19 Juli 2009

Teror Itu Bernama Militer

Ada ungkapan ungkapan jahil tapi mendekati kebenaran jika kita membandingkan pemerintahan Soeharto dengan pemerintahan pasca beliau berkenaan dengan teror bom yang marak di Jakarta.

Pada jaman Orba Jakarta sangat aman, ingat petrus? jangan harap bisa membuat kekacauan di Jawa jika masih ingin melihat anak keturunan, masa masa di mana stabilitas politik adalah harga mati. Iklim ekonomi yes politik no. Ali Moertopo dengan Opsusnya mempunyai kekuasaan hampir tak terbatas, setelah Soeharto tentunya. Pembunuhan masal oleh milisi dan tentara berlangsung aman di Timor Timur dan Aceh, jauh dari Jakarta. Tentara terutama AD menguasai segi segi kehidupan dari hilir sampai hulu.

Tidak ada yang abadi di dunia ini, rezim Soeharto tumbang, beberapa Presiden telah memimpin Indonesia. Mulailah teror bom marak di Indonesia. Indonesia pasca Soeharto telah menjadi negara bebas dalam banyak arti. Bebas mengeluarkan pendapat, bebas berdemonstrasi, bebas menebar teror.

Entah apa karena dana militer yang hampir habis dipangkas membuat aparat keamanan dan BIN loyo atau memang militer sendiri yang bermain.

Siapa yang bisa membantah peran militer saat penerapan DOM yang berkepanjangan di Aceh. GAM justru memperoleh suply senjata dari TNI. Mungkin saja ada bantahan itu adalah oknum tentara, tapi jika ratusan unit senjata bisa diperjualbelikan maka yang terlibat bisa jadi institusi. Perang Aceh menjadi lahan bisnis tentara. Kita tentu masih ingat pembantaian pesantren Tengku Bantaqiah. Tengku Bantaqiah adalah seorang ulama yang disegani di Aceh. Tuduhan sebagai salah satu Menteri GAM membuatnya divonis penjara selama 20 tahun. Saat Habibie menjabat sebagai Presiden ia dibebaskan. Namun nampaknya militer tidak puas akan keputusan Panglima tertingginya itu dan membuat perhitungan sendiri. Pada tanggal 22 Juli sepasukan tentara menyerbu pesantren Bantaqiah dan tanpa ampun membunuh Tengku Bantaqiah berikut santri santrinya yang sama sekali tidak bersenjata.

Adapun situasi Aceh yang kian membaik membuat TNI kehilangan lahan bisnisnya. Masa paceklik bagi TNI sudah dimulai dengan lepasnya Tim Tim melalui jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999

Timor Timur adalah contoh pahit invasi militer sebuah negara, dimana negara tersebut justru mengingkari salah satu ayat dalam pembukaan UUD nya sendiri "Kemerdekaan itu adalah hak setiap bangsa......".

Jika Fretilin mengumumkan kemerdekaan Timor Timur pada 28 November 1975, hak apakah yang dipunyai oleh Indonesia untuk melancarkan operasi Seroja dengan menerjunkan ribuan prajurit pada tanggal 7 Desember 1975? Apakah dasarnya adalah Deklarasi Balibo tanggal 30 November yang ditandatangani partai partai seperti UDT, Apodeti dan KOTA untuk berintegrasi dengan Indonesia. Aneh karena sebelumnya pada bulan Juni 1974, Adam Malik sebagai Menlu telah mengirimkan surat kepada Ramos Horta yang isinya mendukung perjuangan Timor Timur untuk merdeka.

Perintah PBB agar pasukan Indonesia meninggalkan Timor Timur tidak diacuhkan.

Pada akhirnya diketahui bahwa deklarasi Balibo adalah akal akalan militer Indonesia untuk mensahkan invasi tersebut. Penguasaan Timor Timur telah direncanakan jauh hari sebelumnya dengan dukungan Amerika.

Yang terjadi setelah invasi itu bisa ditebak, Timor Timur menjadi ladang bermain bagi TNI. Dana APBN untuk militer dikucurkan hampir tanpa batas. Pembentukan milisi pro integrasi, pam swakarsa, dan pasokan senjata. Bukan tidak mungkin konflik bersenjata justru dipelihara oleh para pimpinan TNI sendiri, teringat pembicaraan dengan seseorang beberapa waktu yang lalu, bahwa tanah tanah yang dimiliki oleh para Jenderal di Tim Tim justru dijaga oleh Fretilin.
Ribuan prajurit dan rakyat Timor Timur mati sia sia karena permainan ini. Infrastruktur yang dibangun tidak sebanding dengan tumbal yang diberikan.

Insiden Santa Cruz di tahun 1991 pun akhirnya hampir pasti menggambarkan adanya persaingan internal di kalangan militer sendiri antara LB Moerdani dan Prabowo yang berakibat pencopotan Sintong Panjaitan sebagai Panglima Komando Udayana. Walaupun hal ini dibantah habis habisan oleh Militer. Insiden ini mengambil nyawa puluhan demonstran.

Peristiwa ini coba ditutup tutupi oleh tentara namun sialnya sebuah rekaman peristiwa tersebut sempat lolos dan ditayangkan di luar negeri. Rekaman yang akhirnya semakin memojokkan posisi Indonesia.

Rantai pembunuhan yang mengerikan itu akhirnya diputuskan oleh seorang sipil bernama BJ Habibie yang secara mendadak terpaksa harus maju memimpin Indonesia yang porak poranda akibat kerusuhan Mei 1998. Hasil referendum yang diumumkan tanggal 4 September 1999 menghasilkan keputusan Timor Timur lepas dari Indonesia.

Tidak semua orang puas dengan hasil tersebut; para veteran perang, keluarga yang ditinggalkan, milisi pro integrasi bereaksi keras. Eurico Guterres seorang pimpinan milisi pro Integrasi bahkan diseret ke Cipinang akibat pelanggaran HAM. Guterres mungkin adalah salah satu tumbal bagi pro integrasi, entah apa ia menyadari bahwa dukungan murninya bagi pro integrasi justru dimanfaatkan militer demi melanggengkan cengkeramannya di daerah konflik tersebut.

Satu hal yang bisa dipetik, militer memang tidak boleh dibiarkan menguasai segala aspek kehidupan. Dengan senjata, strategi dan rekayasa politik serta hierarki yang ketat mereka bisa berbuat apa saja.

Rakyat Sipil harus bekerja keras mengejar ketertinggalan dalam bidang strategi politik yang sudah sangat matang dikuasai oleh militer.

(berbagai sumber)

Tidak ada komentar: