Buat apa punya kartu BPJS kalau tidak pernah dipakai. Begitulah pikiran yang terlintas saat ibu disarankan untuk melakukan MRI terkait dengan diagnosa low back pain. Biaya MRI yang cukup mahal, sekitar 3 juta rupiah menjadi alasan untuk itu.
Seperti biasa lebih dulu googling pengalaman orang-orang yang pernah menggunakan kartu BPJS. Kalau dibaca sih, kayaknya melelahkan deh, tapi..kita kan gak tahu sebelum mencoba.
Dimulai dari minta rujukan ke puskesmas. Puskesmas Beji yang letaknya ternyata cukup terpencil dalam artian jauh dari jalan utama, jadi angkot tidak sampai ke sana. Setelah berhenti beberapa kali untuk tanya-tanya akhirnya ketemu juga puskesmas itu.
Cukup bersih, dan banyak juga yang antri. Tapi kalo di puskesmas dibiasakan buka sendal ya, kayak bertamu..hahaha..Seperti biasa bingung dan tanya-tanya lagi lalu ambil nomer dan menyerahkan kartu BPJS menunggu panggilan. Pengunjung puskesmas kebanyakan para lansia. Malah bertemu tetangga ibu yang umurnya jauh lebih sepuh dan kalau jalan sudah bungkuk. Tapi beliau sendirian naik ojek dari rumah ke puskesmas. Ketika ditanya kemana anak-anaknya, dijawab masih pada tidur..ck..ck...bangunin aja atuh bu.
Menunggu dipanggil itu lumayan menyita waktu. Setelah dipanggil pun diberi nomor untuk antri lagi di meja rujukan. Menunggu lagi sampai dipanggil. Setelah itu maju ke meja permohonan rujukan ditanya-tanya sebentar lalu petugasnya memberikan disposisi. Selesai? belum. Kita masih harus menunggu pembuatan surat rujukan ke RSUD wilayah. Lama antrian dari awal pengambilan nomor sampai dapat surat rujukannya kira-kira 2-3 jam lah.
Setelah itu langsung ke RSUD, berhasil? tentu tidak. Sampai RSUD jam 11 siang dan sudah tidak dapat nomer pendaftaran alias sudah ditutup. Tentu saja, karena pasien RSUD Sawangan banyaknya melimpah ruah. Datang saja jam 12 malam, pasti tetap kayak pasar. Jadi harus datang pagi-pagi sekali. Habis sholat subuh langsung berangkat, demikian kata ibu saya. Ugh..glekkk!!
Untung jarak RSUD dengan rumah saya itu dekat, hanya 5-10 menit kalau bawa kendaraan sendiri. Tapi gak mungkin dong ibu saya ikut ngantri dari habis subuh. Jadi kesepakatannya habis sholat subuh saya langsung ngacir ke RSUD lalu setelah dapat nomor buru-buru jemput ibu di Depok.
Dan, iya sih besoknya selesai sholat subuh langsung terbang ambil antrian. Ternyata udah panjang saudara-saudara!!!.. Padahal baru jam 5 pagi dan pendaftaran baru dibuka jam 6 pagi, gak ada sistem pencet tombol di mesin antrian kayak di rumah sakit swasta.
Saya ikut alur antrian dan buru-buru ambil tempat di belakang seorang ibu. Jadi gini sistemnya, untuk yang pertama kali datang ke RSUD Sawangan, ikut antrian, kenalan sama depan dan belakang..terus kalo capek boleh kok melipir sebentar untuk duduk-duduk di trotoar, asal pamitan sama depan dan belakang kamu sebagai bukti kalo kamu memang antri bareng.
Ikutan antri kayak gini bikin saya lebih paham kalau hidup itu memang keras. Bagaimana tidak saat saya berbincang dengan seorang ibu yang antri di depan saya dari jam 4 pagi. Beliau penerima Jamkesnas yang artinya dari keluarga tidak mampu. Setiap bulan ia harus bolak balik ke kantor walikota memperbaharui status Jamkesnasnya. Anaknya terkena penyakit paru-paru
Ke kantor walikota berarti antri lagi lebih dari satu jam dan semua itu dijalankan dengan ikhlas. "Sudah untung dapat pengobatan gratis, mbak". Salah satu ibu yang lain menyambung, "Rumah Sakit ini bagus mbak, dokter spesialisnya lengkap." Diam-diam saya membatin, membandingkan RSUD dengan kondisi rumah sakit swasta yang nyaman. Tidak usah yang mahal macam RS Cinere atau Pondok Indah, dibandingkan RS Bhakti Yudha yang dulunya bekas RSUD pun masih kalah beberapa tingkat.
Lagi menurut ibu itu, dulunya ada mesin pengambilan nomer antrian tapi ternyata sering disalahgunakan. Banyak orang dalam RS yang sering dititipi pengambilan nomer tentunya dengan imbalan, sehingga mesin itu dicabut dan diganti dengan antrian manual. Sampai sekarang pun masih ada calo-calo untuk menggantikan pengantri.
"Tuh, itu cewek-cewek yang lagi duduk-duduk di meja itu calo, mbak" kata si ibu. Saya pun manggut-manggut. Sementara hari kian terang. Tiba-tiba orang-orang serentak berdiri, menata antrian. Rupanya para petugas rumah sakit sudah datang. Seorang petugas wanita dengan toa memberikan arahan dengan gaya kocak.
Satu persatu para pengantri masuk, mengambil nomor antrian lalu mengantri lagi menunggu loket dibuka jam 8 pagi. Setelah itu menunggu antrian dokter. Nah, saat sudah mendapat nomer dokter itulah saya bergegas menjemput ibu. Jarak RS dengan rumah ibu cukup jauh. Bolak-balik memakan waktu hampir sejam. Dan, ternyata saat tiba jam 11 siang, giliran ibu masih belum tiba :(, sedangkan ruang tunggu amatlah penuh sesak dan gerah.
Lelah dan capek saya berdiri bersandar di dinding sementara ibu duduk menyempil bersama para pengantri. Akhirnya dipanggil juga. Sang dokter, belum terlalu tua memeriksa status medik ibu saya. Menanyakan sudah berapa lama menjadi anggota BPJS.
Ini yang menarik, sempat rada tersinggung juga saat mendengar si dokter berkata bahwa banyak pemilik kartu BPJS hanya membayar sekali saat ingin mendapat layanan BPJS seperti operasi yang mahal tapi setelah itu tidak membayar lagi.
"Kan, kasihan pasien lain yang membutuhkan. Saya punya BPJS, bayar tiap bulan tapi tidak pernah saya pakai, biarlah itu menjadi subsidi silang."
Lah, memang tampang saya tampang orang yang suka mengemplang pembayaran? begitu pikir saya. Tapi akhirnya maklum juga, mungkin sebagai pembelajaran juga sih.
Selesai pemeriksaan, dokter membuat rujukan ke RS Fatmawati untuk pemeriksaan lanjutan. Tentu saja tidak bisa dilaksanakan hari itu juga mengingat sudah jam 12 siang lewat. Saya harus berangkat ngantor.... #teler.
Jadi hari berikutnya ke Fatmawati. Lagi-lagi setelah sholat subuh langsung berangkat. Di sana antriannya lebih gila lagi. Ada yang sudah mengantri dari jam 2 pagi.
Jangan lupa siapkan foto copy kartu BPJS, KTP, surat rujukan dan dokumen-dokumen dari dokter. Foto Copy yang banyak.
Karena RS Fatmawati merupakan RS rujukan dari berbagai wilayah di Jakarta Selatan dan pinggirannhya, jadi kebayangkan pasiennya sebanyak apa.
Dan saya pun berkenalan dengan beberapa ibu pengantri, ada yang anaknya terkena meningitis dan butuh terapi teratur dan dari keluarga yang kurang mampu.
Saya masuk dan mendapat antrian loket nomor 216..hihihi...lumayan lama menunggu panggilan dan ternyata berlaku sistem dulu-duluan...hayaahhh...tiba-tiba nomor antrian berubah dari 212 ke 217...loh nomer saya kok dilongkap? buru-buru saya maju, dan saya malah dinasehati oleh nomer 217,
"makanya mbak begitu udah deket nomer antriannya harus buru-buru datang ke loket biar gak disalip"...lah, Iki piye toh?
Sekali lagi modalnya sabar, pokoknya setelah itu ibu saya dapat nomer antrian dokter syaraf yaitu nomer 113 hahaha..
Tapi di RS ini dokter syarafnya ada 4 atau 5 orang kok, namun saat itu hanya ada 2 yang praktek tapi lumayan cepat. Jam satu siang selesai dan ada resep obat yang harus diambil. Jam 5 pagi sampe jam 1 siang...bwehhhhh.
Ternyata saya dapat nomer 800 sekian untuk pengambilan resep..#tepokjidat jadi diambil hari berikutnya aja deh mbak. Demikian saya putuskan, karena kalau ditunggu bisa 3 jam lagi antri.
Itu pelajaran memakai kartu BPJS pertama kali. Intinya sabar dan siapkan foto copy dokumen banyak-banyak. Untuk resep pun, apotik RS minta foto copy.
Hari berikutnya saya putuskan untuk tunai saja, pertimbangan utama toh baru sebatas dokter dan terapi jadi tidak terlalu mahal, belum sampai pada MRI. Kasian ibu jika harus terlalu lama menunggu. Yang penting saya sudah tahu cara-cara penggunaan BPJS.
Pelajaran penting, untuk pengguna BPJS mandiri, bayarlah BPJS dengan tertib, jangan cuma mau layanan tapi tidak bersedia bayar bulanan padahal kita mampu membayarnya. Dan, kita belajar memahami bahwa banyak orang yang hidupnya lebih susah namun mereka mampu bersyukur dan bersabar. PENTING ITU, untuk kita-kita kaum menengah yang merasa punya uang lebih dan merasa berhak untuk manja dan protes ini itu!!!!
1 komentar:
hahaha harus buka sendal dulu ya berarti kalo masuk puskesmas :)
Posting Komentar