungan air di mana warga bisa mencuci dan mandi di situ.

Tentu bukan superman yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin melainkan orang yang sadar betul bahwa dibutuhkan kerja bareng antara rakyat dan pemimpin untuk dapat keluar dari masalah.  Yang menyadari bahwa NTT dianugerahi berkah yang tidak kalah berharga dari tanah Jawa
Ingatan orang NTT langsung melayang pada sosok almarhum Ben Mboi yang legendaris.
Anak mantri kakus itu dibesarkan dalam keluarga bangsawan Manggarai, NTT.  Walaupun menyandang status sebagai keluarga bangsawan, jangan disamakan dengan kehidupan bangsawan Jawa.  Keluarga bangsawan Manggarai hidup diliputi kekurangan.  Saat musim paceklik berkepanjangan dikenal istilah Ngéndé yaitu satu keluarga yang meminta bantuan pangan terhadap keluarga dari pihak ibu.
Walaupun melarat, Ben Mboi berotak cerdas.  Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya di fakultas Kedokteran UI lalu ikut wajib militer untuk membebaskan Irian Barat.   Keikutsertaannya dalam wamil lantaran tersinggung dengan ucapan kawannya yg mempertanyakan partisipasi rakyat NTT dalam merebut kemerdekaan.  Ben menjadi dokter pertama yang juga penerjun payung.


Ia menjadi dokter kabupaten merangkap dokter rumah sakit di Flores selepas wamil.  NTT saat itu hanya punya 18 dokter.  Saat bertugas di tahun 1965, Ben bersama istrinya, Nafsiah yang juga seorang dokter, berkeliling kabupaten Ende baik dengan jalan kaki atau menumpang truk untuk menyelesaikan kasus-kasus kesehatan di sana.  Boleh dibilang ia adalah dokter pertama dan terakhir mengelilingi Ende dengan berjalan kaki.

Karakter Ben yang keras, tanpa basa basi dan tidak suka berpolitik kadang menyeretnya ke situasi yang tidak menguntungkan.  Bahkan saat ia masih berpangkat Kapten, Ben harus menghadap Menteri Panglima Angkatan Darat yang saat itu dijabat oleh Jenderal Achmad Yani akibat protesnya kepada Komandan Kodim Ende gara-gara satu tulisan yang meresahkan umat Katolik di Ende.
Ben Mboi tidak jadi dipecat karena Achmad Yani justru menaruh perhatian khusus padanya sejak awal kasus.
Selama karirnya menjadi dokter kabupaten, Ben Mboi dihadapkan pada beragam kasus kesehatan dari penyakit endemis kaki gajah yang menahun, Malaria, usus buntu sampai masalah kebiasaan buang air besar masyarakat Ende di tepi pantai akibat tidak tersedianya jamban.
Ben menolak menjadi anggota DPR untuk kedua kalinya karena merasa menderita selama bergabung di parlemen.  Ia merasa tidak memiliki ilmu di parlemen dan memilih untuk mengambil master dalam bidang kesehatan di Belgia.  Usulannya tentang konsep asuransi kesehatan prabayar untuk para petani yaitu Dana Kesehatan Rakyat (DKR) disetujui oleh El Tari, Gubernur NTT saat itu.  DKR bersinergi dengan Koperasi Unit Desa.  Dari sisa hasil usaha anggotalah DKR dapat berjalan.
Ben Mboi diangkat menjadi gubernur saat El Tari meninggal di tahun 1978.  Ia menjadi gubernur NTT yang ketiga.  Sesuai dengan julukan sebagai Nusa (S)engsara Timur, di tahun-tahun awal masa jabatannya sebagai gubernur, NTT bolak-balik ditimpa bencana dari gempa bumi, tanah longsor, kelaparan sampai serangan hama tikus dan belalang   Bahkan pada tahun 1979 satu daerah yaitu desa Waiteba di Lembata, lenyap akibat tsunami yang disebabkan oleh letusan gunung Hobal.  Ben Mboi sempat dipersalahkan oleh warga NTT karena setahun sebelumya seorang wartawan sudah memberitakan di koran Sinar Harapan mengenai dugaan bencana namun tidak mendapat tanggapan.

Tanah NTT yang getas dan keras kondisinya tidak akan bisa disamakan dengan Jawa.  Itulah yang membuat program Bimbingan Massa (Bimas) gagal diterapkan di NTT.  Kesalahan strategi peningkatan tanaman pangan melulu berbasis padi sawah tidak cocok dengan kondisi tanah gersang dan iklim NTT yang memiliki curah hujan rendah. .

Melalui operasi Nusa Makmur, para pemimpin dan rakyat NTT dipaksa mengenali kondisi tanah sekaligus mengembalikan kearifan lokal dalam tanaman pangannya seperti padi ladang dan jagung.
Kegagalan dalam operasi Nusa Makmur dievaluasi dan diimpementasikan dalam operasi Nusa Hijau, operasi berikutnya yang fokus pada penanaman tumbuhan berakar kuat dan bernilai ekonomis yang bisa bertahan hidup di alam NTT seperti pohon lamtoro yang berguna untuk konservasi tanah dan air sekaligus juga makanan ternak.
Demikian pula dengan varietas Jagung Arjuna yang dikembangkan di ladang-ladang NTT.  Memang petani panen raya jagung saat itu, kekurangannya ternyata jagung tersebut tidak tahan lama dan petani tidak dibekali teknik penyimpanan yang benar untuk varietas ini plus ternyata hasil panen yang begitu besar tidak terserap oleh pasar.
Infrastruktur yang juga turut menjadi biang keladi terhadap hilangnya akses kemakmuran juga  diperbaiki dengan gotong royong, pelabuhan pun diperbanyak dan diperluas.

Keberhasilan dan kegagalan kerap mewarnai masa tugas Ben Mboi.  Membicarakan keberhasilan saja adalah mustahil karena dari kegagalan lah setiap pemimpin dapat menarik pelajaran. 
Dinamika kepemimpinan Ben Mboi membawanya beserta istri pada penghargaan Ramon Magsaysay for Government Service.
Lalu apakah di bawah kepemimpinan Ben Mboi selama 10 tahun itu NTT mendadak sontak menjadi makmur? Tentu tidak semudah itu.  Diperlukan cetak biru yang berisi pemahaman kondisi NTT di segala bidang dan program-program yang tepat guna serta tepat sasaran yang juga harus berkesinambungan karena kini masalah yang berkembang tidak dapat lagi dibebankan pada buruknya infrastruktur atau cuaca yang tak menentu melainkan pada kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan alam.  Kebijakan tidak dapat lagi hanya bersifat top-down seperti jaman Orde Baru yang kita tahu Ben Mboi berasal dari kultur tentara di jaman itu.
Dalam  cuplikan buku 50 Tahun Ziarah Pangan Nusa Tenggara Timur diungkapkan minimnya penguasaan teknologi pangan untuk nilai tambah.  NTT surplus pisang, namun pisang hanya dijual begitu saja ke luar lalu kembali ke NTT sebagai keripik pisang dan pisang molen.  Berhektar-hektar ladang jagung tak bisa dipanen karena kekurangan tenaga akibat banyak warga yang menjadi TKI namun banyak warga yang menggemari emping jagung asal Surabaya.  Alpukat di NTT hanya jadi makanan babi sedangkan di Jakarta, makanan babi itu disukai semua kalangan.
Juga konflik baru yang juga butuh perhatian khusus dari pemerintah provinsi, yaitu konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang yang kian hari kian menajam dan sering berujung pada tindakan kekerasan.
Singkat kata siapapun pemimpinnya, ia harus benar-benar tahu potensi dan kekurangan daerahnya dan mampu bekerja sama dengan warga untuk mempertajam kelebihan wilayah dan menyiasati kekurangan yang ada.

Catatan:  Ini juga dimuat di http://latarsastra.com/

Referensi:
-       Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit dan Pamong Praja
-       Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim
-       50 Tahun Ziarah Pangan Nusa Tenggara Timur
-       Ekspedisi Jejak Peradaban NTT

Tidak ada komentar: