05 Maret 2009

Seputar KMB

Ada artikel menarik dari koran Suara Merdeka di tahun 2003 mengenai sejumlah besar uang yang dibayarkan Indonesia pada Belanda dan ternyata itu adalah uang ganti rugi atas dinasionalisasinya sejumlah perusahaan Belanda pada tahun 1956. Total yang dibayarkan sekitar 600 juta gulden. Yang menarik ternyata uang itu dikeluarkan bukan di jaman Soekarno sebagai pelaku nasionalisasi tersebut tapi justru di jaman Soeharto di tahun 1969 dan baru lunas tahun 2003 silam.

Tentu bukan baru kali itu Belanda menuntut pembayaran dari bekas negara jajahannya. Situasi aneh ini juga pernah dialami saat Indonesia baru memperoleh pengakuan kedaulatan.

Jika kita kilas balik saat perjanjian KMB di Riderzaal, Den Haag pada bulan Desember 1949, salah satu poin dalam perjanjian itu adalah Republik Indonesia Serikat harus mengambil alih hutang Hindia Belanda. Aneh karena Indonesia harus membayar biaya yang dikeluarkan Belanda untuk menindas dirinya.

Walaupun perjanjian itu telah dibatalkan karena RIS membubarkan diri dan kembali kepada negara kesatuan, namun kabarnya Indonesia telah menyetor 4 milyar gulden. Entah apakah uang tersebut dikembalikan atau bisa dibatalkan, tidak pernah ada konfirmasi. Tapi mengingat keadaan saat itu apakah mungkin Indonesia mempunyai dana 4 milyar gulden tersebut.

Tapi besar kemungkinan uang tersebut memang tidak diserahkan mengingat RIS hanya bertahan 7 bulan dengan demikian kepakatan KMB bisa dianggap batal.

Bila pernah membaca Rahasia Medee nya Es Ito, klausul ganti rugi itulah yang menjadi pembuka dalam fiksi tersebut. Misteri kenapa delegasi Indonesia bersedia menandatangani KMB walaupun merugikan dikembangkan menjadi kisah penelusuran emas VOC yang berawal dari persekutuan antara Arung Palaka, Spelman dan Jonker.

Kenyataannya memang ada persekutan di antara ketiganya untuk menghancurkan Kerajaan Gowa, tapi tidak ada harta karun VOC untuk membayar hutang.

Bukan berarti dengan kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan maka segala permasalahan selesai. Konsep negara federasi yang pernah diusung dalam KMB sempat menjadi wacana hangat dimana sejumlah daerah merasa pemerintah pusat terlalu otoriter dalam menerapan kebijaksanaan.

Konsep NKRI mulai dipertanyakan, selain Aceh yang ingin merdeka masih ada Papua yang tak kalah gencar ingin meniru jejak Timor Timor.

Namun sepertinya terlalu ekstrim jika ingin mengubah konsep menjadi negara federasi; terlalu mahal harga yang harus dibayar. Yang paling mungkin adalah menata kembali konsep NKRI yang masih bersifat otokratik dengan pemberian otonomi yang luas kepada tiap daerah untuk mengelola wilayahnya.

Tidak ada komentar: