25 Januari 2010

Jurnalis yang learning by doing

Apa metode perjuangan rakyat Hindia yang paling tajam sehingga melahirkan bangsa baru yang bebas merdeka bernama Indonesia?

Tentu bukan lagi perjuangan bersenjata yang dilakukan terpisah pisah sebelum abad 20. Menjelang abad 20 para pemuda memilih pena sebagai tempat mencurahkan pikiran dan ide ide tentang kebangsaan.

Tentu mereka bukan wartawan, tidak ada satupun diantara para pemula itu yang berlatar belakang ilmu jurnalistik. Mereka adalah para pelajar kebanyakan yang sedang menempuh pendidikan di STOVIA untuk menjadi dokter Jawa atau bahkan lebih rendah dari itu.

Mereka berbekal semangat menulis untuk memprotes, memberikan ide, mencerahkan dan berdebat dengan pemerintah Hindia Belanda bahkan sesama mereka.

Seorang Djokomono atau yang lebih dikenal dengan Tirto Adhi Suryo bahkan harus merelakan sekolahnya berantakan karena lebih bersemangat menulis di koran.

Tirto mengawali karier jurnalistiknya dengan learning by doing.

Demikian pula dengan Wahidin Soedirohusodo, Douwes Dekker, Tjipto dan banyak anggota pergerakan lainnya. Situasi politik yang membuat mereka menjadi jurnalis secara alami.

Lalu bagaimana mutu tulisan mereka? Yang pasti karena tulisan mereka pemerintah Hindia Belanda nyaris muntah darah. Hukum buang berkali kali dilaksanakan tapi tidak menyurutkan langkah para pemuda tersebut. Bahkan daerah pembuangan dimanfaatkan untuk menggalang kerjasama dan bertukar informasi.

Berangkat dari kemampuan menulis yang learning by doing itulah, seorang Tirto menjadi redaktur Pembrita Betawi sebelum akhirnya berkibar dengan Medan Prijaji pada 1907.

Douwes Dekker seorang Indo Belanda yang sempat menjadi tentara dalam perang Boer sebelum kembali ke Hindia dan menjadi koresponden De Locomotief. Melalui pena tajamnya ia mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk merubah kebijakan politik etis yang menurutnya cuma topeng agar Belanda tidak kehilangan wilayah jajahannya.

Orang Indo yang merasa lebih pribumi dari pribumi sendiri ini akhirnya menerbitkan De Express pada tahun 1912 bersama sama dengan 2 orang karibnya dalam Indische Partij, musuh bebuyutan pemerintah.

Seorang Kartini pun hanya berbekal pendidikan sekolah dasar resminya dan secara mandiri belajar melalui buku buku bacaan dibalik tembok pingitan. Ia seorang jurnalis alam dengan bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Belum lagi jika kita berbicara tentang Roehana Koeddoes, pemimpin redaksi Soenting Melajoe yang terbit tahun 1912 di Minangkabau. Ia bahkan belajar membaca dan menulis tidak melalui sekolah formal.

Jika dicermati tidak ada satupun dari mereka dan juga lainnya yang berlatar belakang wartawan. Mungkin kalau sekarang itulah yang disebut Citizen Journalism, mereka mengamati, membaca, bertukar pikiran lalu menuangkan apa yang mereka pikir ke dalam surat kabar. Tentu modal mereka yang penting adalah banyak membaca dan banyak menulis.

Pada saat itu surat kabar butuh sekali tulisan, mengingat tingkat melek huruf yang sangat rendah tidak heran jika siswa siswa sekolah menengah mengambil peranan sebagai koresponden.

Namun apa yang dapat dipetik dari keadaan masa itu? jangan menganggap rendah seorang otodidak. Para jurnalis otodidak pada masa itu dapat mengerakkan semangat kebangsaan suatu negeri untuk meraih kemerdekaannya.

Dengan keluasan wawasan, keberanian dan semangat mereka mengawali karir mereka dalam tulis menulis. Tanpa adanya persatuan wartawan mereka tetap saling mendukung satu sama lain.

Di jaman yang lebih maju kita mengenal Rosihan Anwar, sang Begawan Pers Indonesia dengan latar belakangnya yang lulusan School of Journalism ia memang bercita cita dari wartawan, satu dari sedikit orang Indonesia yang berpendidikan formal sebagai wartawan.

Lalu PK Ojong pendiri Kompas dan Intisari yang berlatar belakang sekolah guru, lagi lagi pengalaman jurnalistiknya bermula setelah langsung menjadi wartawan Keng Po.

Seharusnya para wartawan sekarang dapat belajar dari semangat mereka. Organisasi kewartawanan masa kini lebih banyak saling bentrok antar sesama daripada bekerja sama meningkatkan kualitas wartawan.

Yah, jaman telah berubah. Orientasi juga bergeser, wartawan menjadi karyawan gajian koran; kini pemilik modal memegang peranan sentral dalam pemberitaan. Tulisan dapat menjadi jinak atau galak tergantung orientasi politik dan ekonomi suatu koran dimana seorang wartawan bekerja sebagai karyawan.

Tidak ada komentar: