07 Maret 2015

Tak Kenal Tunduk: Liber Amicorum Jusuf Ishak

Perlawanan itu tak pernah berhenti walau hampir seluruh pihak tiarap.

Melawan tidak selalu harus berwajah garang, kadang dengan senyum kegigihan itu makin tertancap.

Begitulah kiranya yang dilakukan oleh Jusuf Ishak.  Lelaki tua berkaca mata tebal yang ternyata adalah "dalang" utama terbitnya buku-buku milik Pramoedya Ananta Tour.

Mungkin hari ini tidak istimewa karena sekarang kita melihat buku-buku Pram berjejer di rak-rak toko buku.  Namun jika waktu bisa diputar ke 30 tahun yang lalu tidak bisa tidak kita harus meletakkan hormat setinggi-tingginya kepada orang ini.

Sebagai tokoh utama dunia pers jaman Soekarno, Jusuf Ishak sudah kenyang akan pahit manisnya politik.  Demikian pula saat bandul politik bergulir ke kanan.  Jusuf yang dianggap Soekarnois ditangkap dan dipenjarakan 12 tahun di penjara Salemba.


Keluar dari penjara, bukannya kapok Jusuf malah membantu Pramoedya menerbitkan naskah-naskah yang ditulisnya di Pulau Buru bersama Hasjim Rahman sahabatnya.  Cap ex tapol di KTPnya tidak menyurutkan langkah Jusuf untuk berbuat.  Pram
sendiri baru dibebaskan dari tahanan pulau Buru.  Selama di Buru ia menulis beberapa naskah yang dikoreksi dan dibaca oleh rekan-rekannya sesama tahanan.


Dengan modal pas-pasan, Jusuf menggunakan ruang kecil bekas kamar mandi di rumahnya di daerah Duren Tiga sebagai kantor.  Jusuf menyunting sendiri naskah-naskah Pram.  Bertiga, Jusuf, Hasjim dan Pram mendirikan penerbitan Hasta Mitra.

Naskah yang pertama diterbitkan adalah "Bumi Manusia".  Tentu saja pihak Hasta Mitra tidak melupakan langkah formal dalam menerbitkan buku.  Jusuf beserta Hasjim Rachman menemui Adam Malik, wakil Presiden pada masa itu dan ide penerbitan itu disambut dengan baik.

Koran Kompas pun menyuarakan dukungan dengan menerbitkan iklan Hasta Mitra pada tanggal 22 Agustus 1980.  Dalam iklan tersebut diumumkan bahwa Hasta Mitra menerbitkan BUMI MANUSIA sebagai kado ulang tahun kemerdekaan Indonesia.  

Tanggal 25 Agustus buku itu pun selesai cetak dan siap edar.  Beberapa copy langsung diberikan kepada ibu Tien Soeharto, Nelly Adam Malik dan beberapa istri pejabat serta Kejaksaan Agung.  Reaksi pertama adalah telepon dari Kadit Polkam Kejaksaan Agung yang meminta agar "Bumi Manusia" tidak diedarkan sebelum ada clearance dari pihak mereka.  Dalam ketidakpastian itu Hasta Mitra tetap menjual dan sebanyak 10 ribu copy habis dalam waktu 12 hari.  Kantor Hasta Mitra pun didatangi oleh para suruhan pejabat yang ingin membeli buku tersebut.

Namun 19 hari kemudian tekanan datang dari pihak kejaksaan yang merubah semua sambutan positif itu. Intinya "Bumi Manusia" berisi manifesto komunis dan untuk itu dilarang keras untuk diterbitkan.  Begitu juga dengan lanjutannya "Anak Segala Bangsa".

Tekanan demi tekanan tidak membuat Jusuf mundur dan tunduk, ia tetap bergerilya menerbitkan naskah-naskah Pram, sama bergairahnya dengan para mahasiswa militan yang bernafsu membaca buku-buku Pram.  Begitu pun para penerbit luar negeri yang menerbitkan buku-buku Pram dengan berbagai bahasa buahkenekatan Jusuf. 

Jusuf bahkan nekat mentip-ex tulisan ex tapol di KTPnya dan mengcopynya untuk mengurus  paspor dan visa ke luar negeri.

Yang lucu saat Jusuf diinterogasi tentang hal ikhwal buku terbitannya, di akhir sesi sang interogator secara diam-diam memuji buku tersebut dan minta 1 copy untuk dikirim ke rumah, padahal secara resmi ia baru saja menegaskan bahwa "Bumi Manusia" dilarang.

Hasta Mitra yang dikomandani Jusuf tidak pernah surut menerbitkan buku, pembredelan demi pembredelan mengakibatkan kerugian finansial yang besar.  Kejadian terbit-bredel-terbit-bredel menjadi hal yang biasa. Jusuf pun terpaksa ditahan lagi setelah dibebaskan dari Salemba kali ini gara-gara anaknya yang menjadi mahasiswa UI mengundang Pram untuk menjadi pembicara tamu dalam acara kampuns.

Keberanian Jusuf dan Hasta Mitra mendatangkan keheranan sekaligus pujian yang tiada henti.  Jusuf sendiri walau mengaku tidak lepas dari rasa takut tapi menolak untuk memperlihatkan ketakutan itu di muka penguasa.  Itulah yang menyebabkan energinya tidak pernah habis untuk tetap berjalan di koridor yang diyakininya.

Akhirnya keberanian tersebut berbuah manis, penghargaan bergengsi dari negara-negara asing dan terlebih lagi Jusuf boleh berlega hati bahwa ternyata masih banyak anak-anak muda yang menolak paksaan pola pikir ala orde baru dan bahkan gerakan-gerakan itu tumbuh sporadis bagai cendawan.

Kini karya-karya Pramoedya bisa dinikmati bebas oleh siapa saja. Hasta Mitra sekarang sudah tidak ada lagi sepeninggal Jusuf, Hasjim dan Pram.  Namun keteguhan dan keberanian para personil Hasta Mitra menjadi legenda yang tinggal di hati setiap orang yang pernah merasakan represi Soeharto dan kroninya.

Disarikan dari buku: LIBER AMICORUM, 80 TAHUN JUSUF ISHAK

Tidak ada komentar: