15 November 2008

Mimpi dan Kenyataan

Beberapa bulan lalu, saya pernah mengunjungi museum Ullen Sentalu dan ada foto Pakubuwono X, yang disebut sebagai raja terkaya.

Kesan saya, ia seorang pria tambun dengan banyak bintang di dadanya, kalau gak bisa dibilang berlebihan (entah atas jasa apa) dengan sorot mata kosong.

Tapi menurut cerita, justru di jamannya kebudayaan Jawa berkembang pesat, dibangunnya museum, taman wisata, balai pertemuan. Seseorang yang disebut memiliki kecerdasan emosional.

Tetap saya merasa ada yang janggal dengan cerita2 itu, terutama bila membaca kebiasaan yang kerap dilakukannya, gemar akan kemewahan. Kecerdasan emosional mana yang dimaksud, apakah berhubungan dengan kebudayaan atau tanggung jawabnya sebagai seorang raja yang harus memahami rakyatnya. Kehalusan budaya keraton dengan penggunaan bahasa yang bertingkat tingkat, lebih saya rasakan sebagai perangkap pada masa itu.

Dengan Raja dan sistem yang begitu feodal, entah kenapa pergerakan Budi Utomo bisa berkembang, banyak yang bilang itulah visi PB X yang jauh ke depan,,,tapi buat saya tetap terasa ganjil dan aneh. Harusnya ada alasan lain yang lebih kuat.

kekurang sreg-an itulah yg membuat saya terus mencari literatur yang mungkin bisa menjawab rasa penasaran itu.

Ketemu!....gak sengaja saya menemukan makalah yang ditulis Kuntowijoyo,,,,yang ternyata bisa memberikan jawaban atas kejanggalan yang saya rasakan terhadap PB X, sekaligus menguatkan dugaan2 ngawur saya.

Pada masa itu (entah sekarang), Raja dan rakyat Jawa terperangkap dalam simbol, Raja mengenakan pakaian mewah, ada pengaturan pakaian menurut strata....sudah tentu rakyat biasa tidak boleh mengenakan pakaian yg lebih bagus dari rajanya.

Rakyat harus berbicara dengan bahasa tinggi di hadapan Raja. Raja merupakan kalifatullah, pemimpin agama (padahal gemar minuman keras), wakil Tuhan di dunia.

Dengan gelar Paku Buwono, dunia tunduk dibawah kakinya (dunia jawa tengah aja kaleeee,,,), sayangnya itu semua hanya mimpi....hanya pelarian semata..pada kenyataanya ia tidak punya kuasa dimuka Gubernur Jenderal Belanda, Benar,,,,,ia punya ratusan abdi dalem,,,harta berlimpah,,,selir ...tapi hanya itu,,ia tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan sendiri, semua harus seijin Gubernemen. Ia harus mengucapkan sumpah setia kepada Kerajaan Belanda.

Sebagai bentuk kompensasi, ia berpaling pada 3 hal : kecerdasan emosional, hedonisme dan nasionalisme Jawa. Tidak heran dia banyak membangun tempat2 indah, museum, balai pertemuan. Adapun kecerdasan intelegensianya tidak banyak berkembang,,,,tentu saja... seseorang yang tunduk, tidak akan berkembang intelegensianya.

Betapapun tingginya status sosial yang ditunjukkannya,,,,pada kenyataannya ia tetaplah Raja jajahan, tidak heran seorang yang mempunyai kecerdasan intelegensia, kecerdasan emosional (tanggap terhadap keadaan rakyat jelata) dan asketisme,,,seperti Tjipto Mangoenkoesoemo menjadi geregetan dan menyerukan agar ia dipensiun dan digaji oleh Belanda saja sekalian.

Kenapa Budi Utomo, yg nyata2 gerakan modern saat itu bisa berkembang?....tentu saja,,,Budi Utomo akhirnya menjadi kumpulan priyayi terpelajar yang tunduk kepada Raja dan pemerintah Belanda.

Makalah itulah yang akhirnya menjadi penjelasan buat saya tentang keganjilan2 yang selama ini mengganggu.

Tidak hanya raja yg hidup dalam mitos, para priyayi pun menciptakan dunia mereka sendiri yang penuh dengan tingkatan2 hirarkis mengikuti junjungannya. Bahkan bukan tidak mungkin segala mitos gaib muncul dari kalangan priyayi demi kemapaman status mereka.

Rakyat kecil pun tidak lepas dari mimpi tersebut, Kuntowijoyo menyebutkan jumlah anggota Syarikat Islam yang fenomenal juga timbul dari rasa keterkucilan masyarakat bawah karena sulitnya untuk mendapatkan akses kemakmuran akibat status sosial yang bertingkat tingkat.

Rakyat yang mengalami peminggiran budaya terus memimpikan ratu adil, sementara Raja yang ada tidak dapat diharapkan maka muncullah mimpi, ilusi tentang Syarikat Islam. baik Raja maupun rakyat hidup dalam mitologi.

Para priyayi merasa terusik saat munculnya Saudagar Saudagar dari wong cilik tapi dapat menikmati kemakmuran yang sama bahkan lebih tinggi. Tidak heran mereka mengucilkan kalangan wong saudagar dengan mengukuhkan hirarki yang lebih tegas lagi bahwa tidak mungkin wong cilik meniru tingkah priyayi

Pemimpin yang hidup dalam dunia mitologi tidak akan dapat menyelesaikan masalah secara rasional.

Demikian pula para bangsawan yang sibuk membangga banggakan kepriyayiannya akhirnya hanya akan hidup dari belas kasihan rakyatnya. Secara ekonomi kini mereka dijajah oleh wong saudagar. tidak heran gelar kebangsawanan diobral hampir tiap tahun.

Seorang Kuntowijoyo telah menyodorkan pelajaran itu.

Kenyataan pahit bagi orang Jawa, tapi harus diterima sebagai pembelajaran.





Tidak ada komentar: