09 April 2012

Antara Suu Kyi, Corry dan Megawati

Siapa yang sudah menonton "The Lady" besutan sutradara Luc Besson?

Dengan menggandeng Michele Yeoh yang berperan menjadi Aung San Suu Kyi, Icon demokrasi Myanmar, Besson mengangkat haru biru kisah kehidupan Suu Kyi dan suaminya Michael Aris.  Suu Kyi yang belasan tahun menjadi tahanan rumah tidak dapat mendampingi Aris yang menderita kanker sampai akhirnya meninggal.

Terlepas dari sisi manusiawi yang ingin diangkat oleh film tersebut, memang langkah perempuan perempuan dalam menentang otorisasi pemerintahan dalam suatu negeri sangat menarik untuk disimak. Pers memotret dan menjadikannya sebuah lambang entah sebagai lambang perlawanan atau lambang feminisme.

Terutama di negara negara Asia dimana hukum patriarkal sangat dominan begitu pula dengan dominasi militer plus situasi ideologis yang ketat dan kaku, menyeruaknya wanita di tengah situasi tersebut otomatis menjadi sentral perhatian tersendiri.

Tak pelak adegan Suu Kyi berdiri di atas panggung menghadapi ribuan pendukungnya yang menyemut, mengacung acungkan berbagai poster atau bendera mengingatkan pada gambar gerakan People's Power-nya Corazon Aquino tahun 1986 atau sebelumnya.  Namun tidak salah juga jika orang teringat dengan Megawati dan pendukung fanatiknya di PDI-P.

Ada perbedaan sekaligus persamaan diantara mereka.  Sama-sama mengalami tragedi yang menimpa orang yang mereka cintai.  Suu Kyi kehilangan ayahnya Jenderal Aung San yang dibunuh oleh saingannya, Senator Benigno Aquino suami Corry juga terbunuh, sementara Megawati juga menyaksikan ayahnya tersingkir dari kursi Presiden dalam situasi yang disebut sebagai kudeta merangkak.

Sedikit perbedaan mungkin, Corry sebelumnya hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak mengenal politik, begitu pula dengan Megawati.  Sementara Suu Kyi yang lulusan Oxford memang kelihatannya lebih siap menjadi pembaharu Burma karena pekerjaan sebelumnya di PBB bersentuhan dengan dunia internasional. 

Masyarakat setempat memang menaruh pengharapan besar terhadap sepak terjang mereka.  Megawati sama sekali tidak disiapkan menjadi pemimpin massa partai yang begitu besar.  Mayoritas pendiri partai adalah orang orang yang mempunyai nostalgia khusus terhadap Bung Karno, sang ayah. Nostalgia yang boleh dibilang mungkin irasional.  Dalam hal ini saya tidak bisa tidak merasa kasihan terhadap anak anak Soekarno yang menanggung beban karena membawa keharuman nama ayahnya.

Sementara Corry Aquino walaupun mungkin terbebani dengan nama suaminya namun terlihat lebih bisa memilah para pembantunya.  Begitu pun dengan Suu Kyi yang secara intelektual dan pergaulan jauh lebih siap untuk masuk ke hiruk pikuk dunia politik.

Megawati hadir saat rakyat jenuh dengan pemerintahan Soeharto, namun secara pribadi tidak mempunyai kapasitas cukup untuk menjadi Presiden.  PDI-P yang menjadi mayoritas saat pemilu malah harus mundur saat poros tengah menetapkan Abdurachman Wahid sebagai Presiden dengan berbekal fatwa haram bagi wanita menjadi pemimpin.  Selanjutnya saat Wahid tersingkir sehingga Mega naik menjadi Presiden, rakyat yang berharap untuk mendapatkan manusia setengah dewa harus kecewa melihat anak biologis Bung Karno tidak dapat berbuat banyak dalam pemerintahan sehingga tenggelam di bawah penasihat politiknya yang lebih berpengalaman.

Mega pun kecewa saat niatnya untuk kembali menjadi presiden berkali kali gagal, nampaknya masyarakat Indonesia sudah mulai belajar bahwa tidak cukup sekedar menjadi anak biologis Soekarno untuk mengelola negara dengan berbagai konflik pelik.

Sebaliknya dengan Corry Aquino, setelah berhasil menjabat 1 periode, ia menolak ikut dalam pemilihan berikutnya.  Dalam masa kepemimpinannya ia memutuskan bahwa Amerika harus menutup pangkalan militernya di Philippina, melihat banyaknya kericuhan akibat perbuatan para serdadu Amerika terhadap penduduk lokal.  Rakyat Philippina tetap melihat Corry sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari segala kesalahan.

Suu Kyi yang menjadi pemimpin partai National League for Democracy sedang bersiap siap memasuki ruang dalam pemerintahan dengan catatan bila partainya menjadi mayoritas dan militer bersedia hand-over kekuasaan.

Mungkinkah Burma di bawah Suu Kyi menjadi lebih baik seperti harapan kebanyakan rakyat. Terlihat harapan mendalam dari rakyat Burma yang saat ini berada dalam kesulitan akibat tingginya angka pengangguran, tumpuan mereka adalah Suu Kyi seorang. Suu Kyi mungkin sadar bahwa ia membutuhkan lebih dari sekadar kharisma untuk membangun ekonomi Burma yang centang perentang.

Ternyata memang bukan jamannya lagi dongeng tentang satria piningit itu dimunculkan.  Justru kita harus tahu latar belakang calon pemimpin kita sejelas-jelasnya.  Pemimpin bukanlah manusia keturunan dewa yang muncul tiba tiba tanpa melalui kerja keras. Pemimpin masa sekarang adalah orang yang bisa mengorganisasi rakyatnya untuk melakukan kerja demi negara, mempunyai visi yang jelas tentang langkah yang ditempuhnya.

Tidak ada komentar: