10 Oktober 2009

Trilogi Dukuh Paruk

Ingat Novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari yang memikat itu? Sebuah trilogi budaya yang telah diterjemahkan ke dalam 5 bahasa asing.

Kalau dimasa remaja dulu saya tidak sengaja menemukan novel tersebut di perpustakaan sekolah dan segera terbenam dalam budaya Banyumas di era tahun 1960-an walau nalar beliaku yang belum genap 14 tahun masih terbengong bengong takjub membaca tradisi bukak klambu yang menggambarkan upacara pelepasan kegadisan seorang ronggeng.

Setelah dewasa saya bersyukur bisa menyelesaikan 2 buku lainnya dari trilogi Dukuh Paruk yaitu Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala.

Ahmad Tohari melukiskan dengan jeli sebuah padukuhan kecil, terbelakang dan melarat bernama Dukuh Paruk yang terletak di Banyumas sana. Dukuh Paruk yang kusam seakan akan mendapatkan energinya kembali saat roh penari ronggeng dipercaya menitis pada Srintil seorang gadis kecil yang kehilangan kedua orang tuanya akibat keracunan tempe bongkrek.

Srintil yang memang memiliki kelebihan fisik dari gadis gadis sekampungnya telah dipersiapkan oleh dukun ronggeng Ki dan Nyai Kartareja. Seorang ronggeng haruslah mempunyai kelebihan daya tarik seksualitas dari wanita lain dan itu dimiliki oleh Srintil. Srintil dihormati oleh setiap wanita di Paruk dengan panggilan Jeng Nganten.

Saya dibuat terpaku dengan kemiskinan yang diperlihatkan dengan gamblang. Rumah rumah dari bilik dengan atap rumbia, halaman yang digunakan untuk buang hajat bahkan sudut kamar tidur yang masih beralaskan tanah sering dipakai untuk buang air kecil. Demikian pula dengan penggambaran seksualitas yang nyaris tanpa tedeng aling aling namun tidak porno.

Tradisi penghormatan terhadap leluhur ditunjukkan dengan pembakaran menyan di makam Ki Secamanggala setiap akan mementaskan tayub.

Srintil tidak meminta untuk menjadi Ronggeng, ia hanya ingin menjadi seorang istri. Cinta terhadap Rasus, teman sepermainan dari kecil membuatnya menyalahi kodrat seorang Ronggeng.

Pada akhirnya penghuni Dukuh Paruk dengan kelompok ronggengnya tidak dapat menghindar dari huru hara berdarah tahun 1965. Kepolosan seni ronggeng dimanfaatkan oleh ketua dari perkumpulan pemuda rakyat sebagai alat propaganda yang berakibat para sesepuh desa termasuk Srintil harus mendekam di penjara tanpa mengerti salah mereka.

Pada akhirnya Srintil tidak kuat menanggung derita. Srintil yang masih tetap cantik dan menjadi primadona setelah bebas justru terganggu syarafnya setelah impiannya menjadi seorang istri dihancurkan oleh Baljus, pria yang dianggap sebagai kekasih dalam usahanya melupakan Rasus.

Membaca Trilogi ini aku merasa dihempaskan ke dalam kepahitan. Betapa kita merasa sebagai manusia kota besar yang berbudaya tapi sebenarnya berhati serigala. Melihat penduduk desa yang melarat tertatih tertatih berusaha bangkit dari kehancuran desa akibat serbuan tentara. Muak melihat kelakuan manusia manusia kota besar yang tega memanfaatkan kenaifan penduduk desa.

Dalam novel ini tergambarkan budaya, gender, cinta, kemanusiaan dan politik yang berpadu dengan indah namun tidak mendayu dayu.

Pada akhirnya muncul kerinduan untuk menjenguk masa lalu dengan kacamata yang bening. Sayang aku telah menjadi produk masa kini. Produk manusia kota yang sering kejam dan dengki dengan alam dan sesamanya.

Tidak ada komentar: