13 September 2012

Darah Dharmasraya

Dara Petak menatap lurus sekumpulan orang yang sedang duduk bersila menghadap ayahnya Srimat Tribuwanaraja.  Ia dengan seksama mendengarkan pembicaraan orang-orang yang berasal dari kerajaan seberang lautan, sesekali berdehem.

Balai pertemuan agung Istana Dharmasraya terasa hening.  Semua orang menunggu apa yang akan dikatakan oleh penguasa Dharmasraya itu.

Arca Amoghapasa duduk membeku di hadapan Raja Srimat Tribuwanaraja.  Sang Raja menghela napas, ia paham betul apa arti pemberian arca tersebut.  Orang-orang dari negeri seberang lautan tersebut datang dengan damai.  Namun ia pun cukup arif untuk membaca warna sebenarnya yang ada dalam hati si pengirim.

Sang pengirim adalah Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa, penguasa Istana Singasari.  Ia sepenuhnya sadar siapakah orang yang bergelar abhiseka sedemikian panjang itu.  Dari  desas-desus yang beredar, utusan Mongol lintang pukang kembali ke negaranya dengan telinga putus satu akibat lancang meminta upeti kepada Singasari.

Perlahan, Raja Srimat Tribuwanaraja mengunyah kalimat yang disampaikan dengan seksama.  Ia melirik kedua putri kesayangannya.  Dara Jingga yang sulung, terlihat menunduk.  Dara Petak, adiknya memamerkan raut muka yang membeku tak ubahnya arca Amoghapasa itu sendiri.

Sesungguhnya Dara Petak sedang berhitung.  Sekar Kedaton Dharmasraya itu cukup cerdas untuk menyadari adanya ancaman terselubung dibalik tawaran damai tersebut. Kerjasama yang ditawarkan menempatkan Dharmasraya telak telak di bawah derajat Raja Singasari.

Bagaimanapun pahitnya, Dharmasraya tidak punya pilihan selain menerima tawaran itu jika tak mau negaranya digempur hingga luluh lantak.  Kerajaan Dharmasraya bukanlah Sriwijaya yang gilang gemilang, perlu waktu panjang bagi rakyat Dharmasraya untuk mengejar kerajaan masa lalu tersebut.  Dara Petak sebagaimana ayahnya paham timbal balik yang harus diberikan.

"Anakku..." 

tiba tiba udara digetarkan oleh suara berat Raja Srimat Tribuwanaraja.  Para punggawa yang sejak tadi berdebar-debar menanti tanggapan raja menarik nafas dalam-dalam seakan membuang batu kali yang menghimpit dada mereka.

"Yang mulia, Baginda Raja Krtanagara berkenan mengulurkan tangan kepada Dharmasraya, semoga kalian bisa menyambutnya mewakiliku di istana Singasari"

Guntur yang meledak di siang bolong tidak akan mengejutkan seperti kata-kata sang Raja.  Udara seakan diaduk kasar.  Para Yudha Mantri terlihat seperti kehilangan mulut, sehingga lupa bagaimana cara bersuara.

Dara Jingga mendongak untuk kemudian menunduk makin dalam, seperti yang lain, ia juga tidak berkata apapun.  Sepasang mata tajam membuatnya tersipu.  Sekilas gemerlap berkilas di mata Dara Petak.  Berlainan dengan Dara Jingga, Dara Petak menyimpan keinginan untuk melihat keluar.  Kedatangan orang-orang Singasari tak disangka akan mewujudkan maunya.

Sebagai putri boyongan. Dara Petak berusaha menghimpun kekuatannya, bagaimanapun ia merasa terhina dengan pertukaran ini.  Namun demi negaranya, Dharmasraya, demi ayahnya, ia dan Dara Jingga harus melakukannya.

Suara tokek dan cenggeret ramai bersahutan.  Pertemuan besar telah lama berlalu, bulan semakin tinggi menduduki atap langit.

Raja Srimat Tribuwanaraja tetap mematung.  Raja tua itu kesulitan untuk meluapkan isi dadanya yang bagaikan ingin menjebol rongga.


Hanya tangannya yang gemetar mengelus kepala kedua anak gadisnya.  Sang raja layak untuk gundah.  Sebagai orang tua apalagi Raja ia berkeinginan agar anaknya dipinang dengan cara layaknya anak Raja dan bukan menjadi harta seserahan yang dapat diberikan kepada siapapun.

Dengan penuh perasaan Dara Jingga dan Dara Petak memberikan sembah. Air mata yang tadi ditahan sekuat tenaga, kini berleleran turun bagai bendungan ambrol.

"Pergilah anakku, bela tanah airmu. Nasib Dharmasraya kini bergantung pada kalian."

Lirih penuh penghayatan Raja yang telah dikalahkan itu mengucapkan kata kata perpisahan pada putrinya, bunga istana Dharmasraya.

Dara Petak menunduk dalam dengan mata bagaikan menyala, derajatnya yang tinggi sebagai anak raja, kini harus diletakkan di tanah, kini ia adalah harta yang harus diserahkan kepada Singasari dan Raja Singasari yang akan memutuskan nasibnya.

Bagaimana rupa Raja Krtanagara? Dara Petak menebak-nebak sepanjang perjalanan.  Dari pembicaraan dengan senopati Dyah Adwaya Brahma ia mendapati kenyataan bahwa sang Raja sudah mempunyai anak perempuan yang kira-kira seumur dengannya.  Mendapati kabar seperti itu, Dara Petak tidak lagi berkata apa-apa.  Ia memilih menikmati perjalanan dengan kapal armada laut Singasari.

Berbeda dengan Dara Petak, Dara Jingga tampak berseri-seri sepanjang perjalanan.  Walaupun disembunyikan, semua manggala Singasari mengetahui ada jalinan khusus antara sekar kedaton Dharmasraya yang sulung dengan Senopati Adwaya Brahma.

Keduanya sering terlihat berbincang di buritan sambil memandangi ombak.  Namun seiring makin mendekatnya daratan, kedua semakin gelisah.  

Akhirnya kapal mendekati Ujung Galuh.  Kuda-Kuda di darat sudah disiapkan.  Perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan tersebut akhirnya usai.  Para prajurit tak sabar untuk bertemu keluarga.  Namun mereka terkejut mendapat kabar bahwa Singasari sudah runtuh diserang pasukan Gelang Gelang.  Raden Wijaya, kemenakan Raja Krtanagara telah menghancurkan Gelang Gelang sekaligus pasukan Mongol.

"Tuan Putri,  junjungan kami Baginda Krtanagara telah gugur dan digantikan oleh Baginda Sri Kertarajasa Jayawardhana sebagai Raja Majapahit..maka kepada beliaulah Tuan Putri kami antarkan".

Dara Jingga dan Dara Petak terdiam mendengar kalimat Senopati Adwaya Brahma.  Sepercik harapan muncul pada Dara Petak.  Raja Kertarajasa adalah kemenakan Raja Singasari, pastilah masih muda, masih ada kesempatan untuk diangkat sebagai permaisuri.

Namun lagi lagi Dara Petak hanya bisa terdiam tatkala Senopati muda tersebut melanjutkan kabar berikutnya.

"Nampaknya Baginda Kertarajasa telah menikah dengan putri-putri mendiang Baginda Krtanegara dan kini permaisuri keempat, Dyah Rajapadmi Gayatri sedang mengandung".

Dara Jingga hanya melirik adiknya, ia sendiri tidak peduli terhadap Baginda Kertarajasa.  Angan-angannya dipenuhi oleh sosok Dyah Adwaya Brahma sehingga tidak memberi tempat terhadap lelaki manapun walau itu bernama Baginda Kertarajasa Jayawardhana sekalipun.

Kini ia harus berjauhan dengan senopati muda itu, sebagai putri boyongan ia adalah hak Baginda Kertarajasa.  Apalah arti jabatan senopati dibanding seorang Raja.

Hati Dyah Adwaya Brahma serasa digempur karang, kini ia menyesali pernah berangan-angan mengajak menempuh hidup bersama dengan putri Dharmasraya itu. Untunglah baru sebatas angan dan belum terucap.  Ia tidak ingin kepalanya menggelinding karena angan-angan yang kurang ajar itu.

Berdiam diri, ketiganya diiringi pasukan mempersiapkan perjalanan menuju Keraton Majapahit.  Perjalanan dari pelabuhan Ujung Galuh menuju kotaraja cukup jauh dan melelahkan.  Sehingga kedua putri Raja Dharmasraya tersebut berkali kali meminta istirahat.

Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, sampailah di kotaraja Majapahit.  Kedatangan pasukan yang dikirim ke Pamalayu itu mendapat sambutan dari segenap istana Majapahit.  Raja Kertarajasa berdiri menyambut senopati Dyah Adwaya Brahma sebelum duduk kembali di singgasana untuk mendengarkan laporan.

Tak berkedip, Dara Petak memandang wajah Raja Kertarajasa yang masih muda.  Tindakan yang bagi sebagian kawula Majapahit dianggap kurang ajar. Namun kemudian Dara Petak menundukkan kepala.  Tribhuaneswari, permaisuri pertama memandang tajam kepada Dara Petak, perbawanya sebagai permaisuri pertama membuat semua yang dipandang kecuali Raja merasa lebih baik mengalihkan pandang ke arah lain.

Dara Jingga memandang sekilas terhadap perempuan cantik yang sedang duduk bersimpuh, dari perutnya ia terlihat sedang mengandung.  Ia segera menebak itulah yang dipanggil sebagai Rajapadmi Gayatri. 

"Kuucapkan selamat padamu Kakang Brahma, agaknya tugasmu untuk menjalin hubungan dengan negara-negara seberang lautan telah dilakukan dengan baik..agaknya Majapahit tinggal melanjutkan saja apa yang sudah dirintis oleh mendiang ayahanda Krtanagara".

Senopati Dyah Adwaya Brahma menggangguk setelah terlebih dulu mengulurkan sembah.

"Baginda Raja, salam sejahtera untuk Baginda dan segenap permaisuri.  Terlebih dulu hamba ingin menyampaikan salam dari Raja Srimat Tribuwana melalui kedua putri kesayangannya."

Dara Jingga dan Dara Petak bersamaan melakukan sembah meniru sang Senopati.

Baginda Kertarajasa memandang penuh minat kepada kedua putri Melayu tersebut.  Keduanya memiliki kecantikan yang berbeda dibanding perempuan tanah Jawadwipa.  Kulit yang putih kekuningan, mata sedikit sipit namun gemerlapan.

Dara Petak mengangkat wajah, dan tersenyum samar.  Senyum itu memicu debar jantung Prabu Kertarajasa.  Agak lama sang Prabu yang masih muda itu tertegun.

Dara Jingga melirik senopati Adwaya Brahma, demikian juga dengan sang Senopati.  Lirikan keduanya tak lepas dari mata tajam sang Prabu.

Tersenyum Prabu Kertarajasa.

"Kakang Brahma, sebagai hadiah aku persilahkan kau memilih satu di antara kedua putri ini sebagai pendampingmu.  Sudah saatnya kakang memiliki sisihan untuk berbagi."

Terkejut Dyah Adwaya Brahma, dengan berdebar ia mengangkat sembah,  Sementara benaknya riuh menyambut keputusan yang tak disangka itu. 

Nafas Dara Jingga nyaris berhenti ia tak mengira Sang Prabu akan membuat keputusan yang sangat membahagiakannya.  Hampir lupa bahwa ia sedang berada dalam istana Majapahit, matanya berbinar menggapai sosok Senopati pujaannya. Ia tak peduli statusnya sebagai putri boyongan membuatnya tidak punya hak apapun untuk menolak.

"Tampaknya kakang sudah mempunyai pilihan, untuk selanjutnya aku persilakan kakang untuk beristirahat.  Sementara para putri akan diurus keperluannya oleh emban istana."

Diam-diam Dara Petak tersenyum, ia merasa kesempatannya untuk menjadi wanita utama masih terbuka. Ia tahu pasti Sang Prabu tertarik.  Ia tinggal menunggu dan selanjutnya akan membuat Raja Kertarajasa Jayawardhana tergila-gila.

Ia mengingat-ingat ucapan dayang istana Dharmasraya menjelang kepergian ke Majapahit.

Dayang yang juga sekaligus juru pengobatan itu memberikan beberapa mantra, petunjuk tentang hubungan badani berikut pengetahuan tentang urat syaraf manusia.

Malam pun turun menyelubungi tanah Majapahit.  Dara Petak yang telah tinggal hampir dua pekan di Keputren Istana menyiapkan diri menyambut Baginda Kertarajasa.

Dara Jingga, sang kakak telah tinggal bersama Senopati Adwaya Brahma dengan menggelar pernikahan sederhana sebelumnya.  Diam-diam Dara Petak merasa iri melihat kebahagiaan yang melumuri wajah kakaknya.  Tapi demi gegayuhannya ia menutup rapat warna hatinya.

Malam semakin larut, Dara Petak bangkit dari pembaringan, ditatapnya wajah Baginda Kertarajasa yang sedang tertidur nyenyak.  Ia memastikan Baginda Kertarajasa belum akan pulang ke permaisuri utama di Keputren sebelah.  Suguhan kenikmatan yang dipersembahkan oleh Dara Petak belum pernah dirasakan dari permaisuri-permaisurinya yang utama.

"Bergembiralah ayahanda, kelak dari rahimku akan lahir pewaris tahta kerajaan Majapahit.  Darah Dharmasrayalah yang akan menduduki singgasana Majapahit kelak."

Demikian Dara Petak memanjatkan segala mantra puja puji demi lancarnya rencana yang telah masak dipersiapkan dari tanah Dharmasraya.

Tidak ada komentar: