14 Desember 2014

Dua dari Moloku Kie Raha: Ternate-Tidore

Hiruk pikuk kegiatan Mahakarya Indonesia yang dipunyai salah satu brand besar Indonesia telah berlalu.  Kegiatan pamungkas berupa jelajah rempah di Ternate dan Tidore bersama para blogger dan jurnalis juga telah dilakukan dan beruntung saya ikut dalam jelajah rempah tersebut.  Resminya ikut sebagai team content GELAR sedangkan yang terselubung adalah sebagai blogger. :)

Para blogger ini ditemani oleh nama-nama yang cukup terkenal buat saya sih.  Ada sejarawan JJ Rizal, Putu Fajar Arcana dari Kompas, dan Fotografer Barry Kusuma  ada lagi pegiat traveller kondang seperti Motulz.  Keren sih...

Dari Udara

Sudah lama memang saya ingin pergi ke wilayah timur Indonesia, sebagian dipicu oleh legenda rempah, sebagian lagi karena keindahan alamnya. Tuhan memang maha tahu dan niat itu pun terlaksana dengan begitu mudah.  Saya berangkat sebagai team advance, mendahului yang lain...horeee,,, bisa lebih lama jadinya.

Jadi setelah duduk di pesawat selama 6 jam yang berangkat dari Jakarta jam 2 pagi sampailah di Moloku Kie Raha, Ternate adalah satu dari Kie Raha; empat gunung Maluku.  Yang lainnya adalah Tidore, Jailolo dan Bacan.

Kalau kita buka uang kertas seribu rupiah di situ ada gambar gunung Maitara dan Tidore, dengan takjub saya melihat pemandangan tersebut di depan mata.


Istana Kesultanan Ternate

Jauh berabad di muka Kepulauan Maluku telah sohor sebagai kepulauan rempah.  Diawali oleh kedatangan Fernando Serao, orang Portugis yang tiba di Banda. Ternate yang terletak di Maluku Utara menjadi basis kekuatan Portugis mulai tahun 1512 dengan pembangunan sejumlah benteng.  Sementara Spanyol datang kemudian dan berdiam di Tidore, berhadap-hadapan dengan Portugis di Ternate.  Ibarat perjanjian Tordesillas saat Spanyol dan Portugis membagi-bagi wilayah jelajah mereka

Cengkeh menjadi salah satu komoditi utama wilayah Maluku, menjadi sumber kemakmuran bagi Portugis dan Belanda sekaligus juga kutukan bagi rakyat Maluku.  Kehancuran kerajaan, bangkitnya perlawanan dan perang yang tak berkesudahan memang diawali oleh kemaruk bangsa dari wilayah barat melihat kekayaan daerah timur.

Gunung Maitara dan Gunung Tidore yang ada di uang kerta seribu rupiah

Kalau dulu kepulauan Maluku diduduki dan dipreteli kekayaannya oleh bangsa-bangsa barat, kini saat Indonesia merdeka, kondisi dan kekayaan Maluku juga tidak lepas dari incaran saudaranya yang berada di wilayah Barat, dengan kata lain Jawa.  Lebih tegasnya lagi Jakarta.

Paling tidak itulah yang tersirat dari kalimat-kalimat Bongky Motau, kami memanggilnya bang Bongky, dari Ternate Heritage Society.  Saat menyusuri dataran tinggi Tege-Tege menuju Cengkeh Afo, beliau banyak bercerita tentang hal ihwal kehidupan masyarakat Ternate, termasuk saat peristiwa kerusuhan Ternate-Tidore belasan tahun silam.

Sisa benteng Kastela alias Nostra Senora del Rosario

Keindahan perairan Maluku utara yang terlihat dari atas pesawat dengan deretan gunung Gamalama, Maitara dan Tidore sebenarnya menyimpan persoalan pelik.  Tuah keajaiban rempah-rempah sudah lama menghilang.  Kegemilangan rempah yang menurut para sejarawan diibaratkan lebih mahal dari emas kini ibarat kisah dongeng pengantar tidur.

Saat ini Ternate masih mempunyai Sultan sebagai simbol kesultanan.  Sultan Mudaffar Syah, sultan Ternate yang ke 48.  Istana sultan Ternate awalnya terletak di Foramadiahi yang berada di tempat yang lebih tinggi dan di situlah juga makam Sultan Baabullah. 
Hari Minggu istana sekaligus museum ditutup setelah jam 12 siang karena ada ritual khusus dan terlarang bagi orang luar untuk mengikutinya.
Isi museum sendiri sebenarnya tidak begitu banyak, tercantum silsilah para sultan dimulai dari Bab Mansyur Alamo sekitar tahun 1200-an.  

Para Penari Soya Soya
Yang unik adalah kesultanan Ternate dan juga Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota, para sultan dipilih dari keluarga kerajaan oleh para bobato, semacam dewan seperti MPR.

Begitu banyak benteng untuk pulau sekecil Ternate, sisa tembok benteng yang tersebar di seantero pulau.  Adalah Nostra Senora del Rosario atau yang sekarang dikenal dengan benteng Kastela yang dibangun tahun 1522 oleh Antonio de Brito.  Nyaris tak terlihat lagi bentuk asli benteng tersebut, kecuali sisa tembok yang sudah ditumbuhi tanaman.  Di depan dibuat tugu peringatan mirip diorama gugurnya Sultan Khairun yang mencolok mata.

Terjun dari Benteng Kalamata

Benteng ini menyimpan cerita pahit bagi Baabullah.  Di benteng itulah Khairun Jamil, Sultan Ternate, ayah Baabullah dikelabui dan dibunuh oleh Portugis.  Benteng itu pula yang menjadi saksi kemenangan Baabullah atas Portugis.  Pembalasan Baabullah tak tanggung-tanggung menyebabkan Portugis angkat kaki dari Ternate di tahun 1575.  

Tari Soya soya yang dipertontonkan di benteng Kalamata, mengisahkan kemenangan Baabullah. Ditarikan oleh 5 orang lelaki dengan pakaian cerah, mereka menari dengan dinamis walaupun tata geraknya sebenarnya cukup sederhana.  Benteng Kalamata relatif masih utuh seperti halnya benteng Tolukko.  

Lorong di Benteng Tolukko

Penampilan benteng Tolukko sendiri lebih mengesankan sebagai kuil dari depan dengan susunan pot-pot besar berjajar.  Bang Bongki menunjukkan lapisan semen masa kini yang dipakai menambal jarak antara batu penyususun dinding benteng.  Letak benteng yang berada di ketinggian membuat kita bisa memandang laut lepas.

Benteng Kalamata

Kegemilangan Ternate pada masa Baabullah menguatkan bantahan, tak semua wilayah nusantara dapat dijajah.

Cerita perebutan monopoli rempah pun terus bergulir.  Keemasan Ternate berlalu seiring dengan wafatnya Baabullah.  Lalu kisah lama pun terulang, penerus sang sultan tak lagi tangguh.  Musuh pun beraliansi dan berganti.  VOC masuk dan masa gulita pun tiba.

Benteng Tolukko

Awan kelabu pun nampaknya belum mau beranjak dari Maluku utara.  Harga cengkeh kini mencapai Rp 120.000/kg tentu kalah jauh dengan harga emas.  Warga tak lagi mengandalkan cengkeh, mereka mendiversifikasinya dengan tanaman rempah lain seperti pala dan menjadi nelayan saat musim melaut tiba.

Peran distributor tetap dipegang oleh orang-orang Arab dan Tionghoa.  Hasil bumi disalurkan mereka ke Sulawesi dan Jawa.  Cengkeh asal Maluku berbaur dengan cengkeh Sulawesi memasuki pabrik-pabrik rokok dan obat di Jawa.

Walau kejayaan itu sudah memudar namun jejaknya masih kuat terekam di lidah.  Itulah yang terasa saat mampir makan di Floridas.  Rumah makan yang letaknya berhadap-hadapan dengan gunung Maitara ini menyajikan rekam jejak itu.  Gohu ikan cakalang, ulak ulak, popeda dan sayur garo, ada singkong rebus santan yang enak sekali disantap dengan ikan rica. Jangan dilupakan satu item lain yang tak kalah penting dan salah satu ciri khas Ternate, Kenari.  Banyak masakan khas Ternate yang menggunakan kenari sebagai pengganti kemiri...Sadaaap!!.

TIDORE
Matahari masih bersembunyi, saat tiba di pelabuhan Bastiong yang menurut bang Bongky adalah ujung benteng Kalamata.  Ferry ke Tidore akan berangkat jam 7 pagi.  Hanya butuh 20 menit untuk sampai ke pelabuhan Rum di Tidore. Sepanjang durasi perjalanan yang singkat itu kami terlongong-longong melihat keindahan panorama gunung-gunung api.
 
Meninggalkan pelabuhan Bastiong
Dari pelabuhan Rum menuju istana kesultanan yang terletak di Soa Sio berada di balik bukit, cukup jauh dari pelabuhan.  Laut yang menjadi halaman pulau Tidore nampak berkilat memanggil, pantai publik yang jernih mengelilingi wilayah Tidore, tidak ada yang dipagari sebagai milik swasta.

Ternyata Tidore berumur jauh lebih tua dari Ternate.  Tahun ini genap 906 tahun usianya.  Kota Soa Sio, ibu kota Tidore sempat menjadi ibu kota Irian Barat saat operasi Trikora pembebasan Irian Barat dilakukan. 

Istana Kesultanan Tidore

Begitulah cerita M. Amin Faroek, yang menyebut dirinya dengan paman.  Di istana Tidore, beberapa orang tua telah menunggu kami dengan mengenakan pakaian kebesaran mereka.  Salah seorang di antaranya mengenakan topi bundar berbulu mirip perwira Spanyol jaman dulu.  Paman adalah satu dari pejabat kesultanan Tidore.  Orang tua itu masih berapi-api berkisah tentang Tidore, tentang kejayaan dan kehormatan masa lalu.
 
Pak Husain Syah, Sultan Tidore

Paman menerima kami di serambi depan Istana yang berbentuk rumah panggung.  Para perempuan disediakan kain yang harus dipakai saat bertemu Sultan sedang para lelaki harus mengenakan celana panjang. 

KSAL Kesultanan Tidore


"Tidak pernah ada masalah SARA di Tidore.  Semua diatur oleh Jakarta.  Coba lihat bom-bom ikan itu, tidak ada orang Tidore yang punya itu.  Bagi orang Tidore, laut adalah kehidupan."

Sedikit bergetar suara pak Husain Syah saat mengucapkan kalimat-kalimat itu.  Saya tanpa sengaja menunduk, merasa tersindir, tidak tahu dengan teman yang lain.  Pak Husain Syah yang juga sultan Tidore yang ke 37 duduk di hadapan kami bersama para  pejabat kesultanan lainnya.  Dengan jelas kami mendengar suara-suara dari tanah Maluku.  Suara dari wilayah timur Indonesia.

 
Antara Ternate-Tidore
Tidore yang lengang ini juga menyimpan sejarah yang dahsyat.  Peneliti sekaligus antropolog Muridan Widjojo dalam bukunya yang berjudul Pemberontakan Nuku menuliskan perlawanan Pangeran Nuku terhadap VOC yang didukung oleh orang-orang Papua.  Kerajaan-kerajaan seperti Salawati, Misool, Waigeo dan Waigama di Raja Ampat mengakui Tidore sebagai pemimpin pada masa itu.  Saat Ternate tenggelam oleh dominasi kolonial, di Tidore, Nuku bangkit, menggandeng Inggris sebagai sekutu dan memaksa VOC dan Ternate mengakui kedudukannya sebagai Sultan Tidore yang juga dikenal sebagai Jou Barakati, orang yang diberkahi.

Perang yang dilakukan Nuku banyak dilakukan di laut, pasukannya mencegat hongi-hongi Belanda.  Menegaskan bahwa Maluku adalah negeri lautan.


Benteng-benteng yang tersisa di Tidore tidaklah sebanyak Ternate.  Hasil bumi Tidore tidak berbeda dengan Ternate.  Saat ini Tidore sedang memperjuangkan status otonomi khusus, seperti yang tertera pada spanduk di dinding Djoung Cafe, kafe kecil tempat berkumpulnya para seniman dan budayawan Tidore sekaligus tempat kami singgah sebelum ke istana Tidore.

Di Djoung Cafe ini kami berjumpa bang Im, seorang pengajar dari Universitas Nuku sekaligus juga aktivis tanah Tidore.  Dari bang Im pula kami mendapat banyak kisah tentang Tidore. 


Rasanya masih belum tuntas kami mencerna ratusan informasi yang masuk, saat mengejar ferry kembali ke Ternate dan kembali disuguhi pemandangan menakjubkan pulau dan gunung Maitara,  Namun perkataan sultan Tidore tetap terngiang-ngiang di kepala.

Perayaan kebesaran rempah-rempah itu pun ditutup dengan sajian dari kafe Thabadiku di Villa Ma'sarai.  Masakan-masakan khas dengan pemakaian ragam rempah kembali disajikan.  Yang istimewa adalah jus Thabadiku,  Terbuat dari gula merah, jahe, kayumanis dan rempah-rempah lain ditambah es batu.

Dibalik keindahannya, seperti yang diungkap oleh bang Bongky, Ternate dan mungkin Tidore menghadapi masalah klasik kota-kota yang bertumbuh yaitu ekologi.  Di Maluku maraknya tambang bisa jadi mengganggu kelestarian alam.  di Ternate sendiri sudah masuk pemain besar seperti hypermarket yang mengancam pasar tradisional.  Ada semacam gegar budaya dalam masyarakat saat hypermarket ini beroperasi sehingga masyarakat beralih dari pasar ke bangunan modern.  Begitu menurut catatan bang Bongky


Kurangnya kesadaran penduduk untuk menjaga warisan budaya mereka begitu pula dengan pemerintah kota yang terkesan belum paham dengan apa yang harus dilakukan dengan peninggalan-peninggalan bersejarah yang terserak membuat Ternate sepertinya harus melewati jalan panjang dan berliku untuk menjadi kota pusaka.

Ini tentu saja menjadi PR bagi semua pihak yang terkait, terutama dengan anak-anak muda yang tergabung dalam Ternate Heritage Society untuk lebih giat dalam mengadvokasi warga kota.

2 komentar:

Alvi Kamal mengatakan...

Halo kak.. saya dari ternate dan berdomisili disini.. terima kasihnsudah menceritakan kota kami...
btw benar loh kata Sultan tidore bagi kami laut adalah kehidupan anda harus melihat kekayaan laut kami.. namun coral-coral cantik mulai rusak...
btw enjoy Moluku kie raha ya....

Dwi Puspita mengatakan...

Subhanallah kerennya pengen juga ke Ternate dan Tidore :)