26 Maret 2015

Sikap para Sikep

"Baru kali ini punya anak buah wong Samin" begitu kata atasan saya saat kami sedang membicarakan salah satu anak buahnya yang memang rada-rada.

Saya hanya nyengir, kata-kata "wong Samin" itu memang berkonotasi orang yang sifatnya ndablek, kenthir pokoknya yang ngeselin sekaligus menggelikan.  Misalnya kata atasan saya lagi, orang Samin itu kalau diminta manasin motor, ya motornya dijemur di bawah matahari.

Kayak begitu? entah kalau lelucon soal manasin motor jadinya menjemur sih tidak tahu.

Yang saya tahu sikap masyarakat Samin dilandasi oleh alasan yang sama sekali tidak sederhana. Menurut KH. Mustofa Bisri dalam pengantar di buku SAMIN, MISTISME PETANI DI TENGAH PERGOLAKAN, Orang Samin melakukan perlawanan dengan cara yang unik, tidak dengan kekerasan tapi membangkang.  Ibarat permainan teka teki yang kadang menjungkirbalikkan logika.

Gerakan Samin lahir di tengah kesengsaraan akibat cengkeraman pemerintah kolonial, masyarakat melihat dan merasakan tatanan hidup yang semakin jungkir balik.

Kekuasaan bukanlah milik para raja Jawa tapi diambil alih oleh orang bule.  Perlawanan bersenjata yang bersifat sporadis ternyata tidak mampu mengalahkan penjajah.  Perang Diponegoro yang panjang telah menguras habis energi rakyat Jawa dan tetap berakhir dengan kekalahan sang pangeran yang dianggap sebagai Eru Cokro.

Di sisi lain pemerintah kolonial menerapkan pajak-pajak baru yang kian memberatkan, kepemilikan tanah yang bukan lagi komunal melainkan dihitung sebagai milik individu sebagai obyek pajak dan apabila penduduk tidak bisa menunjukkan bukti
kepemilikan atas tanah tersebut, maka pemerintah berhak mengklaim tanah tersebut.  Aturan tersebut sangat merugikan para petani yang selama ini terbiasa menetapkan batas-batas tanah milik berdasarkan rasa saling percaya.

Di Randublatung, Blora muncul Raden Kohar yang mengembangkan ajaran kebatinan dengan ajaran yang sangat sederhana, laporan tentang gerakan itu muncul pada tahun 1905.  Prinsip ajarannya bisa diwakili dengan kalimat Wong Sikep weruh teke dhewe, Orang Sikep tahu miliknya sendiri.

Mereka mulai menolak membayar pajak, tapi tidak ada perlawanan bersenjata, lebih kepada ngeyel dan kalaupun pemerintah menyita harta mereka, tidak akan ada resistensi, namun mereka akan mengulangi sikapnya sehingga membuat pemerintah kewalahan.

Perlahan-lahan para pengikut Raden Kohar yang dikenal sebagai Samin Surosentiko memisahkan diri dari penduduk desa dan menjalankan aturan-aturan moral yang terbilang ketat.  Namun para wong Samin demikian mereka dikenal tidak pernah menolak bila diminta bantuan oleh warga desa sekitar.  Ajaran Samin mulai dikenal di daerah sekitar Blora dan Bojonegoro.

Samin Surosentiko dianggap oleh para pengikutnya mempunyai kekuatan mistik sehingga ajarannya diikuti oleh pendukungnya.  Yang unik pembangkangan mereka dijaga hanya berada di wilayah privat.  Begitu pun dengan ajaran-ajaran Samin, tidak ada ajaran yang bersifat tertulis yang ada hanyalah lisan, nampaknya disesuaikan dengan kondisi para petani yang kebanyakan buta huruf.

Ajaran Samin selain tentang moral tandingan sebagai perlawanan terhadap merosotnya kualitas moral di jaman yang dikatakan sebagai kalabendu ini juga berbicara tentang kedatangan sang ratu adil yang dipercaya akan mengusir orang-orang asing dari tanah mereka.

Angger-anger pratikel atau hukum tindak tanduk yang harus dipegang teguh oleh wong Samin adalah: aja drengki, srei, tukar padu, dahpen dan kemeren (jangan dengki, serakah, berdebat dg kasar, menuduh, iri).
Aja kutil, jumput, mbedhog, colong, nemu wae disimpangi (jangan mengutil, mengambil, merampok atau memalak, mengambil barang temuan pun harus dihindari).

Bahkan di beberapa daerah menerapkan beberapa larangan tambahan seperti: dagang, kulak, mblantik, mbakul, nganakna dhuwit emoh, bujuk, apus, akal, krenah, ngampungi pernah aja dilakoni (berdagang, kulak, menjadi makelar, berjualan, membungakan uang, merayu, berbohong, bersiasat, menelikung jangan dijalani).

Saat diinterogasi, Samin menjawab pertanyaan dengan logika yang membingungkan si penanya. Keluwesan dalam menjawab dengan arti ganda itulah yang membuat para pengikut Samin dikenal sampai sekarang.

Samin ditangkap tahun 1907 dan diasingkan ke Sawahlunto sampai meninggal di tahun 1914. Sepeninggal Samin, murid-muridnya mengembangkan ajarannya dengan pengembangan di sana sini. Walaupun pokok ajarannya masih tetap sama. Mereka bersikap pasif terhadap aturan pemerintah, tidak membangkang tapi juga tidak melaksanakan.

Kepasifan mereka berlanjut sampai Indonesia merdeka.  Namun di tahun 60-an seorang tokoh Samin, Surokarto Kamidin menemui presiden Soekarno dan mendapat penjelasan tentang kemerdekaan dan sepulangnya dari Jakarta ia meminta keluarganya untuk taat pada pemerintah karena yang sekarang pemimpinnya bangsa Indonesia sendiri.

Namun pasca G30S, seorang tokoh yang mengaku pengikut Samin dituduh oleh tentara sebagai pengikut komunis sehingga menimbulkan kecurigaan militer terhadap wong Samin.  Kecurigaan itu menempatkan masyarakat Samin dalam titik fokus pengawasan aparat sehingga mereka kembali ke sifat pasif sesuai gerakan awal.  Situasi berubah pasca runtuhnya orde baru, orang luar mulai sering berkunjung di daerah mereka dan warga Samin pun mulai membuka diri.  Bahkan tokoh-tokoh wong Samin mempercayakan anak-anak mereka untuk dididik di sekolah umum.

Masyarakat Samin adalah masyarakat petani. Berdagang adalah kegiatan terlarang bagi mereka, begitu pun dengan membungakan uang yang identik dengan pengusaha Tionghoa.
Tanah bagi mereka adalah sumber kehidupan, sumber ketahanan pangan.  Sesuatu yang telat disadari oleh orang-orang yang hidup di jaman sekarang.

Dengan kesederhanaan, justru ajaran Samin bisa bertahan sampai sekarang walaupum tidak dapat dipungkiri, imbas kehidupan modern yang konsumtif mulai merembes dalam sendi-sendi terkecil masyarakatnya.

Mbah Sampir, salah satu sesepuh masyarakat wong Sikep di Sukolilo menggolongkan orang-orang yang masih menjalankan ajaran Samin secara murni sebagai Samin Dlejet.  Namun semakin sulit mencari kelompok tersebut.  

Tak semua tokoh Samin merasa pesimis dengan kehidupan modern.  Yang lebih muda memandang masa depan dengan kesadaran akan ada tradisi yang ditinggalkan, namun yang berguna tetap masih bisa dipakai.

Keeksklusifan kelompok perlahan hilang.  Kini mereka berani masuk ke hal-hal yang lebih luas. Seperti dalam film dokumenter terbaru buatan Watchdog yang mengangkat issue penolakan masyarakat terhadap pembangunan pabrik semen di wilayah pegunungan Kendeng, Rembang yang merupakan daerah penyimpan air.

Yang menarik adalah masyarakat Samin turut berpartisipasi aktif dalam perlawanan tersebut, terlihat dari judul film dokumenter: SAMIN vs SEMEN.  Dalam film tersebut masyarakat Samin menegaskan identitas mereka sebagai wong Sikep, masyarakat petani, pemilik tanah yang meyakini tanah adalah hidup mereka.

Perlawanan yang mereka gelar seperti mengulang sejarah awal gerakan saat Samin Surosentiko masih hidup, hanya saja kini mereka aktif bersuara.  Kembalinya wong Samin ke tengah dinamika sosial mengisyaratkan bahwa ada yang tidak beres dengan para pembuat kebijakan di daerah yang bisa jadi berasal dari pusat.




Tidak ada komentar: