14 September 2009

A Short Note for Hatta

Beberapa hari ini ada sesuatu yang terasa mengganjal di hati saya.

Bermula dari membaca tulisan seseorang tentang Mohamad Hatta. Yang menyengat adalah pernyataan orang itu bahwa orang orang seperti Soekarno dan Hatta bukanlah pahlawan tapi hanyalah pendukung pilar sekularisme.

Terus terang saya luar biasa geram, orang yang tinggal menikmati hasil perjuangan para bapak bangsa tersebut dengan enaknya melemparkan tuduhan keji seperti itu.

Terutama terhadap Hatta, siapa yang meragukan kebersihan hati seorang Hatta. Seorang Buya Hamka saja mengakui pemikiran beliau dengan memuat tulisannya di Panji Masyarakat, Majalah yang dipimpin oleh Hamka.

Hatta telah berjuang sejak belia untuk Indonesia. Sebagai ketua Partai PNI Baru ia membangun jaringan diantara kaum pelajar dan menggalang persatuan. Melalui pidatonya "Indonesia Vrij" ia terang terangan menggugat penjajahan Belanda atas Indonesia. Bertahun tahun ia menjalani pembuangan di Banda Neira bersama Tjipto Mangunkoesoemo seorang tokoh Indische Partij.

Siapa pun mengakui bahwa Hatta adalah seseorang yang selalu sesuai antara pernyataan dan tindakannya; seorang zuhud yang tidak silau dengan jabatan. Ia justru mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden saat merasa tidak sesuai dengan tindakan Bung Karno yang merubah tatanan pemerintahan menjadi demokrasi terpimpin yang sentralistis.

Melalui tulisan "Demokrasi Kita" yang dimuat di majalah Panji Masyarakat, ia mengeritik pelaku demokrasi, para pemimpin partai yang mengejar jabatan dalam kabinet. Memang dalam demokrasi multipartai saat itu terdapat perselisihan yang menyebabkan kabinet bolak balik mengalami pergantian sehingga banyak program pembangunan yang terbengkalai. Tapi sekali lagi Hatta membedakan antara pelaku demokrasi dengan sistem demokrasi itu sendiri.

Jauh sebelum marak sebutan ekonomi kerakyatan yang kini digembar gemborkan oleh para pahlawan kesiangan itu, Hatta telah merancang sistem perekonomian berbasis kerakyatan seperti Koperasi.

Hatta memang menghapuskan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang kini dipermasalahkan orang orang picik tersebut yaitu "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" namun sebenarnya itu tidak menghilangkan esensi kewajiban sebagai seorang pemeluk agama. Hatta adalah muslim yang sesungguhnya.

Ia melakukan itu demi persatuan bangsa Indonesia karena menyadari negara ini dibangun atas pengorbanan anak negeri yang berasal dari multi agama. Bahwa tidak perlu penulisan formal terhadap suatu agama, yang penting adalah penerapan ajaran agama terhadap diri pribadi.

Bahkan Quraish Shihab juga menegaskan untuk memilih pemimpin yang benar benar menerapkan ajaran agama yang dianutnya apapun agama tersebut karena menurut beliau agama apapun pasti mengajarkan kebaikan.

Tulisan saya kali ini merupakan penghormatan saya terhadap Mohamad Hatta sebagai seorang bapak bangsa sekaligus sebagai seorang muslim.

Tidak ada komentar: