10 Juli 2012

Nasionalisme Ganda Orang Papua

Apa arti nasionalisme ke-Indonesiaan bagi orang Papua?

Satu pertanyaan sederhana di atas bisa jadi akan mengawali pemahaman dasar tentang apa yang terjadi di Papua.  Resistensi mereka terhadap pemerintah mungkin bisa dikaji dari sana.

Alfred Russel Wallace sendiri mengungkapkan dalam The Malay Archipelago tentang fisik orang Papua yang disebutnya tidak pernah sama pekatnya dengan warna kulit ras negroid dan amat berbeda dengan Melayu.  Tentu bukan fisik yang dijadikan ukuran dalam hasrat pembentukan suatu negara.

Boleh saja dalam Negarakertagama disebutkan bahwa kekuasaan Majapahit meliputi Wwanin yang sekarang berarti wilayah Papua (Onin) namun sampai sekarang para ahli kesulitan mencari pengaruh budaya Majapahit di Papua.  

Memang sangat menarik mencermati bagaimana pembentukan suatu nation yang berdasarkan kesamaan pengalaman, tujuan dan cita-cita, menjadi tidak valid bila dihadapkan pada kenyataan di antara rakyat Papua.

Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus, tidak perlu waktu lama bagi Raja Yogya untuk mengumumkan dukungannya terhadap negara baru ini.  Tidak sulit untuk melihat bahwa semangat ke Indonesiaan memang lahir di Jawa, gejolak nasionalisme sebagai bangsa Jawa sudah mengawali semangat ke Indonesiaan.  Persamaan nasib, pandangan dan tujuan sudah tercapai.

Namun untuk Papua, itu adalah perkara lain.  Rakyat Papua tidak pernah atau hampir tidak mengalami revolusi fisik melawan Belanda.  Boleh dikata tidak ada penindasan intelektual di Papua seperti di Jawa atau wilayah Indonesia yang lainnya.  Bisa jadi karena masyarakat yang hidup terisolasi dari dunia luar.  

Papua tidak mengalami pengaruh Hindu atau Budha seperti wilayah di Jawa.  Hanya gerakan misionaris atau zending yang mencapai wilayah tersebut.  Mayoritas anggota Zending adalah orang Belanda yang memang ditugaskan untuk mengajarkan "kebudayaan" kepada penduduk pribumi yang dianggap terbelakang.

Dari Zending inilah nasionalisme Papua dibangkitkan.  Adalah IS Kijne, yang pertama kali mengawali pengajaran tentang kesadaran sebagai orang Papua.  Setelah itu banyak tokoh tokoh pergerakan nasional yang dibuang di Papua yang membawa semangat kesadaran nasionalisme Indonesia.

Namun misi para tokoh nasional untuk bersama membentuk suatu negara Indonesia yang bebas merdeka dimana di dalamnya terdapat heterogenitas ras tidak dirasakan oleh masyarakat Papua.  Dalam diri mereka terdapat keinginan untuk berdiri sebagai orang Papua, mengelola daerah sendiri di bawah pemerintahan kerajaan Belanda.

Tentu keinginan itu tidak salah, mengingat minimnya interaksi pihak nasionalis Indonesia dengan rakyat Papua.  Dan memang hak rakyat Papua untuk memilih yang terbaik untuk mereka.

Dalam bukunya Bernarda Materay mengulas nasionalisme ganda orang Papua dengan lugas.  Adanya pemahaman yang kaku tentang nasionalisme itu sendiri yang membawa konflik antara pemerintah dan rakyat Papua maupun dengan sesama warga.  Tidak disertakannya wakil dari Papua dalam perjanjian yang berhubungan dengan penyerahan kedaulatan antara Belanda dan Indonesia dirasakan sebagai tindakan perampasan hak.  

Sungguh pun memang pemerintah Belanda mempunyai alasan tersendiri ketika membangun Papua dalam perjalanan menuju PEPERA

Penyelenggaraan Pepera tahun 1969 yang menjadikan Irian sebagai bagian dari Indonesia menimbulkan banyak pertentangan di kalangan warga Papua sendiri.  Dengan adanya operasi TRIKORA juga dianggap oleh sebagian kalangan sebagai bentuk intimidasi dari pemerintah Indonesia.

Amerika dan sekutunya mempunyai kepentingan sendiri dalam mendukung Indonesia mengingat mereka berkepentingan mencegah meluasnya pengaruh komunis di Asia Tenggara.  Dikuatirkan jika negara negara barat menentang Indonesia maka Uni Sovyet akan memperoleh sekutu yang kuat untuk meluaskan pengaruh komunisnya.

Berbagai kepentingan akhirnya berimbas pada konflik Papua sampai saat ini.  Akibat penyamarataan konsep nasionalisme dan kurangnya perhatian pada akar permasalahan membuat api pertikaian tak kunjung padam.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

PEPERA itu harusnya dianggap cacat. masa 1 orang mewakili pulah ribu suara dimana orang yg diwakilinya itu sendiri tidak tahu.

Kalau tujuan indonesia adalah baik bagi papua, percayalah bahwa papua pasti Damai aman, dan sejahtera. tapi kejadiannya toh sebaliknya.

Papua yg merupakan pulau penghasil emas terbesar se asean ini adalah wilayah yg paling terpuruk dan terkebelakang di negara ini.

terlalu disayangkan.
Indonesia adalah negara Jawa, dan selamanya akan selalu menjadi negara jawa. Harusnya penduduk asli pulau lain juga melihat hal ini. menyadari bahwa mereka itu di jajah oleh orang jawa. dari awal bergabung ke indonesia sampai mati anak cucu mereka, jawalahyg akan selalu berkuasa diatas mereka.

Unknown mengatakan...

Hanya sekedar masukan