06 April 2015

Sekali Lagi Banten: Dari Kacamata Filologi

Laki-laki bertubuh kurus dengan kulit gelap, cambang dan brewok menghiasi wajahnya ditambah dengan rambut agak gondrong telah menunggu saya dan rombongan di halaman museum kepurbakalaan Banten lama.  Museum ini tutup karena tanggal merah, namun sebelumnya saya sudah berkoordinasi dengan pengurus museum agar menemui pak Mulangkara, juru pelihara keraton Kaibon yang selanjutnya akan mendampingi kami ke situs-situs purbakala Banten.

Pak Yadi, demikian saya menebak orang yang direkomendasikan oleh Bantenologi Laboratorium. Setelah dekat tak sengaja saya melirik kakinya yang hanya memakai sendal lusuh.  Orang ini ahli filologi, seorang filolog demikian saya mengingat pesan dari pak Ayatullah dari Bantenologi, berusaha menghapus keraguan sesaat.

Di bawah pohon Bidara

Tergesa-gesa saya dan mbak Ratih memperkenalkan rombongan, ada yang dari Jakarta Post, Pendidikan dan Kebudayaan dan radio.

Tanpa membuang waktu pak Yadi segera membahas Banten sebagai pusat perdagangan lada di abad silam sambil menuju bekas istana Surosowan dengan menembus lapak-lapak jualan yang berderet rapat sepanjang jalan antara museum sampai masjid.


Bekas kanal di istana Surosowan

Tiga tahun yang lalu keadaannya sedikit berbeda.  Saat itu bulan puasa, tengah hari bolong dan tentu saja lapak-lapak itu kosong tidak berpenghuni.  Satu-satunya pengunjung adalah kami waktu itu.

Sampai di tengah benteng yang sebenarnya sudah kosong melompong hanya tersisa lantai dan kanal-kanal tua berbatu bata merah tak terurus dirambati tumbuhan.  Tidak ada perubahan dari kunjungan terakhir.

Kami menuju pohon rindang yang menurut pak Yadi daunnya sering digunakan untuk memandikan jenazah, pohon Bidara kah namanya? Tatkala dipetik daunnya memang tidak berbau apapun, tapi daun itu berfungsi mengurangi bau pada jenazah.  Ada dua remaja lain jenis yang sedang duduk berduaan di bawah pohon tersebut.  Yang remaja putri bahkan berjilbab..ckckck...

Di bawah naungan pohon itulah pak Yadi dan sejarawan JJ Rizal berganti-ganti menjelaskan sesuai bidang ilmu masing-masing.

Dinding benteng yang dulunya mengelilingi ibu kota panjangnya sekitar 2 km, merupakan benteng terpanjang jika masih ada.  Tembok benteng Batavia saja hanya seluas 1.6 km x 1 km.

Lada hitam yang merupakan komoditi utama Banten yang dijual di bandar pelabuhan merupakan emas hitam pada masa itu.  Lada menjadi penggerak ekonomi kerajaan Banten tapi lada pula yang akhirnya berperan menjadi awal runtuhnya kerajaan kosmopolitan abad 16 ini.  Tercatat dalam buku-buku bahwa lada ditanam besar-besaran demi keuntungan yang melimpah.

Pagar aneh, tidak nyambung dengan benteng

Penanaman dilakukan ini tanpa memperhatikan lagi keseimbangan ekologi.  Tanaman lada dikenal sebagai tumbuhan yang mampu menguras persediaan air tanah selain pohon sawit.  Meurut pak Yadi satu untai akar pohon lada mampu menyerap satu ember air dalam semalam.  Tak heran tanah-tanah di wilayah Banten menjadi tandus.

Lada juga menciptakan konflik antar keluarga dan pejabat kerajaan.  Satu pihak menginginkan perdagangan bebas tanpa kontrol, semua diatur oleh modal asing dalam hal ini VOC.  Pihak lain menginginkan perdagangan lada diatur oleh negara dalam hal ini pejabat kerajaan.  Perbedaan pandangan tersebut akhirnya menuju pada tindak kekerasan yang berujung pada kematian Mangkubumi yang menjadi wali Sultan Abu Al Mufakhir.

Pngunjung makam Maulana Hasanudin

Tewasnya Mangkubumi memicu perang yang kemudian disebut Pailir (1608-1609). Akhir dari perang ini diselesaikan berkat campur tangan pangeran Jayakarta.  Para pangeran pemberontak dibawa dari Banten.  Pihak yang menang mengangkat Pangeran Ranamanggala sebagai wali Sultan.

Di bawah pimpinan wali sultan inilah tata kelola penanaman lada diatur kembali.  Pihak kesultanan memegang penuh wewenang perijinan perdagangan lada.

Pemandangan kanal kini dari Jembatan Rantai

Ini peristiwa Pailir yang diceritakan kembali oleh media Banten Hits:

"Dalam rubrik Historia kali ini, redaksi Banten Hits.com akan menceritakan peristiwa perang saudara di Banten yang dikenal dengan sebutan "Pailir", yang secara harfiah berarti "peristiwa pelabuhan", atau "pemberontakan di pelabuhan". Seluruh tulisan bersumber dari Buku Banten; Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, karya Claude Guillot.

Peritiwa perang saudara "Pailir" meletus setelah Pangeran Chamarra dibunuh. Pembunuhan dilakukan oleh kelompok ponggawa yang berkeinginan untuk mendudukan wali raja yang setia kepada mereka. Kelompok ponggawa memilih Pangeran Kulon yang memihak mereka lalu melakukan penyergapan terhadap Pangeran Chamarra pada tanggal 23 Oktober 1608.

Dalam penyergapan tersebut Pangeran Chamarra dan juru tulisnya tewas terbunuh. Dalam "Sajarah Banten" (Pupuh XXVI) dan John Saris (Purchas, Hit Pilgrimes, I, hlm.338) dituliskan, peristiwa pembunuhan terhadap wali raja terjadi pada pagi-pagi. Pembunuhan dilakukan oleh kelompok ponggawa, syahbandar, laksmana, Kyai Dipati Yudanegara, dll..

Wali raja yang terluka di bagian kepala akibat penyergapan itu, sempat berhasil melarikan diri dan meminta perlindungan kepada Kyai Fekih yang meminta kepada kelompok penyerang supaya nyawa wali raja diselamatkan. Namun sikap para penyerang tak bergeming. Mereka kemudian membunuh wali raja Pangeran Chamarra.

Pembunuhan yang dilakukan kelompok ponggawa ini, ternyata didalangi sepenuhnya oleh kelompok pangeran, khususnya pimpinan mereka yang baru, Pangeran Ranamanggala. Pangeran ini merupakan saudara laki-laki Maulana Muhamad, yang kemudian menduduki jabatan wali raja pada hari itu juga.

Para ponggawa sadar bahwa mereka telah dimanipulasi dan mereka akan lebih banyak dirugikan oleh wali raja yang baru daripada wali raja yang lama. Inilah yang kemudian melatarbelakangi terjadinya perang saudara "Pailir". Perang saudara ini berlangsung lebih kurang selama empat bulan.

Para ponggawa, tumenggung, syahbandar, seorang Keling lainnya yang dipanggil Andamohi Keling, dan beberapa orang lagi membuat benteng pertahanan di sekeliling pelabuhan ke mana mereka mengundurkan diri bersama Pangeran Kulon yang telah mereka pilih sebagai calon mereka untuk kewalirajaan.

bertekad agar kemenangan tak lepas dari tangan, mereka tak ragu-ragu membunuh salah seorang pengikut mereka bersama keluarganya, yakni mantan syahbandar Kiayi Wijayamanggala yang saat itu berusaha melarikan diri dengan perahu bersama keluarganya.

Di dalam kota berbenteng, para pangeran membentuk barak lain dengan dikepalai oleh Pangeran Ranamanggala dan Pangeran Gabang, juga saudara laki-laki almarhum raja lainnya.

Peristiwa berdarah diceritakan berlangsung tak seimbang karena para pangeran memiliki kebiasaan berperang dibanding dengan kelompok ponggawa. Meski pimpinan kelompok ponggawa, Pangeran Kulon berhasil merebut meriam sakti "Ki Jejaka Tua", namun kelompok ponggawa akhirnya harus mengakui keunggulan kelompok pangeran. Dua pimpinan "tentara" kelompok ponggawa terbunuh dalam peristiwa tersebut.

Akhirnya, akibat kekalahan itu, kelompok ponggawa harus mau berunding dan menyerah dengan cara terhormat...."

Ada yang unik dalam peperangan ini menurut pak Yadi, ternyata para prajurit yang juga adalah penduduk kota memiliki hukum-hukum tersendiri.  Misalnya bulan November sampai April adalah musim tanam, jadi tidak akan ada perang.  Karena mereka semua akan sibuk menanam di sawah.

Bangunan di Pecinan yang tersisa

Lalu dalam aturan hukum kesultanan tahun 1585 sudah ada sanksi bagi perokok, hukuman kerja paksa mengangkut batu karang untuk benteng..hahahah.  Bagi koruptor hukumannya kerja tanpa gaji.  Begitu pun untuk para hidung belang.

Pada jaman sultan Ageng Tirtayasa, walaupun fokusnya pada pertanian sebagai sarana ketahanan pangan, namun armada perdagangan diperkuat.  Sultan ini pula yang memerintahkan penduduk untuk menanam pohon kelapa di pesisir untuk memperkuat daya dukung pantai, pohon beringin dan kenari untuk menjaga asupan air.

Tembok Spelwijck

Sultan ini pula merupakan benteng terakhir melawan cengkeraman VOC.

Dari naskah-naskah kuno, pak Yadi sebagai filolog membagi kisah tentang armada kapal kenegaraan kesultanan Banten yang terdiri dari orang-orang Eropa dan Cina, misalnya Nahkoda kapalnya yang orang Belanda, para pendayung dari Bengal. Tentang lawatan duta besar kerajaan ke kerajaan Inggris.

Memasuki lorong-lorong Spelwijck

Kemegahan dan kecanggihan kesultanan Banten masa lalu sangat kontras dengan tempat kami berdiri kini, di bekas puing-puing istana Surosowan yang dibakar dua kali..Yang terakhir di tahun 1813 dibumihanguskan atas perintah Daendels merupakan pamungkas riwayat keraton ini.

Kami meninggalkan istana Surosowan yang di gerbangnya ditambahkan pintu pagar besi.  Agak aneh desain pintu yang tidak nyambung dengan keseluruhan bentuk tembok benteng. 

Untung ada sinar matahari yang tembus


Melewati jalan sepanjang mesjid Banten yang dipenuhi para pedagang, bercampur dengan para peziarah.  Rombongan kami terlihat berbeda, mudah dikenali jika kami adalah kaum sekuler dari Jakarta terlihat dari cara berpakaian kami dan gaya kami bicara.  Baju koko dan jilbab panjang dikenakan oleh para peziarah, sedangkan kami? saya sendiri mengenakan celana hitam stretch dengan kaus lengan panjang ditambah topi dan ransel serta kamera, yang lain ada yang mengenakan celana selutut dengan kaus layaknya para pelancong.

Dari atas benteng Spelwijck ini laut kelihatan

Ke Pecinan lah langkah kami diarahkan, panas yang mendera membuat kepala pening. Melewati antrian orang yang akan berziarah ke makam sultan Maulana Hasanudin, singgah sebentar di jembatan angkat kuno warisan masa kesultanan yang terpotong karena besi baja yang menjadi tali pengangkat telah putus, hanya tersisa bentuk struktur jembatan yang kokoh dengan sungai kecil kumuh di bawahnya.  Tak jauh dari jembatan ini telah dibangun jembatan baru dari beton.

Setelah berjalan beberapa lama, melewati rel kereta akhirnya sampai juga di sepotong jalan dengan bangunan berfasad Tionghoa berdiri tegak seakan menunggu kepedulian semua orang yang melihatnya.  Kondisi fisik bangunan kuno ini tak terurus dengan potongan iklan sabun cuci bergantungan di sisi atap teras.

Vihara Avalokiteswara

Bangunan ini tampaknya menjadi satu-satunya penanda pemukiman Tionghoa di masa lalu. Bila diteruskan berjalan ke arah kiri akan menuju benteng Spelwijck dan vihara Avalokiteswara.  Jadi kita memang mengelilingi situs Banten lama.  Dalam perjalanan, pak Yadi mengeluarkan selembar kain batik dan melilitkannya di kepala.  Kenapa dandanannya jadi mirip Sunan Kalijaga ya..hahahahh.

Kami menepi sebentar di sebuah warung di depan benteng Spelwijck dan di samping vihara sekedar menyejukkan tenggorokan yang kering kerontang sekaligus mampir juga ke vihara untuk cuci muka, foto dan buang air kecil.  Ternyata vihara Avalokiteswara ini lebih besar dibanding vihara-vihara di Bogor dan Jakarta.

Kerkhof

Setelah itu menyeberang sungai kecil menuju Spelwijck.  Benteng Spelwijck sendiri kondisinya tak jauh berbeda dari sejak saya singgahi 3 tahun yang lalu, tetap tak terurus.  Dari atas benteng bisa dilihat pantai, memang itulah fungsi benteng ini pada masa kesultanan, untuk mengawasi laut.  Masih ada ruangan bawah berupa lorong-lorong sempit berkelok yang berakhir pada ruangan gelap dan lembab. Tak jauh dari tembok benteng terdapat Kerkhof atau kuburan Belanda. 

Mengulang cerita lama, kali ini pak Yadi yang mengungkapkan keresahannya atas ketidakpedulian pemda Banten terhadap aset-aset tak ternilai ini.  Pertentangan internal keluarga kerajaan atau mungkin yang sekedar mengaku-aku pun ternyata turut andil mengancam keberlangsungan situs.

Pelabuhan Karangantu, bekas pelabuhan internasional

Iseng-iseng saya menanyakan ikhwal Ngabehi Cakradana, seorang Cina yang merupakan arsitek kepercayaan Sultan Ageng Tirtayasa.  Pak Yadi membenarkan, Cakradana memang orang yang diserahkan mengelola pelabuhan sebagai Syahbandar pada awalnya lalu mendesain pemukiman orang Tionghoa, benteng pertahanan yang berbentuk zig zag dan jembatan rantai yang tadi kita lihat.

Mas Tiknyo, yang dikenal dengan nama Tekno Bolang, videografer trip ini nampak sibuk merekam dan memotret semua bentuk bangunan.  Ia nampak santai memanggul semua peralatan video, mulai dari kamera sampai rel-nya.  Karena tugasnya ini ia kerap tertinggal rombongan,

Kecantikan pilar keraton Kaibon

Selesai dari Spelwijck dan Kerkhof, kami berjalan kembali ke museum untuk naik mobil menuju keraton Kaibaon namun akan singgah lebih dulu ke pelabuhan Karangantu yang dulunya merupakan pelabuhan internasional bersama dengan pelabuhan Cigidik dan Tanjung Pukat.  

Dengan sistem administrasi yang rapi, pihak kesultanan mengatur tata laksana operasi ketiga pelabuhan tersebut.  Misalnya bongkar muat komoditi di pelabuhan A, ambil pembayaran di lokasi B, untuk kapal asing harus masuk pelabuhan C.

Dari depan disambut bangunan seperti ini di Kaibon

Sekarang pelabuhan Karangantu tak lebih dari pelabuhan lokal, tempat kapal-kapal nelayan bersandar.  Kapal-kapal itu bersandar dengan rapi di dermaga.  Tak jarang tali-tali jemuran bergelantungan di dek. Sementara para pemancing dari luar kota mulai berdatangan.

Langit yang tadi cerah kini mulai gelap bertabir mendung.  Melihat itu kami bergegas masuk mobil menuju Keraton Kaibon.

Jalan masuk Kaibon, adalah jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil.  Keraton ini relatif lebih terpelihara, terlihat dari rumputnya yang terpangkas rata.  Saat kami datang sedang ada pemotretan pre wed.

Di depan gerbang Bentar,  ada sungai kecil yang dulunya menghubungkan masing-masing istana.  Ada pohon beringin tua yang menaungi sungai tersebut, adem deh.  Memang istana-istana Banten dikelilingi oleh kanal-kanal yang terbilang canggih.

Gerbang istana Kaibon di depan kanal
Bentuk pendopo mengingatkan pada candi Ratu Boko di Yogya.  Bisa dibayangkan kalau ada sunset, pasti keren viewnya.  Ada kambing yang sedang bermain-main di sekitar gerbang paduraksa

Tidak diketahui siapa arsitek Keraton Kaibon ini, yang pasti keraton ini jauh lebih muda umurnya dibanding Surosowan dan dihancurkan oleh Belanda pada jaman Daendels.

Saya melihat sekeliling, mencoba mencari perubahan dari waktu berkunjung terakhir itu.  Tidak ada ada perubahan apa pun.  Masih tetap sama.  Pak Yadi mengeluarkan lagi jurus-jurus keilmuannya.  Di tengah reruntuhan batu bata kuno, ia mengungkapkan hasil penelitian dari Korea, bahwa orang yang tinggal di bangunan beton akan lebih rakus nafsunya dibanding orang yang tinggal di bangunan bata.  Kami yang hadir manggut-manggut mencoba membayangkan kerakusan orang-orang yang tinggal di bangunan beton, ya kami termasuk dong.

Kelar dari semua situs itu, tentu saja makan siang, yang telat sekali.  Menunya adalah menu bangsawan Banten: Rabeg, nasi sumsum, tumis tangkil plus sayuran...asoyyyy.

Masih belum puas, saya masih menodong pak Yadi dengan sejumlah pertanyaan selama makan.  Begitu pula teman-teman yang lain.  Ada yang mengerubungi mas JJ Rizal yang asyik dengan sejarahnya.

Dari samping

Sayang kami harus berpisah, pak Yadi kembali ke Serang, kebetulan resto tempat kami makan sudah di wilayah Serang dan tak jauh dari tempat tinggalnya.  Kami sendiri kembali ke Jakarta.

Satu hal yang saya sadari, Banten sama sekali tidak kekurangan cendekiawan.  Contohnya para ahli dari Bantenologi yang mendedikasikan sebagian besar dari waktu mereka untuk meneliti naskah kuno dan menulis jurnal-jurnal laporan terbaru tentang perkembangan sejarah Banten.  Tinggal pemerintahnya yang harus mampu memanfaatkan tenaga-tenaga ahli ini.

Sampai jumpa lagi Banten, semoga jika kami kembali ke sini sudah ada perhatian terhadap situs-situs arkeologi di sana.  Selamat berjuang pak Yadi dan juga segenap divisi Bantenologi.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sayang banget bangunan di pecinan itu yg kotor tak terawat padahal itu peninggalan sejarah :-(