09 Oktober 2011

Lekra bukan PKI

Saat iseng mencari cari topik menarik, saya menemukan perang tulisan yang cukup panas yang berawal dari pembakaran buku namun melebar menjadi masalah PKI dan Lekra.  Banyak argumen argumen menarik yang bila ditarik garis ke belakang membuka mata saya tentang hubungan antara PKI dan Lekra.  Jika penulisan G30S/PKI ditentang keras oleh para sejarahwan karena merupakan usaha regim terdahulu untuk memalsukan sejarah dan diungkapkannya fakta fakta yang menyebabkan pembacaan ulang terhadap gerakan tersebut.

Sama halnya dengan mengatakan PKI/Lekra, karena faktanya tidak semua anggota Lekra berpaham komunis dan anggota PKI.  Bahkan Nyoto yang merupakan tokoh sentral PKI menolak mengkomuniskan Lekra.

Selama ini kita hanya mendapatkan satu sumber resmi tanpa ada bantahan resmi pula.  Karena Lekra memang langsung dimatikan tahun 66 tanpa sempat membela diri.  Seluruh anggota dan pengurusnya ditangkap tanpa proses peradilan yang jelas, sementara yang berhasil lolos bersembunyi dengan trauma hebat akibat tuduhan sebagai antek komunis.

Ada Prahara Budaya yang disusun oleh Taufiq Ismail, namun  buku itu lebih terkesan sebagai pembela kaum manifest sebagai pemenang dalam situasi politik masa itu.  Yang menarik, usaha Taufiq dalam mendapat simpati kaum muda malah berbalik menjadi bumerang, karena anak anak muda yang menghadiri peluncuran buku tersebut malah mempertanyakan kembali apa yang sebenarnya terjadi antara golongan manifest dan Lekra serta tidak dapat menerima begitu saja pernyataan yang tertulis dalam Prahara Budaya tersebut.

Taufiq juga tidak menyinggung perlakuan yang diterima LEKRA pasca G30S.

Sedikit gambaran, suasana politik pada masa Soekarno berkuasa penuh dengan gelora menentang Amerika dan sekutunya.  Segala yang berbau barat dikecam.  Soekarno tampil dengan jargon "Politik adalah Panglima".  Lekra sebagai Lembaga Kebudayaan Rakyat juga larut dengan kemeriahan.  Bagi para budayawan Lekra, sastra tidak dapat dilepaskan dari keadaa/politik suatu bangsa. Lekra mempelopori sastra yang lebih umum, sehingga rakyat kebanyakan dapat ikut berpartisipasi.  Memasukkan nafas politik ke dalam sastra rupanya tidak disetujui oleh kalangan Manifes yang gerah membaca syair syair panas.  Kalangan manifes lebih memilih sastra yang sastra tidak dikaitkan dengan politik.

Benar, bahwa Pram sebagai anggota Lekra sempat menulis di Harian Rakjat untuk memberangus karya karya kalangan Manifes.

Saya sempat membaca tulisan yang sangat bagus dari eks ketua Lekra, Joebar Ajoeb mengenai Lekra dan keterkaitannya dengan PKI, bahwa ternyata Lekra sendiri menentang niat Aidit untuk mengkomuniskan Lekra.  Anggota Lekra bukanlah anggota PKI.

Tidak bisa dibantah generasi berikut demikian buta dengan perjalanan pahit bangsanya.  Kami dapat mengambil jarak dalam memandang perselisihan kaum Manifes dengan Lekra dan mungkin tidak memahami kebencian Taufiq Ismail terhadap Pram.  Namun sebagai intelektual yang peduli dengan kebenaran sejarah, Taufiq harus dengan jiwa besar menghentikan dendamnya atas Lekra. 

Nampaknya bangsa ini harus menulis ulang sejarah yang telah dipalsukan serta membakar buku buku yang diterbitkan oleh Orde Baru.



Tidak ada komentar: