13 Juni 2009

Hak Kaum Terpinggirkan

Melihat para capres cawapres bergiliran tampil di TV dan surat kabar kadang kadang membikin geli tapi toh menghibur juga. Bahkan jika dulu cawapres hampir tidak dianggap sebagai poin penting dalam kampanye, sekarang justru berbeda, para cawapres juga mempunyai acara khusus di TV bahkan seakan bersaing dengan Capres mereka.

Kita sebagai rakyat tentu boleh boleh saja menilai, menertawakan, menimbang nimbang untuk memilih atau tidak memilih mereka, terutama masyarakat yang selama ini terpinggirkan.

Ada banyak kelas kelas dalam masyarakat : kelas atas, menengah dan bawah. Bahkan mungkin sekali dalam masing masing kelas tersebut masih bisa diklasifikasikan menurut kecenderungannya, ada menengah atas atau kelas bawah menjurus ke fakir miskin.

Kelas atas dan menengah masih bisa bebas berekspresi karena mereka mengenal dan menguasai penggunaan teknologi komunikasi seperti HP, internet dan surat kabar; dengan kata lain mereka memiliki hak atas akses teknologi komunikasi yang diperoleh dengan menukarkan sejumlah uang. Dengan alat itulah kita bebas mengirim email, membuka facebook, membuat blog atau mengirim comment ke surat kabar yang berisi keluhan, cacian atau pujian yang berpotensi didengar atau lebih bagus lagi direspon oleh institusi bersangkutan. Kalangan ini tidak mendapat kesulitan yang berarti untuk memperoleh hak haknya.

Namun jangan lupa ada suatu kaum dari masyarakat yang boleh dikata tidak mendapatkan hak yang sama karena keterbatasan ekonomi. Dengan kata lain segala penderitaan mereka bagaikan tersekap ruang kedap suara, tidak akan didengar apabila tidak ada orang yang kebetulan membantu menyampaikan keluhan mereka. Golongan ini bagaikan ilalang yang tumbuh tanpa ada yang peduli. Bahkan mereka pun tidak yakin apakah mereka mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

Jika ada yang berhak menuntut kinerja dan janji dari masing Capres dan Cawapres, justru orang orang kolong langit inilah yang paling berhak mendapatkannya. Mereka harus kita letakkan di shaf paling depan. Sementara kita, golongan masyarakat yang terbiasa berteriak di ranah publik harus rela dan dengan besar hati mundur ke belakang menunggu agar orang orang ini mendapatkan hak hak dasarnya terlebih dulu.

Bukan itu saja mungkin para pelaku infotainment bisa merelakan untuk menghentikan sementara liputan mereka atas kehidupan para artis dan mengalihkan fokus kepada golongan fakir ini.

Daripada mengundang pengamat politik dan komunikasi bicara ngalor ngidul tentang pencitraan, jargon dan sampah lainnya mungkin TV swasta dapat mempertimbangkan untuk mengundang sejumlah penghuni gorong gorong dan kolong jembatan untuk bicara dalam format yang lebih baik dibanding liputan sesaat. Mumpung masih dalam kampanye, ajak mereka untuk berteriak sekeras kerasnya.


Ini untuk membayar hutang kita kepada mereka, hutang karena kita tidak cukup peduli dan setia kawan atas nasib sesama rakyat.

Jika selama ini suara mereka tidak terdengar, maka orang orang yang mempunyai akses inilah yang wajib menjadi corong mereka entah menyebarkan melalui facebook, milis, blog dan lain lain. Mungkin saja mereka masih tetap harus berjuang bertahan hidup tapi setidaknya suara mereka telah berkumandang.

Tidak ada komentar: