08 Oktober 2009

Tanah Semenanjung

Wong Agung Wilis. Aku nyaris bersorak saat menemukan kembali mata rantai yang hilang tentang sejarah Blambangan. Sebuah daerah semenanjung di ujung timur pulau Jawa yang kini dikenal dengan Banyuwangi.

Sebuah kisah sejarah yang sempat dibaca namun tidak sampai tuntas di masa kanak kanak dulu, hasil mencuri curi baca di harian Kompas.

Sebuah trilogi karya Putu Praba Darana yang memaparkan perjuangan rakyat blambangan dari jaman Sawunggaling melawan Belanda. Dengan tokoh tokoh nyata seperti Wong Agung Wilis, Sayu Wiwit, Mas Ramad Surawidjaja dan Mas Sratdadi.

Blambangan runtuh sebagai kerajaan Hindu Syiwa terakhir di Jawa setelah Puputan Bayu tahun 1771 yang memusnahkan hampir 90 persen rakyat Blambangan.

Para pewaris darah Tawang Alun tersebut menolak kehadiran Belanda, menolak tawaran modal raksasa yang berujung pada persundalan walaupun harus dibayar dengan nyawa mereka. Dengan caranya sendiri mereka mentertawakan Raja Raja Mataram yang mereka anggap telah menjadi sundal. Sebutan apa yang pantas bagi orang yang menjual harga dirinya kepada bangsa asing selain sundal.

Dengan teliti Praba Darana memaparkan budaya Blambangan saat itu. Para perempuan Blambangan seperti halnya Bali berkain batik dengan gelang binggal di kaki, cundrik diselipkan di depan dan bertelanjang dada. Penampilan yang membuat otak kotor orang orang Belanda maupun pejabat pejabat Mataram menjadi semakin kotor.

Blambangan tertidur panjang setelah Bhre Wirabumi, putra Hayam Wuruk dari selir yang menjadi penguasa Blambangan terbunuh oleh Raden Gajah dalam huru hara perang paregreg di awal abad 15.

Tanah semenanjung ini menggeliat kembali saat Mas Nuwong, pangeran Pati yang kemudian bergelar Mangkuningrat naik tahta sebagai Raja Blambangan. Sementara adiknya Mas Sirna menjadi Patih yang kelak bergelar Wong Agung Wilis.

Dari Wilis inilah darah para satria Blambangan bergolak melihat tangan asing menjarah kekayaan negeri mereka. Sementara Mangkuningrat dan putra sulungnya dihukum Mati oleh Raja Mengwi di Bali karena bekerja sama dengan Belanda.

Putra Putri Wong Agung Wilis melanjutkan perjuangan orang tua mereka sampai darah Tawang Alun tertumpas nyaris punah dalam Puputan Bayu.

Buku ini sama berharganya dengan tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer. Cukup mengherankan trilogi Blambangan yang luar biasa ini bisa lolos dari pencekalan rezim Orde Baru saat itu mengingat cukup banyak sindiran terhadap ketamakan penguasa pribumi terhadap para pemodal asing.

Sementara aku terhenyak saat membaca informasi tentang Putu Praba Darana yang namanya sangat Bali itu. Ternyata ia adalah seorang Pendeta Kristen Bethel beribu orang Jawa berbapak orang Bali. Nyaris tak percaya kalau Putu Praba Darana ini adalah pengarang Trilogi Blambangan yang sangat kental dengan nuansa Hindu Syiwanya.

Namun itulah yang patut dihormati, seorang agamawan yang tidak melupakan sejarah asal usulnya.

Tidak ada komentar: