16 Juni 2009

Islam dan Saya

Berbicara tentang intelektual Islam, ada beberapa orang yang sangat saya sukai tulisannya. Mereka diantaranya adalah Ulil Abhsar Abdala dan Lutfi Asyaukanie untuk Indonesia sedangkan untuk penulis luar salah satunya adalah Khaled Abou Al Fadl seorang guru besar hukum Islam.

Membaca tulisan tulisan Ulil terasa tersengat, mungkin karena jiwa mudanya yang meluap luap sedangkan tulisan mertuanya KH Mustofa Bisri terkesan arif sesuai dengan usianya. Sementara tulisan Khaled Abou lebih menitikberatkan pada pemahaman hukum Islam itu sendiri.

Sebut saja saya seorang Mualaf, karena walaupun saya menerima agama secara diwariskan yaitu Islam, tapi iman keislaman saya tidak pernah meningkat, sholat masih bolong bolong. Rasanya selalu ada guncangan kekecewaan dalam hati saya, entah karena melihat sebagian ulama yang sibuk menghimpun umat demi kepentingannya, menyitir ayat ayat tertentu demi tujuannya. Melihat mesjid mesjid megah dibangun di antara pemukiman kumuh, sementara tingkat korupsi malah meningkat. Islam yang semestinya merupakan Rahmatan Lil- 'Alamin menjadi agama tempat berkumpulnya orang orang berjubah, berjenggot dan bercadar yang beringas serta saling mengkafirkan satu sama lain.

Kekecewaan yang lambat laun berubah menjadi kemarahan terpendam dan berakhir kepada pembangkangan kecil kecilan, seperti malas sholat.

Mungkin itu pula yang dirasakan Ulil, dengan tulisannya yang tajam ia mengkritik kelakuan para peminta sumbangan mesjid yang hobby menyitir satu ayat dalam Quran, seolah olah dengan membangun mesjid maka ahlak umat akan beres dengan sendirinya. Sementara Kyai Bisri menyentil pelaksanaan ibadah haji yang mestinya menitikberatkan pada kedalaman rohani ternyata hanya menjadi sebatas kegiatan fisik melempar jumrah, tawaf dan Sa'i saja. Tidak jarang sesama jemaah haji saling sikut dan dorong hanya untuk mencium Ka'bah. Perbuatan yang tidak mencerminkan niatan untuk beribadah secara rohani.

Perbedaannya walaupun Ulil mengkritisi keadaan umat tapi ia tetap rajin sholat, mengkaji kitab dan ibadah sunnah lainnya, ia pun dibesarkan di lingkungan pesantren dan mempelajari Fiqih secara mendalam sementara saya malah patah arang.

Tapi dari tulisan tulisan mereka pula lantas muncul suatu kesadaran, tiap agama pasti ada kelemahan karena dibuat pada masa lalu dimana kebiasaan masa itu boleh jadi sangat berbeda dengan sekarang maka sudah menjadi tugas manusia untuk menelaah kembali ayat demi ayat untuk memperoleh pemahaman baru.

Saya sama sekali tidak berniat untuk pindah agama, karena kondisinya akan sama, tidak ada panggilan untuk memeluk agama yang tidak saya kenal dan sebagai seorang yang kadar pemahaman agamanya masih dalam tataran taman kanak kanak tentu tidak layak membuat suatu penilaian apapun karena akan sangat berbahaya bagi dirinya sendiri. Kegusaran yang saya rasakan tentu tidak pantas bila dibalas dengan pembangkangan terhadap kewajiban sebagai seorang Muslim.

Saya hanya bisa berdoa, tentunya sesuai kemampuan saya, semoga Tuhan dapat mengerti dan memaafkan umat-Nya ini, yang berjiwa kerdil dan selalu mempertanyakan ketentuan yang menjadi keputusan-Nya. Mungkin Ia pun akan bertanya, apakah hak saya seorang ciptaan yang terbuat dari lempung sehingga merasa berhak untuk ikut campur dalam setiap perkara.

Tidak ada komentar: