22 Januari 2019

Menjelajah Alor Yang Kesekian Kali

Jalur ke Lendola
Selesai rapat di balai desa dan kelar ketemu dengan anak-anak di perpustakaan taman bacaan Pelangi paling bagus ya hilir mudik menyusuri pulau Alor yang masih saja belum terjamah seutuhnya.

Bersama yang mbaurekso Alor, beliau berbaik hati mengantarkan saya dengan motor antiknya dari pagi hingga malam, keluyuran mulai dari Alor barat daya sampai Alor timur menyusuri bagian selatan, mulai tepian pantai sampai perbukitan.  Perkara tamu adalah raja benar-benar dipegang teguh oleh orang-orang Alor ini.

Menuju air terjun di Alila yang berada di kawasan Alor barat laut misalnya, cukup menguras tenaga karena harus berjalan menyusuri sungai.  Naik turun sepanjang tepian, kerap memotong daerah aliran sungai.  Belum lagi nyamuk hutan yang luar biasa galak. Tangan saya sampai pedih karena gatal.  Pohon jambu mete yang terserak di kebun-kebun warga memancing tangan saya untuk usil memetik sekaligus mengunyah buahnya, merasakan cairan asam plus sedikit getir melewati kerongkongan.






Pipa air milik PAM terlihat di sepanjang jalur sungai, rupanya sungai ini pun merupakan andalan daerah sekitarnya.

Yang menyenangkan tentu saja air sungainya jernih dan enak diminum begitu saja, tentu saja karena letaknya jauh di ujung kampung dan dikelilingi hutan lebat.  Samar-samar terdengar bunyi gergaji mesin, kata om Marlon itu penebangan hutan yang berizin. 


a
Air terjun Ilawe atau Alila 
Sampai juga di air terjun, jernih dingin dan tidak ada orang.  lengan yang pedih karena gatal segera saya rendam.  Tidak bisa terlalu lama berada di sana karena hari menjelang sore, bisa berabe jika harus kembali menyusur sungai dalam keadaan gelap.  Tidak ada yang bawa senter.

Babi di Alila
Tiba kembali di kampung dan segera menuju rumah warga tempat motor diparkir.  Melewati mesjid kampung dan tak jauh dari situ seekor babi sedang berbaring di bawah pohon.

Alor memang selalu penuh cerita unik.  Tentang beberapa pemuda yang sholat tarawih sehabis buka puasa dengan sopi, minuman keras lokal sehingga tertidur saat sujud atau lebaran hari pertama yang diisi dengan tawuran antar kampung.  Tergelak-gelak saya mendengar kisah itu.






Antara Deere dan Batu Putih

Ada desa Apui di Alor Selatan yang merupakan penghasil vanili bermutu dan menyumbang sekitar 30% dari total pendapatan asli daerah. Terletak di perbukitan.dengan pemandangan indah tentunya.  Dulu, awal tahun 2000 jalur menuju Apui rusak parah.  Sebuah NGO menggerakkan warga untuk protes dengan cara menahan pembayaran pajak daerah dari hasil penjualan vanili dan usaha ini pun berhasil.  Pemerintah kabupaten segera memperbaiki jalan sehingga aktivitas transportasi dari dan ke Apui bisa kembali seperti biasa.


Pemandangan di jalur menuju Apui

Di musim penghujan Alor memang lumayan sering diterpa mendung dan hujan deras.  Kalau sudah begitu motor segera dipinggirkan dan mencari tempat berteduh.  Malam hari saat menuju Kalabahi hujan deras menerpa padahal baru sampai sekitar Likwatang, Alor tengah utara, apa boleh buat kami berteduh di teras rumah warga, yang punya rumah segera mempersilakan kami masuk dan ikut menikmati makan malam nasi segunduk dengan lauk sayur tahu.


Likwatang

Di kali lain kami menghampiri pesisir Maritaeng lanjut ke Karangle yang terletak di pesisir timur.  Lagi-lagi melewati perbukitan dengan pemandangan menakjubkan.  Di Asirpat melewati deretan pohon eucalyptus dengan batangnya yang berwarna putih cantik dengan latar belakang laut biru.  Berjam-jam kemudian kami tiba di Maritaeng yang langsung berbatasan laut dengan Timor Leste.  Sinyal ponsel otomatis berubah menjadi sinyal telco dari Timor Leste.  


Pohon Eucalyptus di Asirpat


Terdapat pos angkatan laut dengan patung Jenderal Sudirman mengarahkan pandangnya ke Timor Leste.  Dari situ perjalanan dilanjutkan ke Karangle, ke sebuah desa yang terletak di balik bukit. Kali ini vegetasinya berupa savana, mengingatkan pada Sumba.  Jalur jalan tentu saja tidak bagus, sementara mendung sudah membayangi.  Berkali-kali harus turun dari motor karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan.


Patung Jenderal Sudirman di perbatasan Maritaeng

Lolos dari jalur perbukitan hujan turun sehingga harus berteduh di sebuah pondok di pinggir pantai.  Cemas melihat hari semakin sore, akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan di bawah hujan rintik-rintik.    Desa yang dituju sebenarnya tidak terlalu jauh lagi.  Terletak di ujung pesisir.  Di ujung desa ada karang dengan lubang di tengahnya sehingga di sebut batu bolong atau batu kapal.  


Batu Bolong di Karangle

Rumah-rumah penduduk di situ tidak terlalu banyak.  Ada sekolah dasar dan puskesmas.  Tidak terbayangkan apabila ada yang sakit parah dan harus ke rumah sakit dengan kondisi jalan dan jarak seperti ini.

Tidak berlama-lama di situ mengingat kami harus segera kembali dan butuh waktu berjam-jam untuk mencapai Kalabahi.  Hujan membuat jalur tanah yang kembali harus dilewati menjadi lengket.  Perjalanan menjadi lebih lambat.  Saya baru bisa menarik napas lega setelah sampai di jalan yang sudah beraspal.



Menuju Karangle

Seperti yang sudah diduga matahari segera menghilang sementara Kalabahi masih puluhan kilometer jauhnya.  Jalur yang memang sudah sepi di siang bolong menjadi lebih mencekam di malam hari.  Apalagi saat melewati kelokan-kelokan perbukitan yang dikelilingi tebing dengan penerangan hanya dari lampu motor kami.  Rasanya lama sekali mencapai tepian pantai.

Saat motor menuruni bukit terakhir dan akhirnya sampai di jalur tepi pantai hati sedikit lega, walau segera sadar masih harus berkendara kurang lebih 2 jam lagi, 


Rute melewati Sebanjar

Waktu sudah menunjukkan jam 10 malam saat memasuki Kalabahi.  Badan rasanya remuk dihajar hujan dan angin berjam-jam plus baru sadar sudah melewatkan makan siang. 

Tidak semua tempat berkondisi prima...kolam bidadari yang sering muncul di blog-blog para pejalan kini kondisinya memprihatinkan akibat salah urus.  Kolam yang dulunya berair jernih kebiruan kini keruh dan berlumut dengan sampah mengambang.  Sayang sekali.



Ada gereja kuno yang indah di kampung Otvai.  Terbayang gereja kaum Amish saat melihat bangunan bercat putih dan berhalaman bersih tersebut.  Saya membaca plang pembangunan gereja yang ternyata sudah dibangun tahun 1934.  Gereja ini dinamakan gereja Moria


Gereja Kristen Moria di Otvai, Alor

Sejak dibangun gereja baru yang dinamakan gereja Galed, sebagian penduduk Otvai berpindah lokasi ibadah.


Om Marlon, yang juga penduduk Otvai mempunyai cerita tentang sejarah leluhurnya yang dari dinasti Bunga Bali.  Kerajaan Bunga Bali berpusat di Alor Besar desa Aimoli dan kini bisa dilihat yang tertinggal adalah mesjid Babussholah dan Al Qur'an tuanya yang berumur ratusan tahun.  Saat saya menuju rumah tua yang terletak di belakang mesjid,suasana sedang ramai karena para penduduk sekitar sedang bersiap menyambut anak-anak mereka yang tergabung dalam kesebelasan sepakbola kampung yang baru saja meraih gelar juara se kabupaten.



Kabarnya ini merupakan kepala para panglima dikuburkan

Tuan rumah menunjukkan tumpukan batu yang menurut cerita turun temurun adalah kuburan dari penggalan kepala para panglima perang yang berjumlah ratusan. 
Di depan pintu gerbang terdapat ukiran naga.  Ternyata binatang naga ini bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Alor.  Naga merupakan bagian dari mitologi daerah ini.



Ketiga kalinya saya ke Alor dan tetap terpesona dengan pulau ini bersama segala isinya.

Tidak ada komentar: