30 Oktober 2012

Jejak Sumbawa


Tujuan Sumbawa sebenarnya muncul secara kebetulan saat atasan kantor mengenalkan suatu komunitas yang sering mengadakan perjalanan berbasis budaya.  

Dan kebetulan mereka akan mengadakan cultural trip ke Sumbawa, jadilah saya bergabung.

Dari Denpasar, pesawat Merpati dengan baling-baling sudah menunggu utk menuju Bima.

Sempat kaget karena baling-baling kiri dan kanan berputar tidak bersamaan saat pesawat bergerak di landasan..hahah.

Saya belum pernah menaiki peswat baling-baling sebelumnya. Dan ternyata getarannya cukup keras, salah seorang teman menyebutnya seperti duduk di kursi pijat.

Sampai di airport Muhamad Salahuddin, Bima segera menuju rumah makan seberang bandara mencicipi bandeng khas Bima.

Mpisi
Mengunjungi desa Mbawa Donggo, dusun Sangari dengan rumah khas Bima. Ada atraksi mpisi dan kalero di sana. Hujan turun saat kami berkumpul di dusun tersebut. 


Melewati rumah pembuat Minasarua. Minasarua adalah minuman khas bima yang terdiri dari rempah2 dan ketan hitam. Bentuknya memang menyeramkan seperti kuah rujak..tapi rasa tape ketan berpadu dengan hangat rempah cukup nikmat ternyata.

Kalero
Sepanjang jalan menuju kota bima, kita disuguhi pemandangan bukit bukit tandus dan ladang garam. Dengan latar langit biru cerah, bukit tandus dan tambak garam menampilkan landscape cantik. Sayang hari ini langit mendung.

Sholat Ied di alun2 kota Bima tidak jauh dari hotel Marina tempat kami menginap; karena terburu-buru kain mukena bawah saya malah ketinggalan di kamar hotel, jadilah saya sholat mengenakan mukena atas dan celana panjang.

Sayang sekali di alun-alun banyak terdapat kotoran kuda yang mengering sehingga agak sulit mencari tempat untuk meletakkan sajadah.

Selesai sholat Ied, masih dengan mukena terpasang, saya bersama teman dari Natgeo Traveller bergegas menuju mesjid kuno Bima yang ada di samping alun2.

Ada istana Asi Mbojo yang merupakan istana Raja Bima. Tahun 2013 bulan Februari akan ada pelantikan Raja Bima.

Melewati kecamatan Wawo (atas) dalam perjalanan menuju sumbawa timur setelah sebelumnya ke desa pengrajin tenun. Semua kain tenun khas Bima yang merupakan buah ketekunan para penenun perempuan dijual dengan harga 300 ribu s/d 1 juta

Singgah di desa Maria Uma Lengge, desa tradisional di puncak bukit dan menyaksikan  tarian tabur beras kuning, sambela ajo honggo (gadis yg mengurai rambut). Uma lengge sendiri, terkenal dengan bentuk lumbung yg khas. Para gadis berparas ayu menari mengenakan kostum berwarna cerah merah,orange dan kuning

Para pria menyambut dengan tari Manca dan adu kepala. Temperatur kota Bima yang tinggi tidak menyurutkan semangat, walau keringat bercucuran.

Bertemu Siti Maryam seorangg filolog, doktor tertua yang menguasai aksara mbojo.  Ia yg menemukan naskah bima kuno Bo Sangaji Kai. Beliau juga adalah salah satu adik raja Bima.

Bo Sangaji Kai adalah naskah tulisan tangan berisikan ilmu yg dikumpulkan perlahan yang ditulis dengan huruf arab berbahasa melayu.

Henry Chamber Noir seorang filolog dari Leiden mengundangnya. Ia juga mengedit hasil terjemahan Bo Sangaji Kai tersebut.

Salah satu naskah berasal dari tahun 1600, ditulis di atas kertas perak dan tersimpan di Leiden.

Tahun 1984 Prins Bernhard mengundang Ibu Siti Maryam mengikuti pameran benda kuno. Naskah yg compang camping ini menarik perhatian. Sehingga mendorong niatnya untuk mendokumentasikan demi kepentingan anak cucu.

Sempat menyaksikan Ibu Maryam mendemonstrasikan membaca naskah tersebut.  Bo Sangaji Kai yang disimpannya sudah diawetkan sehingga tahan hingga 100 tahun ke depan
Bo Sangaji Kai

Dilanjutkan menuju Dompu. Sinar matahari yang ganas ternyata memang mempercantik landscape foto.

Di tengah perjalanan dihadang oleh iringan pawai perkawinan. Selain arak arakan musik seperti gong, serunai, juga 3 sapi yg juga menjadi serah serahan. Bis terpaksa berhenti sebentar.  Saya dan beberapa orang pun turun dan berlari lari mengikuti pawai tersebut

Keasikan memotret sampai nyaris dipepet moncong sapi. Belum lagi diteriaki mas Aulia disuruh cepat masuk kendaraan.

Memasuki desa Ranggo kampung Fupu, terdapat sentra pengrajin tenun Dahlia yang khusus memproduksi kain tenun bermotif khas Dompu.

Ternyata kemarau yang panjang telah mengeringkan air di daerah ini. Menurut empunya rumah telah 3 bulan tidak ada air.

Harga kain tenun Dompu berkisar antara 150 sd 750 ribu rupiah.  Dalam rumah permanen yang sederhana ini seorang wanita penenun sedang asyik menenun kain berwarna merah muda.  Lagi-lagi karena asyik memotret saya kehabisan kain tenun dengan harga termurah..ha..ha, akhirnya terpaksa membeli kain cantik seharga Rp 400.000, itu untuk ibu saya

Melewati kota Dompu menuju sumbawa besar terdapat area sawah menghijau dikelilingi bukit coklat meranggas.

Teluk Nangatumpu
Jalan yang menghubungkan Bima sumbawa besar cukup mulus walaupun tidak besar, cuma ada  jembatan rusak sehingga mobil harus mengambil jalur tanah.

Melewati teluk Nangatumpu yg sangat indah disinari matahari senja di tengah kelokan tajam ditemani monyet liar yang berbondong-bondong menonton kami yang sedang memotret. 






Perjalanan darat dari Dompu ke Sumbawa besar memakan waktu 6 jam jika non-stop.

Namun karena sering berhenti untuk mengambil foto maka molor menjadi 8 jam, kondisi tubuh sudah mulai turun karena kelelahan.

Waktu telah menunjukkan pukul 21:00 wita sementara kami juga belum sampai hotel, masih di perjalanan.

Di tengah jalan yang tanpa penerangan sempat menyaksikan orang-orang membawa parang dan panah yang sepertinya akan ada perang..waduh.

Menurut pak Alan Malingi, budayawan Bima; NTB dibangun oleh 4 suku besar yaitu Bali, Bima, Sumbawa dan Lombok.  Sering ada clash di antara mereka.

Akhirnya sampai juga di Sumbawa barat, sayang tadi tidak melewati pelabuhan Pototano yang terkenal indah.  Sempat melihat plang petunjuk arah pototano.

Sabalong Samalewa, motto Sumbawa yang tertulis di depan kantor bupati.  Saya agak bingung dengan arti motto ini. Menurut Pak Alan artinya seimbang antara dunia dan akhirat, sebagian lagi menyebut artinya adalah gotong royong...yang mana dong.

Singgah sebentar di RM Bengawan, yg biarpun namanya berkesan jawa tapi menyajikan masakan Sumbawa asli seperti Sepat dan Singang yang berbahan ikan kakap.  Sepat sendiri berkuah bening, sedikit dengan daun jeruk kecil2 untuk menghilangkankan amis serta terung.  Sedangkan singang mirip tom yam.  Mungkin bagi kita, agak bingung karena Sepat disajikan seperti sayur yang adem, karena tidak dihangatkan.  Tapi ternyata memang seperti itu penyajiannya

Hotel cendrawasih tempat kita menginap terkesan tua dan agak menyeramkan saat malam.

Kamarnya lumayan besar, kamar mandi hanya dilengkapi wc jongkok, yang membuat orang-orang kota ini nyaris pingsan.

Salah seorang ibu yg modis sempat terlihat jijik melihat lantai teras yang berdebu..#cengengesan..

Dalam Loka
Paginya kita keluar hotel sekaligus pindah ke hotel Tambora, melewati pasar brangbiji. Menurut pak Darmawan, budayawan Sumbawa, Yg merubah sumbawa menjadi lebih maju adalah org sunda bernama Yacob Koswara yg akhirnya menjadi bupati. Istilah sabalong samalewa muncul saat ia menjabat.

Menuju istana Dalam Loka (istana baru) yg terbuat dari kayu jati dibuat tahun 1885 sebelumnya adalah istana Balabalong (istana bagus) yg terbakar.  Di Dalam Loka sendiri sudah tidak ada barang-barang peninggalan kerajaan jadi hanya ada foto-foto

Istana ini terdiri dari 99 tiang penyangga yg melambangkan Asmaul Husna.

Abad 17 islam telah masuk di Sumbawa dengan pengaruh dari Gowa.

Sumbawa dipimpin awalnya oleh Dinasti Dewa Kuning yg beragama Hindu.

Simbol bendera kerajaan Sumbawa adalah macan putih mungkin mirip dengan Macan Ali namun bukan aliran Syiah melainkan Sunni.

Dari Dalam Loka kita bisa berjalan kaki menuju Balak Daturanga yang adalah tempat tinggal perdana menteri.  Letaknya di tengah perkampungan. Saat ini menjadi rumah pribadi keluarga keturunan Perdana Menteri
Balak Daturanga

Sayang sekali belum ada bantuan pemerintah untuk pemugaran walaupun sudah dimasukkan sebagai benda cagar budaya.  Tatkala memasuki ruangan dalam istana Daturanga, terasa lantai kayunya sudah mulai bergoyang.

Balak Daturanga dibangun tahun 1883 lebih dulu dari Dalam Loka

Saat ini keluarga sultan Muhamad Kaharudin III bertempat tinggal di Dalam Bala Kuning yang juga merupakan kediaman pribadi.

Rumah ini berdiri tahun 1942 namun baru ditempati oleh keluarga th 1959.

Rumah keluarga ini dibuka tahun 1988 demi kepentingan umum.
Dalam Bala Kuning
Daeng Nindo Siti Rahayu yang adalah kakak dari sultan Muhamad Kaharudin IV yg sekarang menjabat.

Di dalam Bala kuning sendiri masih terdapat benda peninggalan kerajaan sumbawa.

Tempat rokok dari emas, keris dari kerajaan sumbawa dengan pengaruh islam dan hindu.

Yg tertua adalah keris Batara Suken dengan pengaruh hindu Masih ada Al Quran tulis tangan yg dibuat tahun 1784.

Namun itu bukan yg tertua, ternyata masih terdapat Al Quran mini berlapis emas yg diperkirakan dari dinasti Abasiyah sekitar abad 12.

Sumbawa juga terkenal dengan penghasil produk susu seperti permen. Yang terkenal adalah desa Penyaring yang membuat permen dari susu sapi hissar.  Saat ke sana, saya melihat permen susu yang baru saja dipotong dan belum sempat dibungkus

Dusun Sameri di Moyo Utara terkenal dengan kerajinan tenun sumbawa sampai ke luar negeri. Dengan menempuh jalan berbatu kita bisa mencapai desa sameri menggunakankendaraan berbody tinggi. Disarankan jangan menggunakan jenis sedan.

Harga kain tenun buatan warga berkisar antara 400 ribu untuk ikat kepala dan 1.5 juta untuk kain plus selendang, namun kain buatan warga hampir selalu habis sehingga hanya menyimpan sedikit untuk dipajang juga disebabkan mahalnya bahan baku sehingga lebih cenderung memproduksi sesuai pesanan.

Ternyata di Sumbawa bukan hanya ada padang dengan pohon meranggas, namun terdapat juga cagar alam Taman Nasiona Semongkat dengan pohon menghijau. Taman nasional ini searah dalam perjalanan ke desa Semongkat, penghasil madu alami Sumbawa.

Rute sepanjang taman nasional walaupun diaspal tapi penuh kelokan dan sempit, namun masih dapat dilewati oleh bis.

Dalam taman nasional terdapat desa Semongkat yang penduduknya menggantungkan hidup dari mencari sarang lebah liar di taman nasional.

Di dekat kota, ada pantai Saliper ate yang menjadi tempat warga Sumbawa berekreasi.  Sayang kebersihannya tidak terjaga. Sampah bertebaran dimana-mana, jarang sekali tempat sampah, bahkan terdapat kotoran kuda.  Tidak betah lama-lama berada di pantai tersebut

Dari tepian pantai Saliper Ate, Pulau Moyo tampak sayup sayup dari kejauhan, hanya bisa mengurut dada untuk kapan bisa menjejak Moyo.  Menurut pak Darmawan, butuh waktu 2 jam menyeberang dengan speedboat untuk mencapai pulau itu.

Tanjung Menangis, terletak di sebrang pantai dan terkenal dengan kisah putri Sumbawa yang patah hati ditinggal kekasihnya.


Makan malam di Pantai Goa yang terkenal dengan tempat makan ikannya. Ikan kakap merah, cumi dan sotong gede-gede berjejer di kotak kaca siap dibakar.  Tapi lagi-lagi masalah kebersihan yang menjadi kendala.  Gelas plastik dan sampah kecil lainnya yang dibuang sembarangan cukup membuat nafsu makan mendadak hilang.

Paginya dari hotel Tambora, kita berjalan kaki menuju pasar setempat.  Bisa melihat pisang kepok yang baru selesai digoreng, penjual jagung bakar khas sumbawa yang berwarna mirip  susu tapi sangat legit. Dibakar tanpa menggunakan bumbu apapun, dan tetap lezat.

Berhubung saya suka sekali snorkel, maka pergilah ke pantai kencana yang letaknya agak sedikit di luar kota  Airnya bening, ikannya lumayan, walau belum seperti Karimun Jawa.  Karena merupakan bagian dari sebuah resort, maka orang memang tidak banyak itu yang membuat kebersihannya relatif terjaga, walau lagi-lagi harus mengurut dada karena tetap ada plastik-plastik yang berserakan di beberapa tempat.

Sayang sekali sudah saatnya kembali ke Jakarta, padahal masih ada pantai Lakey, Maluk dan Sekongkang yang belum sempat dijajaki.

1 komentar:

Baktiar77 mengatakan...

Wah sampai sekarang sumbawa masih menjadi mimpi....