22 Maret 2009

Republik yang baru lahir

Saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan, Temon baru menerima kabar itu seminggu setelahnya. Ia bersama laskar tentara baru saja kembali dari hutan setelah berbulan bulan mengikuti Pak Dirman, Panglima tertinggi gerilyawan.
 
Sejenak ia tenggelam dalam haru, terbayang peperangan yang telah dilakukannya selama ini dan Irah kekasihnya yang ditinggalkan dalam tempat pengungsian jauh di Boyolali sana. 


Setelah sekian lama akhirnya tercapai juga kemerdekaan yang diimpi impikan. Ia akan memulai hidup baru bersama Irah, membangun rumah keluarganya yang hancur dibakar oleh Jepang.

Namun ia tersentak, setelah ini apa yang bisa dikerjakan,,ia tidak mempunyai sawah sepetak pun, tidak ada simpanan harta benda; jika selama ini ia bersama laskarnya bisa makan dari hutan atau sumbangan para penduduk tidak demikian halnya setelah ia menikahi Irah dan membangun keluarga.
 
Temon adalah satu dari ribuan tentara yang gamang dalam menghadapi situasi baru. Di tingkat yang lebih tinggi para komandan batalyon tentara rakyat juga dicengkam oleh masalah yang sama, apakah yang dapat mereka lakukan setelah perang usai. Banyak di antara mereka yang hanya sempat mengecap pendidikan setingkat Kokumin Gakko atau Sekolah Dasar jaman Jepang.

 
Di negara yang baru memperoleh kemerdekaannya ini dimana seluruh infrastruktur hancur lebur, administrasi kacau balau dan tingkat keamanan yang rawan dimana peperangan masih sering terjadi semua orang merasa gamang akan masa depannya sementara Soekarno, Hatta, Syahrir dan para elit politik lainnya sibuk mempertahankan proklamasi melalui diplomasi.

 
Bagi para elit politik waktu itu hanya Jawa yang ada dalam pikiran mereka, luar Jawa masih ada dalam prioritas terakhir. Daud Beureuh, Kahar Muzakar mengangkat senjata untuk memisahkan diri.

 
Dengan tingkat kemelaratan dan buta huruf yang tinggi bagaimana bayi republik ini bisa berkembang. Dari bangsa jajahan yang hanya menerima perintah mendadak harus menentukan hidupnya sendiri. 


Selama berabad abad bangsa ini menjadi budak Portugis, Belanda dan Jepang sedangkan di abad sebelumnya giliran para Raja yang menentukan nasib rakyatnya tanpa menumbuhkan kesadaran akan haknya sebagai manusia.
 
Bagaimana ribuan tentara rakyat kebingungan mencari penghidupan setelah perang, sedangkan tentara profesional sendiri terbelah antara didikan Jepang (Heiho, PETA dll) dan ex didikan Belanda, masing masing berusaha berebut pengaruh, begitu pula dengan para politikus.

 
Mereka berlomba membentuk partai walau pada akhirnya hanya ada 4 partai besar : PNI, Masyumi, Murba dan PKI. Perebutan kekuasaan itu berimbas pada kabinet yang hampir selalu jatuh bangun.

 
Di sisi lain para politisi ini tidak cakap dalam administrasi negara, Soekarno selalu merasa dikejar kejar oleh revolusi yang dianggapnya belum selesai, Hatta seorang ekonom yang lebih realistis tapi tidak berdaya untuk mencegah partnernya. Tidak heran jika terjadi pengangkatan Presiden seumur hidup dimana TNI mendukung dengan harapan pengaruh PKI dapat dihambat. Nasution dan Ahmad Yani bersitegang mengenai kebijakan Angkatan Darat, sementara Marsekal Omar Dhani mulai dapat dipengaruhi oleh Aidit.

 
Para budayawan tidak mau kalah, LEKRA dan Manikebu saling caci di koran. Harian Rakjat sebagai koran LEKRA dan Indonesia Raja pendukung Manikebu.
Dengan UUD yang tidak menjelaskan secara khusus batas jangka waktu jabatan Presiden, label Presiden seumur hidup nyaris terjadi pada penerusnya Soeharto sehingga harus diturunkan paksa melalui peristiwa Mei 1998.

 
Peristiwa demi peristiwa nyaris meluluhlantakkan negeri ini, tidak dapat disangkal bangsa ini membutuhkan seorang administrator handal agar salah urus tidak berlarut larut.

Tidak ada komentar: