30 Juni 2009

Negeri bernama Indonesia

Indonesia, negara kerdil, birokrasi yang korup, manipulasi dalam tata pemerintahan...!

Apa yang terlintas di benak kita mendengar tudingan tersebut, Pedih!,,,,,karena menyadari kemungkinan 90 persen apa yang ditudingkan itu benar.

Diantara kepedihan, menyeruak pula pertanyaan; apakah negara ini seburuk itu, benarkah tidak ada kebaikan dari negara ini dan apakah tidak ada negara lain yang sama buruk atau bahkan lebih buruk dari Indonesia.

Indonesia modern baru akan menginjak ulang tahun kemerdekaannya yang ke 64 pada Agustus tahun ini, negara yang masih sangat muda dengan garis pantai terpanjang di dunia, bayangkan dengan analogi seorang anak kecil dengan aset pulau berpencaran yang dipaksa harus mandiri pada 17 Agustus 1945 dengan skill dan sumber daya manusia yang minim. Peperangan dengan pihak asing maupun saudara sebangsa telah meninggalkan puing puing kehancuran dan luka mendalam di hati setiap anak negeri.

Dalam perjalanannya negeri ini pun tercabik cabik oleh bencana alam silih berganti. Seakan Tuhan mengirimkan karunia dan bencana secarabersamaan dengan kelahirannya.

Negeri ini tertatih tatih melangkah, sementara tetangganya Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 telah melompat jauh demikian pula dengan Singapura. Apa yang salah dengan Indonesia?

Banyak jawaban untuk pertanyaan tersebut: salah urus, SDM yang tidak kompeten, pemerintahan yang tidak kredibel dan sekian ratus jawaban lainnya.

Yap, memang Indonesia masih tersaruk saruk melangkah, dengan wilayah seluas ini kita seakan tidak punya cukup daya untuk mengurusnya. Diluar masalah dalam negeri kita masih menghadapi masalah dengan negeri tetangga mengenai batas wilayah di pulau pulau terluar seperti Ambalat, Miangas, pencurian hasil laut dan tenaga kerja.

Tapi kalau kita mau jujur, kita tidak dapat membandingkan dengan negara lain yang jauh lebih dulu merdeka. Negara lain mempunyai kondisi alam dan situasi yang berbeda dan mereka telah lebih dulu melalui perjalanan berat yang mungkin saja sama dengan yang kita hadapi sekarang. Adapun Negara yang baru saja merdeka seperti Malaysia, kondisinya lebih mudah dengan wilayah sempit dan etnis yang tidak begitu banyak ragamnya.

Tidak semua orang Indonesia sabar menerima ujian ini, para intelektual yang sudah mencicipi nikmatnya hidup di negeri orang yang serba well organized, stabil dan bersih ramai ramai mencibir melihat kondisi dan situasi politik Indonesia, banyak yang menyatakan tidak akan kembali selama negeri ini masih rusak.

Saya hanya bisa menghela nafas, jika semua cendekiawan Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar negeri berpikir seperti itu bagaimana nasib Indonesia. Tiba tiba saya seperti melihat perempuan cantik yang berjalan terseok dalam kesepian karena semua anaknya pergi tanpa pernah berpaling, tanpa pernah merasa bahwa berkat air susunyalah mereka dapat hidup dan tumbuh. Perempuan yang tubuhnya dipenuhi oleh tumor ganas yang berharap agar anak anaknyalah yang kelak kembali untuk menyembuhkan penyakit itu.

Pada pundak merekalah lokomotif negara ini diletakkan, mereka yang diharapkan kembali untuk memimpin perubahan dalam masyarakat. Apa jadinya apabila mereka menjauh tanpa ingat bahwa negeri ini telah memberikan nafas kehidupan pada mereka, tanpa ingat pada para pendahulu mereka yang telah memberikan keringat dan darah untuk fondasi negara.

Beruntunglah masih ada sekelompok orang-orang sederhana berpendidikan lokal yang tekun membimbing saudaranya untuk maju walaupun dengan segala keterbatasan. Orang orang sederhana yang berseliweran di sekitar kita tanpa kita sadari.

Tiba tiba saya merasa optimis Indonesia akan dapat melalui masa masa sulit ini. Negeri indah ini akan tetap memancarkan kemilaunya yang sarat dengan perjuangan darah dan airmata.

Tidak ada komentar: