20 April 2012

Calon Pemimpin Jakarta

Setiap kali pulang kantor saya menggunakan bis Trans Jakarta koridor VI dari Mampang menuju Ragunan.  Menghemat waktu walaupun kendalanya kadang bis yang lama datangnya. Jalanan yang semakin macet membuat sistem transportasi masal terpadu harus segera dilakukan.

Dengan makin dekatnya pilkada Jakarta, makin gencar para calon berkampanye.  Walaupun bukan warga Jakarta, tapi karena bekerja di Jakarta dan setiap hari menggunakan fasilitas kota membuat tidak bisa tidak saya terkoneksi dengan Jakarta dan ujungnya terkait dengan status sebagai komuter dengan segala fasilitasnya.

Jakarta adalah kota yang telah melalui tahapan tahapan pertumbuhan dari sekedar daerah pelabuhan kecil, Sunda Kelapa di bawah kerajaan Pajajaran, direbut oleh Banten sampai akhirnya diserbu oleh VOC.

Daerah ini oleh Pieter Booth, Gubernur pertama VOC hanya dijadikan kota adminstratif.  Kedudukan Jakarta yang dulu disebut Batavia masih kalah jauh dari pelabuhan Banten yang lebih dulu menjadi pintu gerbang perniagaan.

Pada perkembangan berikutnya, Batavia mengalami perubahan yang menyeluruh.  Jan Pieterszoon Coen membangun benteng dan dengan cepat menjadi kota utama. Para pedagang dari seluruh dunia masuk dan banyak menetap di Batavia.

Batavia tumbuh menjadi kota pelabuhan, perdagangan dan juga pemerintahan. Belakangan beban kota ini main bertambah menjadi kota pendidikan, pusat ekonomi negara, ibu kota sekaligus pusat pemerintahan

Dengan beban yang begitu banyak disandang, Jakarta juga menjadi tempat sampah terbesar.  Persoalan banjir, kemacetan, kejahatan dan pengangguran menjadi domainnya.

Jakarta juga identik dengan Ali Sadikin, Gubernur legendaris yang masa pemerintahannya selalu dijadikan acuan.

Suka atau tidak, calon calon Gubernur Jakarta memang seakan selalu berada di bawah bayang bayang Ali Sadikin  Tidak bisa tidak memang diperlukan karakter khusus untuk bisa memimpin Jakarta.

Beban Ali Sadikin waktu itu memang sangat berat.  Sebagai ibu kota, Jakarta lebih mirip kota kumuh dengan kumpulan para pengemis berperut buncit, bermata merah, alang alang yang menyemaki lapangan kota dan pemukiman kumuh.  Anggaran kota waktu itu hanyalah Rp 66 juta per tahun.

Selanjutnya sudah banyak buku atau blog yang menceritakan sepak terjang Ali Sadikin sebagai orang nomer satu Jakarta.

Namun ada yang membedakan dalam mekanisme pemilihan Gubernur masa itu.  Pada masa itu Ali Sadikin ditunjuk sendiri oleh Soekarno, tidak ada sistem pencalonan lewat partai seperti sekarang.  Penunjukan langsung tersebut tentu saja membuat posisi tawar Ali Sadikin cukup kuat dalam menghadapi intervensi baik dari partai maupun pengusaha non partai bahkan dari birokrat sekalipun.

Saat ini dimana kepala daerah lebih banyak diusung oleh partai dan tidak ada penunjukan langsung, bisa ditebak bagaimana karakter dan kekuatan sang calon selanjutnya.  Ada calon independen yang mengumpulkan sumbangan dari masyarakat untuk maju ke pencalonan dan mengadakan semacam kontrak politik.  Sah Sah saja semua itu.

Namun tentu masyarakat lebih menunggu realisasi janji janji yang diucapkan para calon saat kampanye.

Mengurus Jakarta dengan seribu kompleksitas tentu tidak sama dengan mengurus kota lain seperti Palembang atau Solo misalnya.  Namun terus terusan mengacu pada jaman Ali Sadikin juga bukan solusi.  Jakarta dulu dan sekarang telah mengalami banyak perbedaan.  Para cukong berkuasa penuh atas Jakarta.  Siapa pun yang memimpin Jakarta harus bernyali besar untuk menghadapi mereka.

Masih banyak orang Jakarta yang tidak peduli Jakarta namun di sisi lain berkembang pula gerakan berbasis komunitas yang ingin menciptakan Jakarta yang lebih manusiawi. Yang memimpin Jakarta harus bisa bekerja sama dengan para aktivis, para komunitas yang kebanyakan berusia muda, kaum miskin dan juga dapat mengendalikan kaum elit.

Gubernur Jakarta yang akan datang tidak cukup sekedar "seperti Ali Sadikin" tapi mutlak harus lebih baik dari Ali Sadikin

Tidak ada komentar: