11 Februari 2019

Maestro Canting dari Pekalongan

MAESTRO CANTING


Chuzazi sedang menyelesaikan cantingnya


Batik tulis seharga ratusan ribu atau jutaan rupiah tidak dapat lepas dari elemen-elemen seperti malam dan canting.  Terutama canting.  Batik tulis mustahil disebut sebagai batik tulis jika pembuatnya tidak menggunakan canting untuk membuat garis-garis pola.

Besar kecilnya pola disesuaikan dengan ukuran canting. Makin halus garis makin kecil lubang canting yang biasa disebut cucuk. Membuat lubang canting yang terkecil yang ukuran nol sekaligus memastikan cairan malam mengalir lancar memang butuh keahlian khusus.

Seperti halnya batik tulis yang tertatih-tatih, nasib canting mungkin lebih mengenaskan.  Di kota batik Pekalongan hanya tinggal satu pengrajin canting tulis.  Chuzazi namanya.

Kereta Argo Muria tiba di Pekalongan.  Agak terlambat menyadari bahwa peron stasiun ternyata pendek.  Kami penumpang di gerbong 9 tergesa-gesa menyeret tas dan peralatan berisi kamera video dan perlengkapannya.  Menyadari kereta akan segera berangkat sebelum dapat mencapai peron untuk turun akhirnya kami memutuskan lompat.  Untung ada petugas kereta yang sigap membantu menurunkan barang-barang bawaan.

Kampung Landungsari adalah tujuan kami.  Memasuki gang kecil dengan rumah-rumah saling berhimpit kami menjumpai Chuzazi yang sedang sibuk di bengkel.  Denting besi beradu bertalu-talu.  Yang disebut bengkel adalah bilik kecil dengan lebar tidak sampai 2 meter menjorok panjang ke dalam.dengan kondisi remang-remang.  Ternyata 2 hari sebelumnya tempat ini dilanda banjir.  Banjir besar memang melanda kota Pekalongan hari Minggu sebelumnya.


Bengkel kerja 

Di bilik itulah Chuzazi bersama kedua anaknya Aziz dan Aminuddin duduk menekuk lutut sepanjang hari meyelesaikan canting pesanan.  Dengan sesekali mengisap rokok tubuh kurus Chuzazi menunduk sambil menggenggam palu, ajeg menghantam tembaga yang sudah membentuk badan canting.  Posisi menunduknya cukup menakjubkan karena kepalanya bisa lebih rendah dari lututnya. Soal merokok pria berumur lebih dari 60 tahun ini kuat menghisap 2 bungkus rokok sehari


Melipat tembaga membentuk kantung

Sekalipun terkesan pendiam, Chuzazi ternyata lumayan fasih bercerita.  Ia mengawali kerajinan canting karena kepepet.  Ayahnya adalah pembuat canting,  Chuzazi kecil sering disuruh membantu ayahnya dalam mengerjakan pesanan.  Semua dilakukan sekadar disuruh, setelah itu ia kembali bermain-main.

Menjadi yatim piatu dalam usia belia memaksanya untuk bekerja apa saja untuk menamatkan SMP.  Setelah tamat ia sempat menjadi buruh pabrik tenun selama dua tahun sebelum memutuskan untuk mencoba menekuni pekerjaan ayahnya sebagai pengrajin canting tulis.


Membuat sedikit lekukan di pantat canting

Ia mengenang tahun antara 1975 s/d 1985 sebagai masa keemasan pengrajin canting. Pesanan bertubi-tubi, pembayaran selalu di muka, bahkan sempat mempunyai 9 orang karyawan. Lalu seiring dengan berkembangnya batik cap, pemesan canting kian berkurang.


Pembakaran

Badan canting buatan Chuzazi mempunyai ciri agak melekuk di bagian tengah bawah dengan tujuan agar cairan malam lancar mengalir. Satu badan canting dihargai Rp 3 ribu rupiah, bila ditambahkan pegangan bambu menjadi Rp 3.500.  Padahal pengerjaan satu badan canting memerlukan lebih dari 8 tahapan, dari menggunting lempeng tembaga sesuai pola, melipat, mengetok, membakar sampai membuat dan memasang ekor serta cucuk.


Canting cucuk renteng


Dalam sehari Chuzazi menargetkan bertiga harus dapat menghasilkan minimal 150 buah badan canting.  "Supaya bisa makan dan dapat modal untuk produksi esok harinya".  Ia hanya meringis kala ditanya cukup atau tidaknya.  "Bolak balik tempe" lanjutnya lagi.  Harga timah ukuran 02 yang mencapai Rp 160 ribu/kg dan arang jati untuk pembakaran membuatnya harus lebih memutar otak karena ia tidak dapat menaikkan harga cantingnya.  "Untuk naik 200 perak saja susah" demikian jawabnya.



Hasil produksinya dibawa ke tengkulak yang tidak pernah menolak seberapa pun jumlah yang dihasilkan bahkan kerap minta ditambahkan.  Antara Chuzazi sebagai penghasil canting tulis dengan tengkulak memang terjalin hubungan yang lebih dari sekedar produsen dan penampung.  Sesuatu yang sangat dijaga oleh Chuzazi sehingga ia menolak tawaran dari museum batik Pekalongan untuk bergabung dengan alasan nanti siapa yang mengerjakan pesanan harian.

Tawaran untuk memperbesar modal melalui pinjaman bank ditolaknya.  Suaranya meninggi saat anaknya kembali mengungkap kemungkinan untuk meminjam dari bank.  Alasannya "Riba" katanya singkat.
Sebagai muslim yang taat Chuzazi segera menghentikan kegiatannya saat adzan berkumandang.  Dengan baju koko dan sarung, penampilan Chuzazi berubah total, terlihat penuh wibawa.  Selesai sholat ia segera pergi ke warung makan langganannya yang terletak dekat pasar Grogolan.  Ia tampak menikmati benar waktunya untuk bersantai sejenak.

Aziz, anaknya mengakui kemampuan sang ayah belum dapat disamai oleh dirinya dan Aminuddin,  Dalam urusan membakar canting-canting untuk mendapatkan warna kemerahan dari tembaga dan keemasan dari patri masih dilakukan oleh Chuzazi sendiri karena kedua anaknya tidak tahan terlalu lama berdekatan dengan asap hasil pembakaran yang dihasilkan oleh arang jati.

Berbagai macam penghargaan tergantung pada dinding lusuh rumahnya.  Namun penghargaan itu tidak mampu merubah nasib pengrajin canting tulis satu-satunya di Pekalongan.

Bengkel kecil itu akan sunyi selama bulan puasa dan kembali beroperasi penuh 10 hari setelah Lebaran. Selama masa tenang tersebut nafkah diperoleh dari bermacam kegiatan, mulai dari jual beli unggas sampai menyediakan jasa menyembelih ayam.

Tiang pencari nafkah utama memang Chuzazi.  Dari 10 anaknya, 5 orang masih hidup dan bergantung pada pendapatan dari hasil produksi canting yang dikerjakan Chuzazi anak-anaknya.  Masih ada ujian yang membelit keluarga ini nmun tentu saja tidak akan saya ceritakan lebih lanjut untuk menghormati sang maestro canting.


Aziz, anak Chuzazi

Kami mengobrol sementara cucu-cucunya menghampiri simbah untuk minta uang jajan. Rumah kecil itu dihuni oleh sekitar 10 orang.

Apa yang terjadi apabila Chuzazi pensiun memproduksi canting tulis dan anak-anaknya tidak sanggup lagi melanjutkan?  Pelaku batik tulis Pekalongan akan terpaksa mendatangkan canting dari luar kota.


Amin, anak Chuzazi yang pendiam

Note:
Kami disponsori oleh yayasan Tjanting Kasih

Tidak ada komentar: