10 Oktober 2012

Rasanya jadi Pegawai Outsource

Saya belum pernah merasakan jadi tenaga outsource, dan untungnya waktu mulai bekerja, sistem outsourcinng masih belum terlalu dikenal.

Bank tempat saya bekerja pertama kali...berarti lebih dari 10 tahun yang lalu, waktu itu masih memakai sistem kontrak yang dihandle Bank itu sendiri.

Outsourcing baru marak beberapa tahun setelahnya dan semula...semula nih, seperti umumnya di Indonesia, tujuan awalnya baek banget,....untuk menambah lapangan kerja.

gambar dari suatu web


Tapi, seperti biasa, semula masih ikut peraturan dan setelah pemain di sektor ini makin banyak.  Mulailah banting-bantingan harga karyawan.  Jika awalnya tunjangan kesehatan, THR dan hak cuti harus disertakan, maka dengan adanya persaingan harga antar perusahaan outsourcing, satu per satu hak-hak karyawan lepas itu dipreteli.  Sampai tinggal gaji, tok!...no tunjangan kesehatan, no THR, cuti potong gaji.  Bahkan buruh pabrik pun kadang masih lebih bagus nasibnya.

Adik perempuan saya apesnya adalah angkatan kerja yang merasakan sistem outsourcing tak berujung itu.  Dari mulai bank ternama sampai operator selular, ia tetap dalam alur outsourcing.  Sudah pindah kerja namun entah mengapa stempel pegawai outsource masih betah nempel.

Ada ribuan orang-orang seperti adik saya.  Bahkan di kantor saya sekarang pun, bagian yang berhubungan dengan pelanggan adalah bagian yang stafnya dioutsourced.  Dan tidak semua masih bujangan dan muda usia.  Saya sering berpapasan dengan salah satu dari mereka yang kalau diperhatikan umurnya sudah tidak muda lagi.

Adik saya sering bercerita, kalau di tempatnya dulu ia sering membagi bekal dengan temannya, seorang pria, sesama pegawai outsource yang kebetulan sudah berkeluarga.  Temannya ini, karena ingin menghemat selalu naik sepeda ke kantor dari rumahnya di daerah pinggiran.  Waktu itu masih belum jaman bike to work loh...kata adik saya lagi sepedanya adalah jenis sepeda mini, jadi jangan dibandingin sama jenis sepeda-sepeda yang lagi mode sekarang yah..

Ibu saya yang sering mendengar cerita ini merasa iba dan sering membungkuskan bekal tambahan untuk teman adik tersebut.

Yah, tidak semua outsource dipandang sebagai kesedihan.  Di sebuah channel terkemuka, ada serial yang mengangkat hidup para pegawai outsource di India yang malah kelihatan lucu dan meriah.

Di Indonesia sendiri, sistem outsource dipandang sebagai sekedar cara untuk menghemat biaya pegawai tanpa memikirkan output yang dihasilkan.  Tak heran produktivitas yang diharapkan malah terkendala sistem yang membuat karyawan tidak bisa maksimal.

Sementara di luar negeri, outsourcing juga dimaksudkan agar perusahaan mendapat output lebih tinggi walaupun dengan mengeluarkan biaya lebih karena kayawan berstatus permanen/tetap dipandang tidak lagi dapat memberikan hasil yang maksimal.  Sekali lagi yang dilihat adalah output dan produktivitas bukan semata biaya yang dkeluarkan. Bisa jadi sistem outsource terlihat lebih mahal tapi dengan jaminan produktivitas yang dihasilkan jauh lebih tinggi karena pegawai outsource di sana digaji lebih lebih mahal ketimbang karyawan tetap.

Tiba-tiba saya jadi kangen dengan adik saya yang satu itu, sudah agak lama kami jarang kontak, jadi teringat dengan proses penyembuhan dari flek paru-parunya.  Gajinya yang saya tahu tak begitu besar nyaris habis untuk pengobatan ini, walaupun di tempatnya bekerja ada sistem reimbursement sesuai jatah golongan untuk karyawan outsource.  Will talk to you soon, little sist....

Demo-demo buruh untuk menentang outsourcing yang marak belakangan rasanya cukup menggambarkan bagaimana sistem outsource yang berlaku di Indonesia.  Bisa direka-reka gaji yang didapat, seberapa jauh marginnya dari UMR.

Jadi sedih saat menulis ini...:(



Tidak ada komentar: