03 Februari 2021

Pangeran dari Timur

Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro mungkin menjadi lukisan Raden Saleh yang paling terkenal di Indonesia dengan beragam tafsir. Saat pameran pertama koleksi lukisan istana di Galeri nasional tahun 2016 lalu, lukisan ini banyak memukau pengunjung. Tampaknya lukisan ini pula menjadi inspirasi penulisan novel Pangeran Dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Walaupun nama Iksaka Banu sudah amat populer sebagai penulis novel berlatar belakang sejarah kolonial, namun baru kali ini saya tergugah untuk membeli bukunya, mungkin karena bukan penggemar novel.
Dalam Pangeran Dari Timur, alur cerita bergerak maju kemudian mundur. Bab pertama menceritakan pesta tahun baru di Bandung pada periode 1924-1925, di mana tokoh utama Ratna Juwita seorang gadis Sunda yang dididik ala barat oleh ayah angkatnya Thadeus van Gelman, berkenalan dengan Latief Syamsudin, orang muda pemilik biro arsitek. 

Thadeus van Gelman diceritakan sebagai jurnalis kenamaan, penyokong politik etis van Deventer yang sudah tentu menjadi salah satu tokoh protagonis. 

Pembicaraan Syam dan Ratna tentang aliran romantik dalam seni lukis menyinggung nama Raden Saleh yang hidup 100 tahun sebelumnya, Syam mengagumi pelukis itu. 

Lalu di bab berikut cerita mundur ke tahun 1820 tentang Raden Saleh muda yang akan ngangsu ilmu lukis kepada A.A. Payen atas rekomendasi Gubernur Hindia Belanda Baron van der Capellen.  Ada tujuan lain dari van der Capellen, yaitu menjauhkan Sarip Saleh dari pengaruh pamannya, bupati Terbaya yang dicurigai mendukung pangeran Diponegoro. 

Saat perang Jawa meletus, Sura Adimenggala V, bupati Terbaya sekaligus paman Raden Saleh berhasil ditangkap bersama putra sulungnya Saleh Aria Natadiningrat dan diasingkan di Sumenep setelah sebelumnya di Manado. 

Tertangkapnya sang paman tidak lantas membuat nasib Raden Saleh terkatung-katung, ia mendapat tawaran untuk pergi ke Belanda lalu magang pada pelukis Cornelis Kruseman. Sebagai murid Kruseman ternyata membuatnya bertemu dengan Jenderal de Kock, orang yang menyebabkan Diponegoro tertangkap sekaligus yang menghancurkan karir pamannya.

Pertemuan Ratna dan Syam berikutnya kian intens membahas Raden Saleh. Hubungan mereka disela oleh Syafei seorang pemuda pergerakan yang berbeda 180 derajat sifatnya dengan Syam yang serba teratur, Syafei adalah anak buah syam di biro arsiteknya. 

Bab berikutnya kembali ke era Raden Saleh yang sudah menjadi pelukis dan mulai mendapat nama di Eropa. Syafei tentu saja tidak menyukai Raden Saleh yang dianggapnya pengkhianat karena lebih memilih pergi ke Eropa. 

Sementara itu hubungan Ratna dan Syafei kian erat, dan untuk makin menunjukkan kekontrasannya dengan Syam, Syafei digambarkan terlibat dengan gerakan komunis dan berada di pihak Tan Malaka (tentu saja).  Ia bersama kawan-kawannya sibuk mencetak pamflet gelap terkait gerakan dari Tan Malaka yang menentang pemberontakan kaum komunis.

Singkatnya pemberontakan komunis mengalami kegagalan dan menyebabkan Syafei dipenjara dan akhirnya dibuang ke Digul. Ratna yang ditinggalkan tanpa kepastian akhirnya menerima lamaran Syam. 

Karir Syam kian gemilang saat ia ditunjuk untuk berpartisipasi dalam pameran kolonial di Paris. Sementara Raden Saleh mencapai puncak ketenarannya sebagai pelukis aliran romantik. Ia berkeliling dari 's Gravenhage, Dresden, Dusseldorf, Wina, Paris, bergaul dengan kaum bangsawan kelas atas. Sampai pada revolusi Februari di Paris tahun 1848 membuatnya sadar bahwa mungkin masa bulan madunya dengan Eropa mulai memasuki penghujung, sehingga ia mulai bersiap untuk kembali ke Jawa. 

Di tanah kelahirannya ini Raden Saleh menyadari bahwa kemasyuran dan lingkup pergaulan dengan kaum elit selama di Eropa ternyata tidaklah berarti saat ia menjejakkan kaki di Hindia Belanda. Di negerinya ia harus menerima kenyataan tentang segregasi warna kulit. 

Perkawinannya dengan perempuan pengusaha berdarah Eropa menghasilkan tekanan yang tidak dapat diatasi oleh Constancia Winckelhagen, istrinya. Namun dalam masa perkawinan dengan Constancia lah lahir karya Penangkapan Pangeran Diponegoro sebagai kontra atas karya Pieneman. Lukisan itu kemudian dihadiahkan kepada Raja Belanda, Willem III.  

Tuduhan terlibat dalam pemberontakan di Tambun juga harus ditelan oleh Raden Saleh yang saat itu telah menikah lagi dengan putri bangsawan dari keraton Yogyakarta, walau pada akhirnya tidak terbukti. Namun hal itu membuatnya tidak nyaman lagi untuk berdiam di Buitenzorg sehingga berniat menghabiskan masa tuanya di Coburg, Eropa atas undangan sahabatnya, Pangeran Ernst II. 

Namun Eropa yang telah ditinggalkan selama belasan tahun telah jauh berubah. Sahabat-sahabatnya banyak yang sudah wafat. Aliran lukisan yang tengah populer juga berubah, bukan lagi romantic melainkan impresionis. 

Menghadapi kejadian yang sama sekali berbeda dengan mimpinya, akhirnya Raden Saleh kembali ke Jawa dan meninggal di kediamannya di Buitenzorg. 

Daalm novel ini disela-sela hubungan segitiga antara Ratna, Syam dan Syafei terdapat Ho Pit Liong pemuda Tionghoa yang diam-diam juga menyukai Ratna walaupun tidak berbalas dan akhirnya menjadi sahabat sejati ketiga orang tersebut. 

Yang saya sukai dari novel ini selain bertema sejarah adalah penggunaan diksi yang ringkas, jelas, tidak berbunga-bunga. Begitupun alur cerita yang maju dan mundur tidak masalah karena menceritakan 2 masa yang berbeda. Hanya saja tokoh raden Saleh yang seharusnya mengeratkan ikatan para tokoh terasa tidak maksimal. 

Penceritaan tentang Raden Saleh sudah sangat baik, hanya saja seperti tidak ada benang merah antara Raden Saleh dengan ketiga tokoh itu selain ia merupakan pelukis yang sangat dihargai oleh Syam namun tidak disukai oleh Syafei. 

Tokoh Ratna sebagai putri angkat van Gelman, seorang jurnalis kenamaan sayang sekali hanya diangkat sebagai yang perempuan yang terombang ambing oleh cinta. Saya membayangkan Ratna sebagai gadis terpelajar ikut serta menulis artikel-artikel yang menjadi bahasan diskusi baik dengan Syam maupun Syafei. Bukankah di Jawa Barat pada masa itu sudah ada Dewi Sartika? 

Tokoh Syafei digambarkan liar seperti stereotype pemuda pergerakan lainnya, bagaimana jika Syafei yang terlibat dengan komunis adalah pemuda yang taat ibadah seperti layaknya Haji Misbach? tentu dialognya dengan Syam akan lain lagi.
 
Tokoh Pit Liong memberikan warna tersendiri, sebagai orang Tionghoa yang digambarkan inferior terhadap ketionghoannya. 

Yang paling menarik menurut saya justru tokoh Syam. Bukan aktivis, pragmatis tapi tidak menghalalkan segala cara. Rasanya Syam justru mewakili orang-orang biasa, Sayang sosok Syam sebagai anggota Volksraad hanya diceritakan sekilas. Bagaimana ia dan Ratna akhirnya survived pada masa pendudukan Jepang pun terasa wajar. 

Nyaris tidak ada tokoh yang benar-benar antagonis dalam novel ini. Semua tokoh digambarkan punya sisi kemanusiaan sendiri. Sebuah sudut pandang yang menarik sekaligus melegakan (sedikit).  Mungkin terlihat kurang nasionalis tapi sekarang ini kita mungkin sudah lelah dengan nasionalisme yang menjurus pada chauvinisme.  Sejarah Indonesia banyak diwarnai pandangan hitam putih, jika tidak A berarti B. 

Novel Pangeran dari Timur ini menawarkan cara pandang yang sedikit lain dan patut dibaca oleh orang Indonesia

Tidak ada komentar: