09 Juni 2012

Dan Garin pun Bertobat

Inilah film pertobatan Garin.

Yah, sutradara Garin Nugroho yang selama ini terkenal dengan film-film festival dimana ceritanya susah dipahami awam menyatakan diri insaf dan mulai membuat film yang lebih dipahami publik.

Hasilnya adalah film Soegija.

Harus diakui di luar film dan tokoh itu sendiri, pernyataan Garin membuat orang berbondong bondong menonton.  Tentu saja publik ingin tahu apa jadinya Soegija jika ditangani Garin. 

Soal mutu sutradara, sudah pasti. Gambar? indah sekali. Kostum? sangat detil, musik latar pun tidak kalah bagusnya.

Semua point di atas sudah pasti menempatkan film ini dalam grade A.

Kesan saya sepanjang film ini, adalah indah dan sunyi.

Indah karena mata dimanjakan oleh landscape indah, setting yang cermat dan detil sejarah yang cukup akurat.  Sunyi karena walaupun di tengah euforia kemerdekaan, kekacauan akibat pemerintahan transisi seperti tidak terasa dalam pergulatan batin sang tokoh.

Ada narasi yang hadir mengiringi surat surat yang ditulis oleh Soegija, namun minim rasa. Energi lebih terasa intens pada tokoh Mariyem, perawat yang menyertai Soegija.  Hal itu juga ditunjukkan saat sekumpulan anak menyanyikan lagu lagu ejekan. Ada tokoh serdadu Belanda yang gila perang walaupun penggambarannya agak sedikit terlalu berlebih, Interaksi antar tokoh rasanya sedikit.  Ada sekumpulan pemusik, berbaju jas dan kemeja rapi, bercelana panjang, bermain musik tanpa peduli perang terlihat agak komikal jika dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada zaman itu.

Ciri khas Garin, kalau saya tidak salah adalah bermain dengan bahasa gambar.  Ciri ini mungkin yang terlihat dalam Soegija. Soegija yang melalui tahun tahun pra dan pasca kemerdekaan mestinya mengalami banyak pergolakan di balik ketenangan suasana gereja. Nampaknya gejolak ini yang tak terlihat atau sengaja tidak diperlihatkan, saya tidak tahu. 

Transisi pergantian masa juga yang hampir tak terlihat, walaupun ada tokoh Pak Besut yang populer dengan "Tanda Tanda Zaman" membacakan berita saat pergantian zaman, sehingga yang tak terbiasa dengan gaya Garin akan merasa ada gap di antara gambar.

Film ditutup dengan adegan jenazah Soegija diusung menuju pemakaman, dan saya pun merenung, Garin biarlah tetap menjadi Garin, hanya mungkin perlu lebih sering membuat film film yang lebih dimengerti oleh publik.

Review ini lebih bersifat subyektif dari penonton awam yang penggila sejarah terutama sejarah Indonesia.

Tidak ada komentar: