13 Oktober 2012

Nirasmara

Nirasmara..berasal dari kata Nir dan Asmara

Nir artinya tiada, Nirasmara berarti Tiada Asmara.  

Ki Jlitheng mementaskan Nirasmara di Salihara, sayang saya terlambat menerima kabar, sehingga pertunjukan wayang dari Dalang Kampung Sebelah itu sukses terlewatkan.

Baiklah, dari pada terus menyesal tiada guna, saya ingin menterjemahkan Nirasmara sesuai keinginan hati saya.

Dari ferimath.blogspot
NIRASMARA
Alkisah perang besar Bharatayuda tinggal dalam hitungan minggu. Para ksatria mulai mempersiapkan senjata.  Panah diraut, kereta dipoles, kuda-kuda dicekoki telur dan madu.  Para pendeta pun sibuk mempersiapkan sesaji dan bergulung-gulung rontal berisi doa untuk kemenangan Rajanya.


Bukan hanya para lelaki, para istri pun dihantui kecemasan akan menjadi janda juga anak-anak yang akan segera menjadi yatim.  Para petani mengerjakan sawahnya dengan muram, karena mereka tahu sebentar lagi tanaman padi akan memerah darah.

Jika istri dan kekasih para prajurit hanya bisa menekan cemasnya dalam hati, tidak demikian dengan Subadra.  Istri utama Arjuna itu bahkan lebih jauh lagi mengancam akan mogok melayani suami jika perang mengerikan itu masih tetap diteruskan

Malam menyelimuti Madukara, Subadra melangkah perlahan ke dalam istana.  Ringkik kuda menyusul langkahnya.  Tanpa menoleh Subadra telah tahu siapa yang datang, telinganya demikian terlatih sehingga dapat membedakan setiap bunyi.

Dari wayang Indonesia

Srikandi, istri Arjuna yang lain, turun dari kuda dan melangkah tenang menghampiri Subadra.  Tubuhnya yang ramping berbalut pakaian ksatria, dengan busur dan anak panah di punggung.  Busana yang tak lazim itu malah menambah kecantikannya.

Subadra menarik napas panjang, adalah bohong jika ia tidak cemburu pada Srikandi.  Subadra memiliki keayuan yang sulit dicari tandingnya.  Namun ia tahu Srikandi memiliki kecantikan dan pribadi lain daripada yang lain dibanding semua istri Arjuna. Srikandi titisan Amba, kekasih masa silam eyang Bisma sesepuh Hastina.

Subadra bukan tidak tahu betapa Arjuna seakan tidak mampu menyembunyikan hasratnya kepada perempuan yang satu ini.  Karena itu ia ragu apakah Srikandi akan mendukung keinginannya, selain karena ia juga ditakdirkan untuk berhadapan dengan Resi Bisma di padang Kurusetra nanti.

Srikandi telah berdiri di hadapannya, mengangguk hormat kepada istri utama Arjuna serta menempatkan diri sebagai pendengar.

Subadra memandang lurus pada prajurit perempuan itu. 

"Yayi...rasanya aku tidak perlu bercerita panjang lebar, karena engkau pasti telah tahu alasanku untuk melakukan hal ini.  Pertanyaanku, apakah Yayi juga akan melakukan hal yang sama jika Kakangmas meminta dari Yayi?"

Tergagap Srikandi, namun tidak ditunjukkan perasaan hatinya pada Subadra yang sangat ia hormati. Ia hanya menggangguk pelan namun mantap.  Subadra tersenyum.

Gelap semakin mengikat alam.  Penghuni Madukara terlelap. Serangga pun malas bersuara.  Penghuni alam lebih senang berdiam diri. 

Srikandi menghela napas lega, tubuhnya terasa segar setelah ia membersihkan diri.  Latihan perang yang dilalui sangat berat dan melelahkan.  Perlahan ia menggerakkan bahunya mengusir penat.  Rambutnya yang terbiasa disanggul ketat dibiarkan terburai.  Kain panjang membelit tubuhnya.  Kini ia bukan prajurit trengginas yang fasih mengibas pedang dan melepaskan anak panah. 

Pintu terbuka, Arjuna, suaminya, laki-laki utama ksatria kinasih para Dewa Batara melangkah.  Matanya yang setajam elang menatap Srikandi, mesra. 

Tanpa memberikan kesempatan untuk menjawab, Arjuna meraih tangan Srikandi, menggengamnya dengan kuat dan penuh perasaan.  Terhadap perempuan satu ini Arjuna yang terkenal pandai merayu wanita mendadak kehilangan mulut.

Srikandi hanya menggeleng sambil memberikan senyum penuh permintaan maaf.  Senyum yang mampu membuat penguasa Madukara ini mendadak lemas lunglai laksana pelita kehabisan minyak.  Tak ada gunanya ia memaksa Srikandi walaupun berhak, ia ingin Srikandi memberikan secara sukarela,

Subadra, yang masih terjaga, tersenyum melihat Arjuna kembali dengan cepat.  Hampir tertawa ia melihat wajah suaminya yang kusut.  Ia tahu bahwa Srikandi berbuat serupa dengan dirinya.

Ia ingin tahu berapa lama penguasa Madukara itu dapat bertahan dalam situasi Nir-asmara seperti ini.

Subadra dan Srikandi tertidur dengan pulas, sementara Arjuna gelisah digelayuti hasrat yang belum tuntas.

Bharatayudha adalah suratan.  Pertaruhan antara belas kasih dengan murka angkara.  Bharatayudha laksana keharusan.  Para dewa tidak punya kuasa, apalagi sekedar Subadra dan Srikandi.

Drupadi menolak, baginya Bharatayudha adalah mutlak.  Perang itu adalah sarana untuk membalas sakit hati atas pelecehan harga dirinya.  Dan pelecehan itu harus lunas tuntas dibasuh dengan darah Dursasana.

Gerakan Nirasmara dari Madukara tidak mempan untuk mencegah takdir tersebut. 

Pasopati tetap berkeliuk mencari mangsa.  Gatotkaca terjungkal dengan Konta di pusarnya.

Karna, adipati perkasa dari Awangga terkulai tanpa kepala.  Meninggalkan Surtikanti yang menanti dengan setia. Meninggalkan adiknya, Arjuna yang terpaku tanpa bisa berkata. Prabu Salya gugur bersimbah darah dan Setyawati tanpa ragu ikut belapati.

Dari kejauhan Resi Bisma melambaikan busurnya perlahan.  Matanya tak lepas memandang Srikandi, berharap menemukan Amba yang berjanji untuk menjemputnya.

Maka Bharatayudha pun tergenapi sudah.  Nirasmara pun usai.  Asmara baru dimulai.

Tidak ada komentar: