09 Maret 2009

Posisi Belanda di Mata Indonesia

Bila kita membaca buku buku sejarah, barangkali terbersit pertanyaan bagaimana tanah yang pernah melahirkan kerajaan masyur seperti sriwijaya dan majapahit dapat ditundukan dengan mudah oleh VOC yang hanya merupakan suatu perusahaan dagang.

Jawabannya adalah karena kerajaan kerajaan di Indonesia tidak mempunyai cara pandang jauh ke depan sebagai bagian dari suatu negara besar bernama nusantara. Pandangan mereka hanya terbatas pada sekitar Jawa atau bahkan lebih sempit Yogyakarta, Surakarta, Bali atau Aceh saja.
Keadaan ini diperparah dengan saling memerangi antara mereka dan melibatkan VOC untuk mendukung gerakannya.

Coba simak laporan ini; tahun 1905 penduduk asli Indonesia diperkirakan berjumlah 37 juta jiwa. Seluruh orang Eropa yang bertugas di angkatan darat dan laut kolonial di Indonesia waktu itu hanya berjumlah 15.866 orang, tetapi orang Indonesia yang bertempur di pihak mereka berjumlah 26.276 orang dimana 68% nya adalah orang Jawa, 21% orang Ambon dan sisanya adalah orang Sunda, Madura, Bugis dan Melayu.

Apakah para Raja, Sultan ataupun Sunan pernah berpikir untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi rakyatnya; jawabannya pun meragukan.

Betapapun pahitnya namun harus diakui pemerintah kolonial lah yang menghapuskan kanibalisme, feodalisme dan pembakaran janda (bali).

Kedatangan bangsa asing dengan segala konsekuensinya memaksa bangsa ini berkenalan dengan teknologi yang lebih modern.

Politik Etis pun berasal dari pemikiran Van Deventer berkat adanya buku Max Havelaar. Berkat politik etis pula mulai berkembang paradigma baru diantara para pegawai kolonial. Sekolah dasar dan sekolah tinggi dibuka. AdalahTechnischee Hoogeschool di Bandung yang kelak dikenal sebagai ITB.

Anak anak priyayi disekolahkan. Salah satunya adalah Kartini, putri Raden Mas Aria Sasraningrat. Jika pemerintah Belanda membuka kesempatan luas terhadap anak para priyayi untuk mendapatkan pendidikan Eropa lalu siapa yang menghalangi perempuan ini untuk meraih pendidikan tinggi? tidak lain adalah keluarganya, bangsanya sendiri, bangsa Indonesia.

Kisah kartini menjadi terkenal, tidak lain akibat publikasi surat suratnya oleh J.H. Abendanon, Direktur pendidikan "Etis" yang pertama.

Pun, saat dibuka sekolah sekolah rendah untuk rakyat kebanyakan, hampir tidak ada penduduk pribumi yang tergerak untuk memasukkan anak mereka yang mungkin disebabkan oleh kemiskinan yang mencekik.

Para pemimpin yang akhirnya tersadar dari tidur panjang ini bukanlah berasal dari priyayi tinggi kalangan keraton, mereka adalah priyayi rendah yang memandang pendidikan sebagai kunci menuju kemajuan.

Tidak ada komentar: