01 Maret 2009

Rumitnya sejarah


Membaca tentang sejarah Indonesia bagaikan mendulang emas di sungai, maksud saya sejarah Indonesia sebelum abad 15. Banyak informasi simpang siur yang harus dipilah pilah membingungkan untuk saya yang bukan ahli sejarah.


Berbicara tentang Indonesia atau Nusantara tentu saja bukan hanya tentang Jawa, namun harus diakui pulau ini memang memegang peranan penting dalam setiap pergerakan politik dari masa ke masa. Dinasti kerajaan yang berada di pulau ini masih tetap memegang peranan walaupun lebih cenderung ke sosial budaya.


Bila dibandingkan antara Sejarah Nusantara nya Bernard M Vleckke dengan Sejarah Indonesia Modern (1200-2008) karangan M.C. Ricklefs, keduanya mengandung beberapa persamaan pandangan. Keduanya banyak membahas pulau jawa sebagai pusat perubahan. Namun Ricklefs juga membahas perkembangan Islam di Jawa. Kabar baiknya kedua buku ini berusaha menampilkan perkembangan Nusantara seobyektif mungkin berdasarkan dokumen sahih yang tersebar dan tidak semata mata menyandarkan pada babad atau Negarakertagama.


Ada sekian banyak pertanyaan yang menggayuti selama ini; Demak, sepanjang pengetahuan kita didirikan oleh Raden Patah yang katanya adalah putra dari Raja Majapahit dengan putri Cina, namun dalam buku ini dan buku lain yang pernah saya baca dikatakan adalah seorang asing asal Cina yang bernama Cek Ko Po. Apakah maksudnya karena Raden Patah tidak berdarah murni Majapahit sehingga dikatakan sebagai orang asing.


Sama halnya dengan penobatan Kalagemet atau Jayanegara sebagai Raja Majapahit yang kabarnya tidak bisa diterima oleh kalangan istana karena darah melayu dari Ibunya, Dara Jingga.


Jika para keturunan Majapahit berebut pengaruh atas kerajaan itu, mengapa hal tersebut tidak terjadi atas Demak?...Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya setelah mengalahkan Arya Penangsang lebih suka tetap bertahta di Pajang bukan di Demak,,sehingga kerajaan itu lenyap.


Sutawijaya pun tampaknya lebih suka mendirikan kerajaan Mataram dan memutus sejarah dengan Demak dan Pajang. Bahkan terlihat Mataram lebih cenderung mengafiliasikan dirinya dengan Majapahit, kerajaan Hindu.


Apakah benar Ki Gede Pamanahan adalah keturunan Majapahit? Nampaknya legitimasi dari kerajaan kuno Majapahit memang diperlukan baik secara sah ataupun tidak.


Persekutuan Senopati dengan Nyi Rara Kidul, penguasa lelembut laut selatan pun lebih cenderung ke arah sinkretik Islam Hindu dibandingkan dengan Islam murni.


Islam memang mengajarkan keegaliteran bila dibandingkan dengan Hindu yang berkasta kasta, namun tetap tidak bisa merombak total sistem kerajaan Jawa Hindu yang cenderung menempatkan Raja sebagai pusat semesta.


Ajaran Islam pun tersinkretis dengan ajaran Hindu. Hal yang berbeda apabila kita bandingkan dengan Islam di Sumatera.


Sayang jika memang Sutawijaya ingin melegitimasikan Mataram Islamnya dengan Majapahit, ia melupakan bahwa Majapahit adalah negara maritim dengan angkatan laut yang kuat. Sementara ia mendirikan Mataram di bekas alas mentaok yang berada di pedalaman. Posisi inilah yang menyulitkan Mataram untuk mendapatkan dukungan dari para Adipati di Pesisir. Dengan hal itu Mataram harus melepaskan cengkeramannya atas daerah pesisir Jawa



Pun kegagalan serangan Sultan Agung ke Batavia sebagian besar disebabkan tidak adanya dukungan dari penguasa pesisir.


Namun letak yang berada di pedalaman bukan berarti melulu kerugian. Mataram relatif ajeg dan bisa bertahan menghadapi serangan budaya dari luar. Dalam hal ini pengaruh Islam yang relatif lebih lunak dalam menerima mistisme yang pada akhirnya menimbulkan aliran kejawen atau Islam yang kehindu hinduan.


Kebanggaan atas budaya leluhur membuat filter alami atas pengaruh asing.



Tidak ada komentar: