19 November 2011

Ke Medan

Di depan gapura besar rumah bergaya Cina, saya mencoba mengetuk pintu namun kayunya terlalu tebal.  Saya melangkah ke samping di sela sela pagar, seorang perempuan tua sedang mengepel serambi.

Seseorang yang kebetulan lewat membantu saya memanggil nenek itu.  Nenek ini mempersilakan saya masuk, sambil menunggu pemandu.

Saya mendongak mengamati arsitektur rumah bekas taipan yang termasyur di abad 19 itu.

Matahari bersinar dengan terik, Tugas kali ini membawa saya ke kota Medan.  Tiba hari Kamis siang, melakukan talk show radio. Jumat, masih ada waktu sebelum ke kantor regional dan melakukan talk show di radio lainnya.

Walau teman mengingatkan agar naik taksi demi keamanan dibanding naik bentor karena sebelumnya ada perampokan dalam bentor yang menewaskan warga asing.  Namun setelah berbincang dengan pegawai hotel, saya memutuskan naik bentor saja. 

Check out dari hotel, dengan menggendong ransel, saya lebih menyukai ransel dibanding tas beroda.  Ransel memudahkan saya bergerak cepat, walaupun harus mengorbankan punggung saya.  Tepat di depan hotel saya menghentikan bentor menuju rumah Tjong A Fie. 

Rumah itu tidak jauh dari hotel sebenarnya, menurut concierge hotel tapi yang gawat supir bentor sama sekali tidak tahu dimana letaknya...hebat :) !,,,tak masalah, saya tak keberatan berbelok belok menyusuri jalan kota yang berdebu sebelum akhirnya tiba di depan rumah besar bergapura tinggi itu,

Seorang anak muda berwajah oriental dan berkaca mata masuk halaman, tampaknya ia lah yang akan memandu.  Dengan cepat kami sudah memasuki ruangan.  Melihat 3 ruang macam ruang tamu untuk menerima 3 macam ras : Belanda, Melayu dan Cina.  Ballroom di ruang atas berlantai kayu mengkilat.

Tjong A Fie, seorang taipan Medan yang menguasai perkebunan puluhan ribu hektar di Medan serta mendirikan bank modern,.  Oleh Belanda ia diangkat menjadi Mayor de Chinezen.  Tjong A Fie boleh dikata sebagai bapak kota Medan.  Ia banyak menyumbang dana untuk kepentingan kota dan masyarakat saat itu. Rumahnya yang berada di jalan Kesawan, banyak merima kunjungan para pembesar termasuk Sultan Deli sendiri.  Ia meninggal di tahun 1921 saat akan melakukan perjalanan keliling Eropa bersama keluarganya dengan kapal pesiar pribadi.

Sayang, setelah ia meninggal perkebunannya yang sangat luas perlahan menghilang karena konon tanah tanah itu kebanyakan tidak bersertifikat.  Aneh, karena saya melihat ia berfoto dengan anggota badan pertanahan saat itu.

Saat mendengar guide mengisahkan riwayat Tjong A Fie, tiba tiba saya teringat dengan Oey Tiong Ham, seorang raja gula asal Semarang yang hidup sejaman.

Sayang sang guide menggeleng ketika saya tanya kemungkinan korelasi antara dua saudagar tersebut.  Terpaksa menyimpan segudang pertanyaan, sambil berusaha mencatat beberapa poin untuk pencarian data nantinya.  Saat ini saya ingin langsung terkoneksi dengan internet berkecepatan tinggi.

Setelah mencicipi pisang goreng bersama selai srikaya di mansion itu, saya bergegas menuju Istana Maimun setelah memastikan masih cukup waktu.  Supir bentor segera membawa ke bangunan tersebut.  Pengalaman sebelumnya, Istana raja - raja Sumatera dan Kalimantan cenderung sederhana tidak seperti Keraton di Jawa.

Tepat seperti dugaan saya, menaiki tangga Istana dan membayar tiket masuk yang murah dan tidak berharap ada penjelasan yang memadai tentang sejarah kesultanan kecuali saat saya bertanya dan penjaga hanya menunjuk buku berstensil seharga 15 ribu jika ingin membaca ikhwal Istana.  Saya langsung mengernyitkan dahi melihat kualitas buku tersebut.  Seperti buku pelajaran SD, membosankan. Tidak ada guide, tidak ada brosur,,,bagian belakang dan ruang kecil di dalam dipakai untuk jualan cenderamata...bukan main!!  Inilah kerja pegawai negeri di daerah.  Berbeda jauh dengan Istana Tjong A Fie.

Hanya 10 menit saya di sana, langsung menuju ke pekerjaan. Sempat mampir ke pasar buku bekas di belakang Merdeka Walk dan menuju kantor regional tak jauh dari sana.

Setelah lunch sebentar langsung menuju radio berikutnya, ternyata yang ini lebih bagus.  Yah, masih harus mendiskusikan untuk mengadakan FGD bulan Januari nanti  Selesai talkshow menumpang mobil teman turun di Sun Plaza sambil menunggu jadwal pesawat yang jam 9 malam kembali ke Jakarta.

Pesawat Lion B737-900 yang terbaru datang tepat waktu...21:30 take off dari Polonia, mendarat di Jakarta pukul 23:30. Punggung pegal dan kulit terasa kering namun ada pengalaman baru.



 

Tidak ada komentar: