04 April 2012

MENGHINDARI BALI

Mungkin jarang orang yang membenci Bali. 

Bali identik dengan surga dewata dan hal hal yang eksotis lainnya.  Sayangnya saya bukan pecinta Bali, bahkan enggan mengulang kunjungan ke Bali.  Kepala selalu menggeleng jika ada ajakan liburan ke Bali.

Buat saya Bali terlalu riuh, komersil, dan asing.  Sisi-sisi lokal tenggelam seiring dengan berjubelnya bule-bule mendatangi tempat ini.

Sering kali wisatawan domestik tersingkir, padahal saat pariwisata Bali berada di titik nadir akibat bom saat itu, justru wisatawan lokal yang menjadi penyelamat kelangsungan hidup mereka.  Mungkin perasaan saya ya yang sensitif.

Namun dari sisi profesionalitas, saya mengakui para pelaku usaha pariwisata di sana sudah sangat terlatih.



Sialnya tempat-tempat yang kesukaan saya yang lain adalah juga menjadi incaran turis bule tersebut.

Saat di Cemoro Lawang, hotel yang saya tempati ternyata penuh dengan bule *meringis.....

Di ruang makan kami menjadi satu satunya tamu berkulit coklat, selain pelayan hotel, tukang ojek dan penjual kostum dingin *masam.....

Begitu pula saat malam, begitu membuka pintu untuk masuk cafe lava, tempat yang ternyata menjadi tongkrongan bule bule *mulai jengkel....

Untung-untung...ternyata penduduk Bromo terlihat tidak membeda bedakan antara tamu lokal dan bule...semuanya juga diserbu ;)......iyalah...orang bule sih gak perlu kostum anti dingin, kan mereka dari negara 4 musim...jualan kupluk sama sarung tangan sih gak akan laku....hahahah.

 



Saya mengamati penduduk Bromo, yang mengais rejeki menjadi tukang ojek atau tukang jualan kostum anti dingin atau tukang kuda, sembunyi2 memotret seorang nenek yang sedang memanggul kayu, risih seakan memanfaatkan kemiskinan demi gambar bagus di kamera.

Saya menyukai keheningan di jalan cemoro lawang, tidak hiruk pikuk seperti Bali.  Saat menginjakkan kaki di lautan pasir, hanya terdengar suara angin dengan sapuan kabut tipis

Bermain main dengan anjing hasil persilangan anjing hutan dan anjing kampung, hasilnya adalah anjing bertubuh besar mirip herder tapi sangat jinak.

Tanah tanah di sekitar cemoro lawang, tidak boleh dijual, hanya boleh disewakan.  mungkin untuk menjaga agar penduduk Tengger tidak tersingkir dan sekedar menjadi penonton kemakmuran. Ada 2 hotel bintang yang dimiliki oleh penduduk asli Tengger, Lava View dan Cemoro Indah.

Penduduk asli Bromo kebanyakan tidak ingin keluar dari tempat mereka, setidaknya begitulah kesan yang saya tangkap setelah mengobrol dengan tukang ojek dari suku Tengger.  Alasannya karena pariwisata Bromo dinilai cukup menjanjikan, justru mulai banyak orang dari luar seperti Surabaya yang justru bekerja mengais rejeki di Bromo.

Sepertinya pelayan di coffee shop hotel Cemoro Indah berasal dari luar Bromo karena banyak yang ikut sholat Jumat.  Penduduk Tengger beragama Hindu

Mungkin yang cukup mengganggu saat kita turun dari jip di pananjakan pagi pagi buta untuk melihat sunrise, serbuan dari para tukang kuda gak nahanin,...mereka terus mengikuti sambil membujuk bahwa jalan kaki ke atas sangat melelahkan...kebanyakan turis lokal yang jadi sasaran, karena kalo bule kan senang jalan kaki.. *tariknapaspanjang....... bahkan ada jasa gendong anak sampai puncak pananjakan, cukup 20 ribu aja....hahahah, ketawa guling guling...

Jangan sampai Bromo seperti Bali



Tidak ada komentar: