05 Desember 2011

Dibalik Gelar Pahlawan

Apa kriteria pasti untuk seorang pahlawan nasional?

Pengertian dasar seorang pahlawan adalah seseorang yang rela berbuat sesuatu tanpa memikirkan kepentingan sendiri.  Jika ia bergelar pahlawan nasional, maka sudah pasti orang ini rela berbuat apa pun untuk negaranya, entah dengan cara bersenjata atau cara politik. Apa yang telah diperbuatnya sahih berskala nasional.

Namun membaca daftar pahlawan nasional yang lebih dari 150 orang, tiba tiba saya merasa ragu apakah definisi di atas itu benar merupakan tolok ukur?  atau ada perbedaan pengertian yang akibatnya menimbulkan kebingungan pada orang awam seperti saya.

Jika melihat tokoh tokoh pergerakan seperti Eugene Douwes Dekker atau Tjipto, definisi tentang pahlawan nasional dengan mudah teridentifikasi pada mereka.  Demikian pula tokoh tokoh seperti Nyai Ageng Serang dan Cut Nyak Dien. Yang dua pertama adalah pahlawan dalam bidang politik, dua wanita lainnya adalah tokoh perjuangan  bersenjata.  Bahkan kenyataan getir saat Jawa  menikmati politik balas budi, Aceh sedang luluh lantak karena para panglima perang tertawan atau terbunuh oleh Belanda.

Untuk masa yang lebih silam, ada Sultan Agung yang telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia sejak tahun 1975.  Namun, jika pengangkatan itu dikarenakan atas jasanya melawan penjajahan, saya merasa kurang sreg.  Karena kita semua tahu Mataram selalu sibuk untuk meluaskan imperiumnya.  Sultan Agung bahkan mengajak VOC bekerja sama untuk menyerang Surabaya dan Banten.  Kecuali jika jasanya di bidang budaya yang memang sangat membantu perkembangan sastra Jawa.

Jika Sultan Agung diangkat menjadi pahlawan nasional karena membangun Mataram, maka sama saja kita mengidentifikasikan Mataram yang hanya menguasai Jawa dan Madura dengan Indonesia yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke.  


Adapun penyerangan ke Batavia, lebih karena ingin menaklukkan Banten.  Sebelumnya utusan Sultan Agung menemui VOC di Batavia untuk mengajukan kerjasama dengan syarat syarat tertentu namun ditolak.

Bicara tentang melawan penjajahan, malah mungkin lebih pas jika Trunajaya, putra bangsawan Madura yang diberikan gelar pahlawan, walaupun bukan berarti ia bebas dari catatan.  Ia bekerja sama dengan putra mahkota Mas Rahmat yang bersengketa dengan ayahnya Amangkurat I karena seorang perempuan.  Mas Rahmat berwatak sama persis dengan Amangkurat I.  Motif kebencian terhadap Mataram bertemu dengan kedengkian seorang anak.

Kita bisa bicara tentang Mangkunegara I yang juga telah menjadi pahlawan nasional.  Ada alur yang juga terasa patah di sini.  Mangkunegara I memang berperang melawan penjajah Belanda, namun setelah mendapat sejengkal wilayah dan menjadi Adipati mandiri, ia menjadi rekanan Belanda dan laskarnya menjadi tenaga pendukung bagi pemerintahan kolonialisme dan digaji.  Menurut logika untuk apa ia butuh persetujuan Belanda untuk menduduki tanahnya sendiri.  Pada akhirnya ia memilih hidup saling mencurigai dengan 3 kerajaan kecil yang sama sama keturunan Mataram dari pada berkeras tetap bergerilya melawan Belanda.  Akhirnya motif yang teraba adalah lebih kepada perselisihan keluarga dan bukannya mempertahankan kemandirian sebagai bangsa

Begitu pula dengan Mangkubumi yang kelak menjadi Hamengku Buwono I, ia bergegas berbalik membelakangi menantunya Suryakusuma setelah Belanda menawarkan jabatan dan wilayah yang dituangkan dalam kontrak Giyanti, lagi lagi hanya sejengkal tanah yang bahkan tidak mencakup Jawa tengah.  Ia tampaknya lupa bahwa Belanda tidak punya hak apa apa untuk menawarkan sesuatu yang bukan milik mereka.

Walaupun dalam hati mungkin sekali mereka membenci Belanda, namun motif perebutan kekuasaan nampaknya memiliki warna yang lebih dominan,

Pada akhirnya pemberian gelar pahlawan nasional bagi beberapa Raja keturunan Mataram malah membingungkan karena adanya catatan sejarah yang menimbulkan berbagai pertanyaan dan gugatan terutama dari daerah daerah taklukan.

Pertanyaan juga mengarah pada Arung Palakka dan Sultan Hasanudin.  Arung Palakka tidak menjadi pahlawan nasional dan masih menjadi perdebatan karena ia bekerja sama dengan VOC.  Namun ia mempunyai motif yang kuat  saat itu, membebaskan rakyat Bone dari kekuasaan Hasanudin, sultan Makasar.  Sebagai putra Bone, darahnya mendidih melihat ribuan rakyat Bone mati akibat kerja paksa membangun benteng pertahanan yang akan digunakan Hasanudin menghadapi VOC.  Harga diri sebagai pewaris tahta Bone membuatnya bersumpah untuk membebaskan rakyatnya dan untuk itu ia bekerja sama dengan VOC.

Pada kasus ini apakah bedanya dengan Mangkubumi yang juga bekerja sama dengan Belanda menghadapi perlawanan Mangkunegara? Sementara Mangkubumi telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional


Hasilnya dalam perang Makasar ia dapat memukul Hasanudin dan rakyat Bone bebas.

Nampaknya selama ini pemberian gelar pahlawan nasional hanya dilihat dari sisi Indonesia tanpa mempertimbangkan lokalitas.  tampaknya hanya sekedar membalik posisi Belanda/VOC dan sekutunya versus Indonesia.


Patut diingat bahwa Indonesia dulu tidak dikenal, yang ada hanyalah kerajaan-kerajaan yang berdaulat.

Mungkin dalam perspektif nation wide, harus diberikan klasifikasi yang jelas untuk istilah pahlawan nasional.  Bagaimanapun memang tidak ada manusia yang sempurna.  Kadang 
sangat tipis batasan dalam menjadikan seseorang sebagai pahlawan atau musuh.

Tidak ada komentar: