31 Oktober 2011

Sumpah Pemuda, Dulu dan Sekarang

Mumpung masih suasana hari Sumpah Pemuda.  Kebetulan saya membeli buku terbitan Komunitas Bambu,sebuah tulisan dari Keith Folcher seorang Indonesianist dari universitas ANU, Australia yang meyoroti tentang perjalanan makna Sumpah Pemuda dari awal mula tahun 1928 sampai beberapa puluh tahun setelahnya.

Menarik, karena peneliti asing begitu tertarik dengan peristiwa peristiwa silam yang memicu terbentuknya nation Indonesia. Begitu juga dengan fakta bahwa Sumpah Pemuda terbangun dan terwujud karena sekelompok anak muda terpelajar yang semula sangat kental kesukuannya.

Bahwa untuk mengaku berbangsa satu dan dan bertanah air satu tidaklah menjadi masalah, namun begitu sampai kepada berbahasa, anak anak muda tersebut dilanda kebingungan, kalau boleh saya interpretasikan keadaan pada saat itu.

Sebagai pemuda yang telah mencicipi pendidikan politik Etis, mereka sama sekali tidak fasih berbahasa Melayu.  Bahasa yang mereka kuasai adalah bahasa Belanda dan bahasa daerah masing masing.

Dari kutipan surat kabar pada masa itu disebutkan bahwa ketua Konggres Pemuda, Soegondo Djojopoespito terpatah patah mencoba berbahasa melayu. 

Adalah Yamin, anak muda berumur 17 tahun yang meyakinkan perlunya untuk mempunyai bahasa persatuan.  Siti Soendari salah seorang peserta konggres merasa perlu meminta maaf karena tidak fasih berbahasa Melayu.  Semula Yamin di tahun 1926 mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu, namun Tabrani dari Jong Java menolak usul tersebut. Akhirnya tercapailah bunyi sumpah di point ketiga.

Point terakhir dalam Sumpah Pemuda itu berbunyi "Kami Poetra dan Poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan bahasa Indonesia".  Sebagai negara yang belum merdeka visi untuk mempunya bahasa persatuan sangatlah luar biasa, mengingat bangsa bangsa lain menemui banyak kesulitan untuk mencapai konsensus satu bahasa.

Perlu niat yang sangat kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai tanah air yang merdeka dengan bahasa yang mungkin tidak populer di kalangan pelajar saat itu.

Seiring waktu, jika dahulu para pemuda harus mengenyampingkan perbedaan bahasa demi menguatkan posisi bahasa Indonesia kini setelah 60 tahun Indonesia merdeka, nuansa plural yang menjadi unsur masyarakat Indonesia mulai dikedepankan.
Suka atau tidak, kesepakatan mengedepankan bahasa persatuan mempunyai ekses samping, yang menjadi senjata baik bagi Orde Lama maupun Orde Baru untuk menafikan perbedaan.  Aspirasi yang berbeda dari daerah dipahami sebagai ancaman terhadap persatuan.

Irama jaman yang berubah, pembacaan terhadap Sumpah Pemuda mengalami perubahan.  Bahasa daerah yang nyaris hilang tetap harus dipertahankan, Rakyat Indonesia tetap dapat berbangsa satu dan bertanah air satu dengan tetap mempertahankan identitas kesukuan yang beragam sebagai sesuatu yang unik namun menguatkan. 

Keith Foulcher menyajikan kembali makna Sumpah Pemuda yang mungkin sekali telah dilupakan, berusaha membawa esensi awal dari tekad sekelompok anak muda untuk mengawali lahirnya identitas suatu bangsa.






Tidak ada komentar: