10 September 2012

Antara Pernikahan dan Politik

Pernikahan adalah upaya 2 pihak untuk bersama sama berjalan, saling berbagi saran untuk menghadapi tantangan kehidupan.  Lazimnya ada macam-macam hal yang melatarbelakangi niat tersebut.

Ada berlatar belakang cinta, ekonomi maupun politik.

Tantangan hidup memaksa manusia untuk memiliki cara pandang beragam untuk mengadakan pernikahan.

Pernikahan berdasarkan politik bukanlah hal baru, ia bahkan sudah menjadi hal lumrah di masa lalu.



Di masa lalu Rakai Pikatan mengawini Pramodawardhani, kemungkinan bisa disebut berlatar belakang politik.  Pramodawardhani berasal dari wangsa Syailendra yang sedang berkuasa sedangkan Pikatan berasal dari wangsa Sanjaya, peguasa Mataram atau Medang pada masa sebelumnya.

Penyatuan kedua wangsa tersebut berimbas pada situasi keagamaan di kerajaan Mataram Kuno. Agama Hindu yang dianut Pikatan mendapat porsi sama dengan agama Budha yang menjadi agama resmi dari wangsa Syailendra dan Kerajaan Mataram saat itu.  Sehingga sampai sekarang kita mengenal Mataram Hindu.

Luluh lantaknya kerajaan Singasari oleh Gelang-Gelang meninggalkan 4 anak gadis Raja Kertanegara tanpa putra Mahkota.  Nararya Sanggrama Wijaya, putra Lembu Tal yang juga adalah kemenakan Kertanegara berhasil menghancurkan Gelang Gelang dan mendirikan wilayah baru Wilwatikta yang kemudian dikenal sebagai Majapahit.

Rasanya Wijaya menyadari untuk mendapat legitimasi dari para pembantu setia Raja Kertanegara, ia pun mengawini putri Kertanegara bukan hanya Tribuaneswari yang sulung tapi keempatnya.  Mengawini putri Kertanegara berarti darah Singasari mengalami pemurnian.  Mengingat Narasingamurti, kakek Wijaya dan Ranggawuni ayah Kertanegara berasal dari Ken Arok, cikal bakal Singasari.

Tak cuma sampai di situ, Raden Wijaya pun memperistri Dara Petak, putri Raja Srimat dari kerajaan Dharmasraya. Dapat dilihat motif Majapahit untuk menggandeng kerajaan seberang lautan itu.  Ke depannya Dharmasraya menjadi sekutu utama Majapahit dalam menjaga perairan.

Pernikahan politik juga coba dilakukan oleh Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka yang berarti akan menyatukan Majapahit dengan Sunda Galuh, walaupun gagal.

Pernikahan atas nama politik adalah sah saja dilihat dari sudut pandang atas nama kepentingan yang lebih besar.

Tak heran kita sering mendengar putra konglomerat anu menikahi putri pejabat anu atau anak ketua partai A menikahi anak ketua partai B.  Terlepas dari memang adanya jalinan kasih sebelumnya.

Bukankah pernikahan pada akhirnya merupakan persekutuan pihak pihak untuk mencapai tujuan.



Tidak ada komentar: