26 Juni 2012

Dunia Indonesia dari Kacamata Barat

Studi penulisan tentang Indonesia ternyata cukup banyak.  Salah satu penerbit yang mengkhususkan diri pada buku buku sejarah, Komunitas Bambu banyak menerbitkan Historiografi, tulisan tulisan desertasi tentang Indonesia.

Di satu sisi munculnya buku buku yang merupakan tulisan para ahli dari luar Indonesia sangat memperkaya khazanah pengetahuan tentang tanah air, namun di lain sisi akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan, kemana ahli historiografi Indonesia yang asli orang Indonesia.

Kita mengenal Peter Carry, David Jenkins, Keith Foulcher, Ben Anderson, Bernard Vlecke, Ruth McVey dan sekarang Jean Couteau yang beberapa kali menulis di Kompas tentang Indonesia. Ada juga Elizabeth Inandiak yang menafsirkan serat Chentini.  Dari sekian banyak buku penelitian, jarang sekali ditemukan ahli sejarah Indonesia yang mengkhususkan diri terhadap penulisan sejarah kita.

Sebagai contoh desertasi tentang G30S/PKI sudah ada beberapa versi dari penulis asing, dari versi-nya Ben Anderson, John Rossa sampai yang kontroversial versi Anthonie Dakke.  Dari penulis yang diterbitkan secara masal sepertinya baru ada dari Julius Pour, yang disebutnya sebagai catatan dan bukan penelitian. 

Penulisan biografi tentang Soekarno justru diawali oleh Cindy Adams seorang wartawati Amerika dan buku itu sampai sekarang dipakai sebagai acuan.

Belum lagi ada Dennys Lombard yang menulis detail tentang sejarah Kerajaan Aceh.

Ada nama Adrian B. Lapian yang dikenal sebagai pakar sejarah kelautan Indonesia, namun beliau baru saja meninggal dan nampaknya belum ada pewaris sanggup meneruskan jejaknya.

Saya sering menyangka bahwa sejarah Indonesia dibentuk dari kacamata barat, setidaknya begitu membaca semua buku yang ditulis oleh para penulis asing itu.  Walaupun kaya akan data dan mempunyai akurasi yang tinggi namun tetap ada beda penafsiran.

Pada masa orde baru, sejarah dan penulisannya diserahkan pada Nugroho Susanto, walaupun digolongkan sebagai sastrawan angkatan 66 dan menjabat Mendiknas, namun tampaknya fakta sejarah yang disodorkan mencerminkan sudut pandangnya sebagai seorang Militer, sehingga terasa penulisan sejarah Indonesia dipaksa untuk berada di koridor kemiliteran yang tidak mengijinkan penggunaan sumber selain yang telah disetujui oleh pemerintah yang berkuasa. Tindakannya untuk merumuskan kurikulum pendidikan sejarah menurut versi militer tak pelak menghancurkan ingatan generasi  muda Indonesia yang memang masih sangat rentan.

Sangat disayangkan apabila justru orang luar yang menguasai ingatan tentang Indonesia.  Bangsa ini sudah pernah kehilangan berbagai manuskrip berharga yang dirampas oleh penjajah yang akhirnya justru dipakai sebagai bahan penelitian oleh bangsa asing. 

Sekarang ini kita hanya bisa membaca masa lalu Indonesia melalui tulisan orang asing, situasi yang tampaknya sangat ironis. Dan cukup menakutkan bukan, jika ternyata orang lain lebih mengetahui diri kita dibanding kita sendiri.










Tidak ada komentar: