01 Desember 2020

Terpana di Timor

 

Bekas tambang marmer di Mollo

Sudah melewati pertengahan November, Jabodetabek tiap hari hujan.  Banjir pun sudah melanda.

Tapi di wilayah NTT tidaklah begitu.  Matahari tetap menyengat walau terkadang disaput mendung, namun hujan terlihat masih enggan turun di wilayah ini.

Fian, driver kelahiran Soe yang menjemput dan

menemani saya selama perjalanan banyak bercerita tentang daerah kelahirannya.

Saat saya tiba di bandara El Tari Kupang, waktu menunjukkan pukul 11:00 WITA.  Setelah menyelesaikan scanning EHAC, beruntung saya mengisi EHAC dengan aplikasi sehingga sampai di tujuan tinggal menunjukkan barcode kepada petugas untuk di-scan.

Selama ini bandara Kupang hanya menjadi tempat transit saja untuk menuju pulau-pulau di NTT sehingga baru kali ini saya keluar dari bandara dan berjalan menjelajahi Timor.

Soe menjadi tempat saya menginap berjarak kurang lebih 90 km dari Kupang, tepatnya di Timor Megah Hotel yang berada di jalan utama kota Soe di wilayah Timor Tengah Selatan.  Udara kota Soe lebih sejuk dibanding Kupang. 

Soe

Malam pertama di Soe dihabiskan dengan beristirahat dan makan malam di warung bu Asih, asal Lamongan.  Warung tersebut tidak terlalu jauh dari hotel dan tepat berada di seberang Polres, bisa dicapai dengan jalan kaki santai. Di Soe banyak rumah makan yang menyediakan sei babi, daging babi yang diasap.  Tepat di sebelah warung bu Asih ada Depot Remaja yang menyediakan sei babi, Warung makan Larisa yang menyajikan makanan sejenis pun berada di jalan yang sama.

Warung bu Asih

Paginya berangkat ke Mollo di Fatumnasi.  Saya mengetahui Mollo sejak ada konflik masyarakat dengan perusahaan tambang marmer, pun membaca juga buku yang ditulis oleh Siti Maemunah dari Jatam. Di Timor Tengah Selatan ada 3 kerajaan yaitu Mollo, Amanuban dan Amanatun.  Dari buku tersebut terlihat betapa tangguhnya orang Mollo menghadapi masalah lingkungan yang disebabkan oleh salah satunya proyek reboisasi dari pemerintah.

Salah satu bukit di Mollo yang mulai dijadikan spot wisata

Siapa yang menyangka, hutan cemara yang indah menyimpan pergulatan pahit rakyat Mollo.  Melalui buku Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim, Siti Maemunah melaporkan bagaimana penanaman pohon cemara atau yang sering disebut casuari dilaksanakan mulai dari tahun 1974 di "lahan kritis" yang merupakan padang penggembalaan ternak.  Pohon cemara ternyata rakus air, dan memiliki zat racun yang menyebabkan tanaman lain tak dapat hidup di bawahnya.  Warga yang biasa menanam variasi tanaman pangan seperti jagung, ubi kayu dan keladi tentu saja kelabakan.  Proyek reboisasi entah bagaimana prosesnya ternyata mengubah tanah adat menjadi tanah negara, sehingga pada tahun 2003 warga mulai mengambil alih lahan-lahan cemara untuk kembali ditanami beragam pepohonan buah dan tanaman pangan.

Hutan Cemara

Selain proyek reboisasi, perusahaan tambang mulai masuk dan mengeksploitasi gunung batu di Fatu Naususu dan Anjaf yang mengandung marmer sejak tahun 1997.  Melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan tersebut, masyarakat Mollo mulai mengadakan perlawanan yang dimotori oleh para perempuan, salah satunya Aleta Baun.  Perlawanan tersebut berhasil sehingga gunung-gunung marmer ditinggalkan oleh investornya.  Para perempuan dan alam Mollo adalah satu kesatuan.  Alam Mollo yang rusak akan langsung berpengaruh pada kehidupan perempuan.


Tambang marmer kini sudah kosong, setelah perusahaan angkat kaki.  Masyarakat Mollo mencoba menjadikannya sebagai tempat wisata.  Wilayah Mollo yang berbukit-bukit cocok dijadikan ekowisata.  Di sana sini nampak warga sedang mengerjakan titik-titik spot yang diharapkan cukup instagramable.


Mumpung ada di Mollo saya berusaha mampir ke komunitas Lakoat Kujawas untuk membeli beberapa produk pangan, sayang mama Fun, yang menjadi penanggungjawab untuk produksi ternyata sedang keluar, sehingga gagal lah niat saya itu.  Petunjuk dari mimin Lakoat, patokan tempatnya setelah melewati pasar Kapan, cari gereja Katolik, rumah bapa Willy Oematan terletak di seberangnya.

Air terjun Oehala yang sumber airnya berasal dari pegunungan Mutis masih tetap mengalirkan airnya walaupun menyusut jauh, namun sumber air itu tidak berhenti di musim kering yang panjang ini.  Air dari Mutis akan tetap mengalir selama kelestarian lingkungan sekitarnya dapat terjaga.  Gunung-gunung batu itulah yang selama ini menampung air hujan selama ratusan tahun.

Oehala

Saat menuju Motaain, melewati daerah Polen, Fian menunjuk sisi kiri jalan yang ternyata saat dihampiri, saya dapat melihat proyek bendungan yang sedang dikerjakan yaitu bendungan Temef.  Bendungan Temef ini merupakan satu dari 7 proyek bendungan yang sedang dikerjakan di NTT yang diharapkan dapat memecahkan masalah kekeringan yang memang selalu menghantui provinsi ini.

Bendungan Temef

Iseng-iseng saya meng-google tentang bendungan Temef, ternyata bukan berarti mulus-mulus saja.  Masalah ganti rugi ternyata belum selesai menurut pemilik tanah adat seorang keturunan raja.  Apakah dengan adanya bendungan, masalah kekeringan dapat terselesaikan? Lihat saja nanti.  

Melewati jembatan di daerah Ponu, Timor tengah utara, langsung terlihat dataran pasir berbatu yang sebelumnya adalah sungai, pemandangan yang umum terlihat di NTT pada musim kering.  Demikian juga saat di Fatuulan, embung luas hanya menyisakan kubangan berisi air berwarna hijau.

Sungai kering di Ponu

Bisnis air bisa jadi merupakan bisnis yang paling menguntungkan di Timor ini atau bahkan di negara.  Siapa yang tidak butuh air.  Hotel yang saya inapi, Timor Megah Hotel mempunyai sumur bor sendiri sehingga tamu-tamu hotel bisa menggunakan air dengan leluasa.  Bahkan mereka punya mobil tanki sendiri untuk menyalurkan air mereka kepada yang konsumen lain dengan kata lain berjualan air bersih. 


Embung di Fatuulan


Fatuulan

Selain air bersih, bahan bakar minyak juga merupakan obyek yang menguntungkan untuk dijual kembali.  Saat mengantri untuk isi bbm di pom bensin, Fian menunjuk beberapa mobil pick up butut, yang dikenal dengan nama mobil tap.  Tap itu istilah untuk tindakan pengisian bbm melebihi kapasitas tanki.  "Sudah biasa bila ada satu mobil mengisi bbm sampai 2,5 juta rupiah" demikian kata Fian.


Bbm yang dibeli itu akan dijual lagi baik secara eceran atau diselundupkan ke Timor Leste melalui Oecusi, demikian Fian menambahkan.  Banyak cerita menarik yang dibagikan oleh Fian.  Tentang pengusaha terkaya di Timor Tengah Selatan yang katanya pernah menalangi gajian para PNS di Timor Tengah Selatan yang telat dengan uang pribadi.  Silakan google sendiri berapa jumlah PNS pemda TTS😋.  Lalu alasan apa yang mendasari yang bersangkutan mau menalangi gaji para PNS itu, Fian memberitahukan alasannya, tapi saya ngeri menceritakannya di sini, takut kena UU ITE. Adapun nama pengusaha tersebut saya juga tidak berani menyebutkan. cukup tahu dari cerita warga seperti Fian.

Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain punya cerita sendiri.  Kemegahan gedung PLBN ternyata telah menjadi obyek wisata.  Saat saya meninggalkan PLBN menuju Atapupu, ada satu bis penuh berisi warga NTT sedang meminta ijin untuk masuk lokasi, belakangan Fian menunjuk kampung di wilayah Timor Tengah Selatan tempat warga tersebut berasal.

PLBN Motaain


                                                                   Suatu titik di Motaain


Pelabuhan Atapupu dahulu kala dikenal sebagai pintu masuk pedagang Cina dari Makau dalam perdagangan cendana.  Akses menuju hutan cendana dimiliki oleh para raja sehingga para pedagang tersebut juga menikahi putri-putri raja tersebut.  Kayu cendana yang beraroma harum memang dibutuhkan untuk ritual.  Saya datang ke Atapupu yang untuk kapal kargo.  Melihat bentang alamnya, terdapat dinding alam yang menjorok, membentuk ceruk yang aman dari serangan gelombang.

Pelabuhan kargo Atapupu



Pelabuhan Atapupu

Tentang kayu cendana, Fian punya cerita menarik, ternyata ia pernah jadi penyelundup kayu cendana.  Potongan kayu cendana dimasukkan dalam peti jenazah lalu ia menyewa 3 orang untuk menangisi jenazah.  Percobaan pertama sukses sampai Kupang, ke tangan pembeli. Kali kedua gagal karena aparat curiga,

Selesai dengan Atapupu kami menuju tempat bernama Wini.  Memang ada pos lintas batas negara di Wini tapi bukan itu tujuan kami.  Bukit-bukit berbatu di Wini yang menarik perhatian.  Dari mana asal bukit-bukit itu? ada yang bilang dulunya ini adalah lautan, karena memang tidak ada gunung api di pulau Timor.  Wini memang belum populer layaknya Fatumnasi atau Kolbano, padahal alamnya tidak kalah menakjubkan

Menuju Wini

Menuju Wini

Perbukitan Wini dari kejauhan

Ingatkah tentang Besipae yang videonya tentang kekerasan aparat satpol PP terhadap warga di sana menjadi viral?  Dalam perjalanan menuju Kolbano, mobil kami melewati daerah Pubabu dan persis melintas di jalan dimana tanah sengketa warga Besipae vs pemprov berada.

Dalam buku Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim juga disinggung mengenai asal muasal konflik yang bermula dari tanah masyarakat yang disewakan sepihak oleh pemerintah RI kepada Australia untuk pengembangbiakan sapi.  Setelah kontrak habis nampaknya tidak ada kejelasan sehingga berkonflik sampai sekarang.  di Youtube bisa dilihat perkembangan terbaru, apakah ada pendekatan dari pemprov tentang masalah ini.

Besipae

Area pemukiman di mana warga Besipae tinggal tampak sepi.  Rumah-rumah warga terlihat jarang. Yang langsung nampak malah rumah-rumah bantuan yang kelihatan kosong.

Tidak semua tentang NTT adalah keindahan, tidak bisa menutup mata masih banyak pekerjaan rumah baik untuk pemprov maupun negara untuk mendistribusikan kemakmuran.  Ya, jalan-jalan mulai banyak yang halus, pembangunan mulai marak, namun bagaimana caranya agar masyarakat sekitar dapat maju bersamaan dengan pembangunan fisik, itu yang harus jadi pekerjaan bareng antara pemangku kebijakan dan masyarakat









Tidak ada komentar: