03 September 2009

Farag Fouda - kebenaran Yang Hilang

Baru baru ini saya membaca buku karangan Farag Fouda, seorang intelektual Mesir. Sebelumnya saya belum pernah mendengar nama tersebut, namun setelah research singkat di Google ternyata nama ini cukup menghebohkan di kalangan agamawan. Buku ini direferensikan oleh beberapa orang seperti Goenawan Mohamad dan Ahmad Syafii Maarif tapi dihujat oleh beberapa kelompok Muslim yang lain.

Al Khulafa Al Rasyidun atau 4 khalifah pertama setelah Nabi Muhammad SAW adalah orang orang yang sangat dihormati di dunia Islam, dan jaman mereka dianggap sebagai jaman keemasan tapi dengan gamblang Fouda menuliskan kematian Khalifah ketiga Usman bin Affan yang tragis akibat dibunuh sesama muslim dimana jenazahnya bahkan sempat ditolak untuk dimakamkan di pemakaman Muslim. Hal ini sudah tentu menyulut kemarahan dunia Islam. Banyak hujatan terhadap Fouda karena apa yang dituliskan dianggap tidak berasal dari sumber yang sahih.

Jaman 4 Khalifah itupun menurut Fouda hanyalah jaman biasa saja bahkan penuh dengan peperangan diantara kaum muslimin yang merupakan para sahabat Nabi.

Saya pernah menulis bahwa jaman setelah keempat Khalifah tersebut tak lebih dari jaman dinasti turun temurun dimana para khalifah jatuh pada hedonisme. Namun Fouda dengan lebih rinci menguraikan Khalifah Yazid yang mempunyai ribuan gundik, Al Walid yang seorang homoseksual dan hobby membidik Al Qur'an dengan panahnya. Atau pendiri dinasti Abbasiyah yang dijuluki Al Saffah alias si penjagal. Keadaan yang sungguh membuat saya tercengang.

Tapi Fouda juga mengungkapkan dengan hedonisme tersebut justru dunia pengetahuan jaman dinasti Abbasiyah berkembang cemerlang. Bahwa pemimpin di bidang agama dan politik atau negarawan memang harus dibedakan. Mungkin Muhammad SAW memang dianugerahi kemampuan sebagai pemuka agama sekaligus pemimpin politik namun hal ini tidak berlaku terhadap pemimpin sesudahnya. Hal ini memang menimbulkan kebingungan jika orang mencampuradukkan antara kedudukan Khalifah sebagai pemimpin negara sekaligus pemuka agama. Karena hampir tidak ada satupun Khalifah baik dari dinasti Abbasiyah maupun Umayyah yang benar benar taat pada hukum hukum Islam.

Tiba tiba saya teringat kepada jaman Amangkurat 1 yang kabarnya telah membantai ribuan ulama justru dengan kedudukannya sebagai Sayyidin Panotogomo Khalifatulah tanah Jawi. Terasa sekali persamaannya.

Saya pribadi kurang menguasai sejarah Islam dan sama sekali tidak menguasai ilmu hadis. Apa yang saya baca dari berbagai buku termasuk dari Farag Fouda ini saya anggap sebagai alternatif pembelajaran. Tapi jika saja Fouda menulis ide idenya ini dengan bahasa yang sedikit lebih halus mungkin akibatnya tidak sefatal sehingga harus kehilangan nyawanya.

Latar belakang Fouda sebagai Doktor ekonomi pertanian dan bukan ahli hadis maupun fiqih bisa jadi turut memacu kemarahan dunia Islam di Mesir khususnya.

Saya juga tidak memungkiri jika masa perkembangan awal Islam memang sebrutal itu, tapi ada banyak orang yang tidak ingin romantisme mereka diganggu dengan pemaparan yang tidak sesuai dengan impian. Sejarah memang tidak sakral maka selalu terbuka kemungkinan penemuan fakta fakta yang bisa merubah pandangan terhadap masa lalu walaupun diperlukan perjuangan berat untuk itu.

Sejarah dan tokoh tokoh agama yang serba suci tak tercela memang lebih pantas untuk diperdengarkan sebagai dongeng untuk anak anak. Tidak mungkin menceritakan pembalasan dendam Al Saffah terhadap bani Umayyah dengan membakari mayat mayat mereka kepada anak anak seperti sama tidak mungkinnya bagi umat Kristiani menceritakan kepada anak anak mereka perihal Daud yang merebut Betsyeba dari tangan Uria.

Ada juga terbersit angan angan apakah sejarah Islam yang berdarah darah itu karena sifat bangsa Arab yang getas dan puritan, apakah tidak salah Tuhan menurunkan wahyu di tanah Arab. Mengapa Islam tidak bermula di Indonesia misalnya, bukankah pada abad ke 6 sudah ada kerajaan Hindu Tarumanegara. Islam yang berprinsip egaliter tentu sesuai dengan keadaan Umat Hindu yang berkasta kasta.

Tapi mungkin juga jika Islam diturunkan di Indonesia pertama kali perkembangannya tidak akan seekspansif sekarang. Mengingat watak kita yang cenderung permisif dan halus, sama sekali bukan tipe penyebar agama dan belum mapannya pelayaran antar negara. Lihat saja agama Hindu dan Budha yang telah datang lebih dulu toh tidak membuat para penganutnya di nusantara melanglang ke belahan dunia lain untuk menyebar ajaran itu.

Tentu berbeda dengan bangsa Arab yang agresif sesuai dengan asalnya di daerah gurun serta berjiwa pedagang dan pengembara dimana semua masalah diselesaikan dengan pedang.

Agama ini akhirnya bertemu dengan super soulmatenya yaitu Kristiani yang juga sangat agresif dalam menyebarkan kepercayaannya. Dua agama pedang bertemu saling memperebutkan tempat pertama sekali lagi atas nama Tuhan dan melupakan kedamaian yang merupakan prinsip dasar.

Sekali lagi buku karya Fouda ini tidaklah harus membuat kita membenci sejarah Islam tapi tidak juga harus ditolak mentah mentah. Buku ini adalah sebuah alternatif pemikiran yang coba meneropong masa lalu dengan lebih manusiawi.


Tidak ada komentar: