19 Januari 2010

Etika dalam Machiavelli

"Jika seseorang ingin berkuasa, maka calon penguasa baru itu harus menentukan lebih dulu berat beban yang akan ditimpakan kepada rakyatnya. Timpakan hanya sekali saja tidak boleh berulang ulang, maka ia akan memenangkan hati rakyat."

"Seorang penguasa haruslah ditakuti dan dicintai. Namun sangat sulit untuk mencapai keduanya, maka sebaiknya seorang penguasa memilih untuk ditakuti."

Demikian kutipan kutipan dalam buku "Il Principe" atau Sang Penguasa yang ditulis oleh Nicolo Machiavelli yang hidup pada abad 16.

Machiavelli dibesarkan dalam keluarga ahli hukum kaya raya di Florence Italy. Saat itu Eropa sudah mengalami masa Renaissance. Ilmu pengetahuan yang cenderung sekuler mulai memegang peranan, sedangkan Gereja berusaha keras mempertahankan otoritas absolutnya tidak saja dibidang agama namun juga politik. Pada masa lalu legitimasi religius yang dipegang oleh Gereja telah melampaui moral yang bahkan seharusnya dipatuhi oleh kalangan Gereja sendiri.

Sebagai pemegang legitimasi ketuhanan, masyarakat tidak dapat menuntut pertanggung jawaban atas kelakuan para pemuka agama terutama Paus pada masa itu yang dirasa menyimpang dari hukum keimanan.

Pergaulannya dengan Cesar Borgia, anak hasil hubungan gelap Paus Alexander VI membuatnya bercita cita membangun negara Italia sebagai bentuk renaissance dari kerajaan Romawi.

Cesar Borgia pandai memanfaatkan kekuasaan ayahnya sebagai seorang Paus. Berdua mereka memanfaatkan uang negara Kepausan dan umat melakukan serangkaian pembunuhan demi cita cita membentuk kekaisaran baru.

Sayang Paus Alexander VI keburu wafat dan digantikan oleh Paus Julius II yang segera menendang Cesar Borgia dari mimpinya. Cesar Borgia meninggal setelah bertempur melawan pasukan Paus Julius II.

Machiavelli yang menyaksikan tragedi ini mulai kehilangan respek pada lembaga Kepausan. Berangkat dari pengalaman inilah ia menuliskan "Il Principe"

Il Principe segera menjadi karya besar yang dibaca mulai dari mahasiswa sampai penguasa. Nasihat nasihatnya dalam buku itu agar memisahkan kekuasaan dari etika dan moralitas ditentang tapi juga dipraktekkan diam diam. Paus Clements melarang peredaran buku tersebut.

Kita bisa menyebut setiap diktator dan despot pasti menganut paham Il Principe. Namun menurut hemat saya ada pasal yang selalu dilupakan oleh para pelaku Il Principe yang justru membawa pesan moral tersendiri.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa Penguasa dilarang keras merampok harta rakyatnya karena akan menimbulkan kebencian. Setiap penguasa harus bersahabat dengan rakyat karena rakyat tidak mempunyai keinginan muluk kecuali bebas dari penindasan.

Kebencian rakyat akan menjatuhkan penguasa.

Il Principe memang bermaksud memisahkan kekuasaan dengan etika dan moralitas tapi bagi saya pribadi Il Principe masih memiliki moral. Banyak penguasa dan elit politik yang berbuih buih membicarakan moralitas dan menolak disebut sebagai penganut paham Machiavelli namun tindakannya jauh dari moral yang diusungnya.

Para pemegang otoritas baik politik maupun keagamaan tidak terlepas dari paham Machiavelli disadari maupun tidak. Persoalannya hanya bagaimana orang menyembunyikan motif untuk berkuasa. Bagaimana seorang calon Presiden berbaik baik dengan masyarakat dengan motif agar terpilih sedikit banyak sudah menunjukkan ciri seorang Machiavelli. Tinggal bagaimana ia menjalankan seluruh nasihat itu atau hanya mengambil sepotong sepotong karena ketamakannya.

Bagaimanapun juga pada jaman sekarang tidak ada kekuasaan yang absolut hampir semua jabatan ada masa berlaku yang dikukuhkan dengan Undang Undang, sehingga pesan moral Machiavelli untuk tetap berbaik baik dengan rakyat selama berkuasa cenderung untuk dilupakan.

Bagaimanapun sesuai dengan ungkapan "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" rasanya Machiavelli hanya berusaha agar kekuasaan absolut yang dipunyai oleh penguasa dapat diimbangi oleh kesediaan para pemegang otoritas untuk bersahabat dengan rakyat apapun motifnya.

Tidak ada komentar: