27 Oktober 2009

Tengah malam menjelang, kali ini sasadara sudi memunculkan rupanya yang kuning cerah.

Sosok laki laki berikat kepala wulung berjalan pelan, bayangan meriap mengikuti langkahnya. Sekali kali ia mendongak menatap sinar bulan yang muncrat keemasan.

"Diajeng" keluhnya perlahan,,,,namun ia tetap melangkah membawa hatinya yang retak.

Cahaya sasadara yang gemilang juga memancing minat seorang perempuan untuk memandangi, sekedar menuntaskan isi benak yang nyaris meluap. Pontang panting ia berusaha meredam resahnya.

"Sedang apa kau kakang?"...gumamnya miris. Atas nama kerinduan ia menatap lintang alihan yang meluncur membelah langit.

Amat riuh sepasang manusia itu serentak mengadukan nasibnya kepada lintang alihan yang kebetulan sedang melintas. Angin berdesau lirih memantulkan asmarandhana yang terpenjara oleh takdir.

Nyaris berantakan hati Rakryan Kanuruhan Mahesa Giri saat ini.

Bagi Dyah Narya Rukmi wajah teduh Mahesa Giri adalah gelegak lautan itu sendiri, gelegak yang selalu membawanya pada keindahan ragawi. sudah menjadi kodrat pertemuan dua arus yang berbeda akan selalu menimbulkan gelombang.

Namun sekuat kuatnya gelombang tidak dapat melewati garis pantai yang telah ditentukan. Hasrat yang meluap harus tunduk kepada garis Yang Maha Agung.

Malam semakin larut, suara burung bence melengking tajam menyela angan sang Kanuruhan. Kehangatan tubuh Narya Rukmi masih tetap membekas menimbulkan rindu dan nyeri sekaligus.
"Tahukah kau isi hatiku, Narya Rukmi" desahnya berat.

"Rindukah kau padaku kakang?" lirih perempuan itu berbisik

Tidak ada komentar: