12 Oktober 2014

Auwjong Peng Koen-Hidup Sederhana Berpikir Mulia

Apa yang menarik dari orang Cina, golongan minoritas di Indonesia?  karena yang sedikit ini kadang melakukan sesuatu melebihi mayoritas.  Golongan minoritas identik dengan stigma negatif dan diskriminasi.  Butuh keberanian luar biasa untuk membubarkan prasangka yang telanjur tertanam selama berabad-abad.

Beberapa memang menonjol dan tercatat dengan tinta emas di lembar-lembar ingatan rakyat Indonesia.  Yap Thiam Hien dan Soe Hok Gie termasuk dua di antaranya.  Tentu masih banyak lagi nama dari berbagai bidang yang membuat kita harus angkat topi, kagum dengan kekonsistenan mereka yang seakan tanpa batas.

Adalah Auw Jong Peng Koen, adalah juga satu dari yang jarang itu.  Pria Cina, Kristiani kelahiran Padang itu kerap disebut dengan penuh hormat oleh Mohammad Roem, mantan wakil perdana menteri pada masa kabinet Ali Sastro Amidjojo.

Suatu hari Mohammad Roem yang sedang meringkuk di penjara Madiun bersama Anak Agung Gde Agung, Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, Sultan Hamid dan Soebadio Sastrosatomo menerima sepucuk surat dari orang yang baru ia kenal.  Orang itu itu adalah pemimpin harian Star Weekly, Auwjong Peng Koen.

Dalam surat itu, Auwjong menyisipkan daftar buku-buku terbitan para penerbit kelas dunia yang dapat dipilih oleh para narapidana politik itu sesuka mereka.  Bagi tahanan politik sekelas Roem dan kawan-kawan buku adalah makanan rohani.  Maka tawaran Auwjong benar-benar anugerah tak disangka.  Segera setelah judul-judul buku dipilih, Auwjong segera mengirimkan sesuai daftar.  Sejak saat itu terjalin persahabatan hangat antara Mohammad Roem dan Auwjong Peng Koen.

Mohtar Lubis pun dalam tulisannya untuk mengenang Auwjong menyebutkan selama dalam tahanan selain mengirim buku-buku Auwjong juga tak segan-segan memperhatikan keluarga para tahanan.  Pun, saat korannya Indonesia Raya dibredel, Auwjong menanyakan bantuan apa yang diperlukan dan berusaha menampung para karyawan koran itu dalam Star Weekly.


Lain lagi dengan Arief Budiman, saat ditahan Kopkamtib di tahun 1972 dan rumahnya dikelilingi intel.  Auwjong tanpa gentar datang ke rumahnya bertemu Leila istri Arief untuk memberi bantuan.  Auwjong pun terang-terangan mengantar konsumsi untuk para mahasiswa yang menginap di Mabak karena memprotes penahanan Arief Budiman.  Dalam rubrik Kompasiana Auwjong menulis perlakuan tidak manusiawi yang diterima Arief Budiman dan keluarganya.

Kawan-kawannya mengingat Auwjong sebagai orang yang kaku, jarang bercanda, pekerja keras dan kutu buku namun seorang yang setia kawan dan tak ragu-ragu membela hal yang dianggap benar walaupun harus berhadapan dengan penguasa.  Begitu sampai kantor Auwjong langsung mengetik tanpa merasa perlu berbasa basi dengan karyawan lainnya.  

Para karyawannya mengingat Auwjong sebagai orang yang penuh perhatian terhadap bawahan walaupun keras dan kaku.  Tanpa ragu ia menyediakan mobil opletnya menjadi antar jemput karyawan yang rumahnya searah.
Berasal dari keluarga yang lumayan tingkat ekonominya, lulusan  Hollandsche Chinnesche Kweekschool, sekolah khusus untuk warga Cina yang ingin menjadi guru memang pernah menjadi guru.   Walau sempat menjadi guru, namun rupanya Auwjong memilih menjadi jurnalis.

Ia menjadi kontributor untuk harian Keng Po dan Star Weekly Namun Keng Po akhirnya dibredel dan Khoe Woen Soe bersama Injo Beng Goat, dua pemimpin Keng Po sekaligus Star Weekly menunjuk Auwjong sebagai pemimpin redaksi Star Weekly.  Namun gara-gara kolom "Tinjauan Luar Negeri" yang dianggap berseberangan dengan pemerintah pada masa itu maka Star Weekly pun bernasib sama.  Nama Auwjong otomatis masuk dalam list orang yang tidak disukai pemerintah

Auwjong bersama para pemimpin harian lainnya berjuang agar para karyawan tidak perlu di-PHK dengan mendirikan percetakan buku.  Namun musibah susul menyusul, sahabatnya Injo Beng Goat meninggal. 

Namun keberuntungan juga menaungi bisnis Auwjong dan kawan-kawang, majalah hiburan yang didirikan bersamaan dengan Star Weekly yaitu Varia cukup disukai publik, begitu pula dengan Intisari yang diterbitkan dua tahun setelah kematian Star Weekly. 

Tahun 1965 menjadi tahun penting bagi Auwjong.  Frans Seda, bekas Menteri Perkebunan di era Soekarno mencatat; pengaruh PKI yang meluas mengkhawatirkan pihak Angkatan Darat.  Jenderal Ahmad Yani meminta kalangan Katolik untuk menerbitkan surat kabar untuk menandingi Harian Rakyat yang berafiliasi dengan PKI.

Sebenarnya ide itu nyaris mustahil jika Frans Seda tidak bertemu Auwjong dan rekannya Jakob Oetama.  Singkatnya dari pertemuan tercetus untuk menerbitkan harian Bentara Rakyat.  Soekarno memberi lampu hijau bahkan memberi nama lain; Kompas. Nama itulah yang akhirnya dipakai.  Namun lagi-lagi nama Auwjong harus disembunyikan dari dewan pimpinan karena masih ditabukan.

Ternyata restu dari Soekarno belum cukup mengingat aparatur perijinan dikuasai PKI.  Ada syarat yang tampaknya mustahil dipenuhi: Harus ada bukti bahwa Kompas sudah mempunyai langganan paling sedikit 3.000 orang.

Frans Seda adalah tokoh ternama di Flores dan pemimpin Partai Katolik yang sangat dihargai.  Menghadapi syarat itu ia segera menghubungi para anggota partai di Flores untuk membantu kesulitan ini.  Dengan cepat terkumpul 3.000 calon pelanggan lengkap dengan alamat.

Strategi yang digunakan untuk menarik perhatian pembaca adalah merekrut para jurnalis yang masih muda yang masih belum terafiliasi dengan partai manapun.  Kesegaran ini mampu membuat Kompas menjadi penyeimbang dari surat kabar-surat kabar lain yang sudah panas dengan berita politik.

Kompas lahir 3 bulan sebelum G30S, adalah kecermatan para anggota redaksi yang masih muda-muda itu untuk tidak memuat pernyataan setia kepada pemimpin gerakan penyelamatan Presiden Soekarno.  Kompas selamat. Namun tak lama tahun 1966 Auwjong harus merelakan kepergian mentor sekaligus sahabatnya Khoe Woen Soe untuk selama-lamanya

Auwjong berkeras bahwa kesejahteraan karyawan harus diutamakan.  Beragam tunjangan seperti tunjangan cuti, transportasi, sekolah anak, perumahan, beras bahkan jas hujan dan susu untuk bayi diberikan untuk karyawan Kompas dan Instisari.  Gaji karyawan harus cukup agar tidak menerima suap, begitu Auwjong selalu menegaskan.

LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen) pernah mengusulkan pada Auwjong untuk menghapus saja tunjangan-tunjangan itu karena tidak praktis dan dianggap pemborosan.  Auwjong serta merta menolak.

Auwjong membeli kompleks rumah peristirahatan di Pacet untuk digunakan oleh karyawannya.  Dari bos sampai supir diperbolehkan memakai rumah peristirahatan itu.

Dibalik semua kemurahan hatinya pada karyawan, sebenarnya Auwjong menerapkan manajemen rasional.  Tidak boleh ada pengeluaran yang tidak tercatat.  Semua harus jelas pemakaiannya.  Sebagai pimpinan perusahaan, Auwjong selalu membayar pinjaman bank tepat waktu bahkan berusaha melunasinya sekaligus.

Kompas makin berkembang menjadi yang teratas, namun musibah pembreidelan juga melanda surat kabar beroplah terbesar itu.  Tahun 1978, para mahasiswa ITB membuat pernyataan menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden. Kompas terbitan 20 Januari 1978 dalam kolom Tajuk Rencana mengulas gerakan mahasiswa ini.  Tanggal 21 Januari Kompas dibredel.  6 Februari 1978 Kompas diijinkan terbit kembali dengan sejumlah syarat.  

Auwjong yang berhati lurus tentu saja berat menerima syarat itu namun Jakob berpandangan lain.  Syarat-syarat itu masih bisa disiasati asalkan tidak menggadaikan nurani.  Akhirnya Auwjong setuju.

Pembredelan yang berkali-kali dihadapi Auwjong memacunya untuk lebih memperhatikan diversifikasi usaha agar karyawannya tidak keteteran jika musibah itu tak dapat dihindari.  Muncullah Gramedia sebagai induk menaungi beberapa usaha.  

"Pak Auwjong menunggu supir-supir perusahaannya dapat rumah dulu baru setelah itu beliau punya rumah"  demikian kisah Kusnadi, mantan supir Auwjong.

Auwjong tidak melulu berkutat pada bisnis.  Tercatat Taman Ismail Marzuki, Perkumpulan Candra Naya, Baperki, Yayasan Obor, Majalah Sastra Horison dan masih banyak lagi lembaga yang dibantu oleh Auwjong.

Auwjong Peng Koen mengubah namanya menjadi Petrus Kanisius Ojong.  Sumbangannya yang tak terkira untuk dunia jurnalistik dan kesenian Indonesia.  Seperti halnya orang baik, ia meninggal dengan tenang seakan sedang tidur di rumahnya menjelang usianya yang ke 60 tahun.

Sepeninggal PK Oyong tinggallah Jakob Oetama dibantu oleh para jurnalis senior mengemudikan Gramedia group menempuh putaran masa.  Falsafah perusahaan yang sempat diselesaikan  oleh Auwjong menjadi pedoman perusahaan ini dalam menjalankan bisnisnya.
 

Tidak ada komentar: