20 Agustus 2009

Atas nama perubahan

Perubahan hampir selalu identik dengan kemajuan. Jaman selalu bergerak selalu berubah mengikuti kodrat sifat manusia yang selalu ingin lebih. Hanya saja perubahan tersebut ibarat pisau bermata dua, baik disatu sisi namun belum tentu di sisi lain.
Indonesia sebagai negara berkembang tentu membutuhkan banyak perubahan sebagai alat transisi mengejar kemajuan agar setara dengan negara lain.
Dari sekian banyak bidang, ada satu yang sedang digalakkan yaitu infrastruktur untuk transportasi alias jalan. Sejak Daendels berupaya menghubungkan sudut sudut pulau Jawa dengan Jalan Raya Posnya, pemerintah Republik pun memperluas usaha Daendels tidak saja di pulau Jawa tapi juga menghubungkan pulau Jawa dengan pulau sekitar.
Tak pelak jalan jalan yang dibangun di Jawa membuat kota kota utama menjadi metropolitan dan rejeki perubahan yang semula diharapkan juga dapat dinikmati oleh kota kota kecil sekitarnya apa boleh buat tinggal harapan. Dari buku Ekspedisi Anyer Panarukan dapat dibaca nasib kota kota kecil yang dilalui jalan raya tersebut.
Kota kota tersebut menjadi kota penyangga bagi kota besar, timbulnya urbanisasi besar besaran, investor kota besar yang akhirnya menjarah tanah kota kota kecil itu dan menyisakan problem bagi penduduk setempat.
Yang terbaru adalah pembangunan jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dengan Madura. Di hari pertama jembatan itu beroperasi pelabuhan laut Kamal Madura dan Tanjung Perak Surabaya mendadak sepi, yang berimbas kepada pendapatan kapal laut dan pedagang sekitar pelabuhan. Seretnya rejeki tentu akan berkelanjutan di hari hari setelahnya.
Entah apa rencana pemerintah untuk pelabuhan pelabuhan itu agar tidak terbengkalai. Di sisi lain masyarakat Madura menghadapi tantangan langsung terhadap para pendatang yang menyerbu pulau Mereka. Para pendatang yang lebih berada dan canggih maupun para pendatang yang lebih gigih dalam kegiatan berekonomi. Jangan sampai perekonomian Madura diambil alih oleh Jakarta dan penduduk asli hanya menjadi penonton di kampung sendiri. Mereka masih tetap pontang panting mengais remah remah yang ditinggalkan pendatang,
Belum habis kehebohan akibat Suramadu, tiba tiba telah disiapkan pula pembangunan Jembatan Selat Sunda. Suramadu jelas tidak ada apa apanya dibanding Selat Sunda. Jembatan sepanjang sekitar 30 km ini akan menghubungkan Jawa dengan Lampung melalui selat sunda yang terkenal berombak ganas dengan resiko gempa laut dan letusan gunung api Krakatau. Pelabuhan Merak dan Bakauheni harus bersiap siap menghadapi keadaan ini. Mungkin saja pelabuhan pelabuhan itu bisa beralih menjadi pelabuhan wisata misalnya.
Timbul pertanyaan perlukah jembatan jembatan itu dibangun? Siapakah yang paling menikmati kemudahan tersebut, penduduk asli ataukah lagi lagi Jawa dengan kata lain Jakarta yang paling diuntungkan?
Kemarin ini Kompas menurunkan laporan mengenai pulau pulau perbatasan yang berkondisi mengenaskan. Apakah tidak sebaiknya dana 100 trilyun untuk jembatan Selat Sunda dialihkan untuk membangun daerah daerah tersebut agar penduduk asli turut dapat menikmati 64 tahun kemerdekaan RI.
Akan kemanakah pelabuhan pelabuhan kita? apakah nasibnya akan meniru Lasem, bekas pelabuhan kuno yang dahulu begitu masyur. Bagaimana nasib pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang dulu bernama Ujung Galuh tempat pemusatan armada kapal perang Majapahit, relakah kita kehilangan lagi satu lambang identitas sebagai negara kepulauan?
Hanya sekedar pertanyaan.

Tidak ada komentar: