16 Maret 2009

Ramalan SYAHRIR


Suatu ketidaksengajaan yang menyenangkan saat membaca edisi khusus tentang Sutan Syahrir. Bulan Maret ini adalah hari jadi Bung Kecil yang ke 100 tahun jika beliau masih hidup.

Syahrir adalah Perdana Menteri pertama Indonesia sekaligus yang termuda, beliau masih berusia 36 tahun saat dilantik menjadi Perdana Menteri.

Sebagai seorang penganut sosialis, Syahrir adalah juga seorang demokrat dan juga pemegang teguh humanisme. Baginya nasionalisme jika kebablasan akan jatuh kepada totaliter, untuk itu harus ada penghormatan terhadap hak hak individu.

Namun Syahrir juga seorang pemuja wanita. Seorang putri jelita, anak dari Sultan HB VII, Nurul Qamaril sempat membuatnya terpesona walaupun harus bersaing dengan Soekarno dan Sultan HB IX. Sayang hubungan ini tidak berlanjut.

Berbeda dengan Tan Malaka yang frontal dan radikal dalam sikapnya terhadap bangsa asing, Sutan Syahrir bagaikan bisa membaca masa depan, lebih percaya bahwa diplomasi akan melancarkan tujuan bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dunia Internasional baik de facto maupun de jure. Untuk itulah ia tekun menapaki tangga diplomasi dengan pihak Belanda.

Pertemuan di Linggarjati, walaupun banyak ditentang namun harus diakui berhasil membuat PBB mengakui keberadaan Indonesia.

Pada akhir hidupnya, Syahrir harus rela tersingkir. Pembubaran Partai Sosialis Indonesia yang dipimpinnya oleh Bung Karno dan tuduhan atas keterlibatannya dalam gerakan Permesta untuk menggulingkan pemerintahan yang sah walaupun tidak pernah dapat dibuktikan membuatnya tersisih dan mendekam dalam penjara.

Sampai akhirnya takdir memanggilnya di Zurich, Swiss pada tahun 1966. Syahrir wafat dalam keterasingan.

Ternyata ramalan Syahrir menjadi kenyataan. Indonesia jatuh ke dalam pemerintahan diktator absolut atas nama nasionalisme.

Tidak ada komentar: